Kamis, 04 September 2025

Burung Garuda Ala Kelas 7B

 



Karya : Gutamining Saida

Suasana kelas 7B terasa lebih segar dari biasanya. Saya masuk ke ruang kelas sambil tersenyum, membawa materi Pendidikan Pancasila. Anak-anak tampak sudah menunggu dengan rasa penasaran. Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, saya mengajak mereka berdoa bersama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Inilah contoh kecil penerapan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bisa langsung mereka praktikkan. Anak-anak pun menundukkan kepala, suasana hening, lalu serentak mengucapkan doa dengan khusyuk.

Setelah itu, saya mulai menjelaskan materi tentang penerapan nilai sila-sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Saya awali dari sila pertama sampai sila kelima. Saya memberikan contoh-contoh sederhana agar mudah mereka pahami. Misalnya, sila pertama bisa diwujudkan dengan berdoa sebelum belajar, menghormati teman yang berbeda agama, hingga menjaga sikap sopan santun. Saya sengaja menyebutkan kegiatan yang dekat dengan kehidupan mereka agar lebih mudah diingat.

Ternyata, anak-anak sangat bersemangat menanggapi. Mereka berebut mengangkat tangan, menyebutkan berbagai contoh penerapan nilai Pancasila yang mereka alami sendiri di sekolah maupun di rumah. Ada yang menyebut “saling tolong-menolong ketika ada teman jatuh”, ada juga yang mengatakan “berbagi bekal dengan teman yang lupa membawa sarapan”. Saya tersenyum puas melihat antusiasme itu.

Tiba-tiba, di tengah-tengah keseruan, terdengar suara lantang dari belakang.
“Bu… Bu Saida!” seru seorang siswa sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Saya pun menoleh dengan cepat. Suasana kelas seketika hening, semua mata tertuju pada Raka, anak yang tadi memanggil saya dengan penuh semangat.

“Ya, ada apa Raka?” tanya saya dengan lembut, mengira ia akan memberikan jawaban penting.

Dengan wajah polos dan suara mantap, Raka menjawab,
“Saya ijin minum, Bu!”

Sontak kelas pun pecah dengan suara riuh tawa teman-temannya. Mereka mengira Raka ingin bertanya soal Pancasila, ternyata hanya ingin ijin minum. Saya ikut tersenyum geli melihat tingkah polosnya. Saya tidak ingin semangat mereka hilang, maka saya segera menenangkan kelas, “Tidak apa-apa, ayo kembali fokus belajar. Terima kasih Raka sudah jujur.” Anak-anak pun kembali tenang, meski masih ada yang berbisik sambil tertawa kecil.

Waktu berjalan begitu cepat. Tibalah di jam terakhir, saya memberikan tugas menggambar burung Garuda sebagai lambang negara. Anak-anak terlihat serius dengan pensil, penggaris, dan penghapus di tangan mereka. Ada yang tenang menggambar, ada pula yang sesekali tertawa kecil melihat hasil gambarnya. Saya sengaja berkeliling, memperhatikan hasil karya mereka satu per satu.

Ketika saya mendekati meja Hanif, sang ketua kelas, saya melihat ia tersenyum-senyum sendiri sambil memandang kertas gambarnya.
“Kenapa senyum, Hanif?” tanya saya sambil menunduk memperhatikan hasil gambarnya.

Dengan wajah agak malu, ia menunjuk kakinya burung Garuda yang ternyata tidak sama panjang. Saya pun tersenyum, “Coba lihat, iya betul. Tapi tidak apa-apa, coba dihapus dan diulang. Pasti nanti bagus.”

Hanif menunduk lagi, berusaha memperbaiki gambarnya. Teman di sebelahnya ikut mengintip, lalu tertawa kecil. Akhirnya mereka berdua sama-sama tersenyum sambil bekerja. Saya merasa bangga, karena di balik canda tawa itu ada kerja keras dan kemauan belajar yang kuat.

Beberapa anak lain, seperti Kalis dan Kevin, juga sibuk menyelesaikan gambarnya. Ada yang hasilnya rapi sekali, ada juga yang masih perlu dibimbing. Saat saya mencoba mendokumentasikan hasil karya mereka dengan kamera ponsel, sebagian anak tampak malu. Hanif bahkan langsung menyembunyikan wajahnya di balik kertas bergambar Garuda, hanya menampakkan hasil gambarnya saja. Saya tertawa kecil melihat tingkahnya yang polos. Begitu juga dengan Kalis dan Kevin, mereka memilih agar yang difoto hanya gambarnya saja, bukan wajah mereka.

Di tengah aktivitas menggambar itu, saya merasa suasana kelas benar-benar hidup. Mereka tidak hanya belajar tentang simbol negara, tapi juga mempraktikkan nilai-nilai Pancasila: saling menghargai hasil karya teman, tidak mengejek, bahkan membantu ketika ada yang kesulitan menggambar. Ada suasana kebersamaan yang membuat kelas terasa hangat.

Selesai menggambar, saya ajak mereka berdiskusi sebentar tentang arti lambang Garuda dan nilai yang terkandung di dalamnya. Anak-anak menjawab dengan semangat meski sebagian sudah lelah setelah berjam-jam belajar. Saya mengakhiri pelajaran dengan motivasi, “Apa pun hasil gambar kalian hari ini, yang paling penting adalah usaha dan kerja keras. Karena itu juga termasuk penerapan nilai Pancasila belajar sungguh-sungguh, jujur, dan menghargai usaha sendiri maupun orang lain.”

Sebelum pulang, saya kembali mengingatkan untuk berdoa bersama. Lagi-lagi kelas menjadi hening, semua menunduk khidmat. Inilah bentuk nyata dari sila pertama, yang sejak pagi hingga akhir pelajaran terus mereka praktikkan tanpa sadar.

Saya merasa lega dan bahagia. Saya melihat begitu banyak potensi di kelas 7B. Dari Raka yang polos tapi jujur, Hanif yang penuh tanggung jawab meski kadang malu, hingga Kalis dan Kevin yang tekun namun rendah hati. Semua memberi warna tersendiri dalam perjalanan belajar Pendidikan Pancasila. Saya yakin, dengan bimbingan dan motivasi yang tepat, anak-anak ini akan tumbuh menjadi generasi yang benar-benar mengamalkan Pancasila dalam kehidupan mereka.

Cepu, 4 September 2025


Sejuta Potensi 7G

Karya : Gutamining Saida 
Setiap wali kelas selalu punya cerita, begitu pula saya dengan kelas 7G. Sejak awal pertemuan di hari-hari pertama sekolah, saya sudah merasakan ada energi berbeda dari mereka. Energi yang begitu kuat, penuh semangat, dan menyimpan potensi luar biasa. Satu setengah bulan bersama mereka, saya bisa mengatakan bahwa kelas 7G adalah kelas yang penuh warna, penuh keunikan, dan menyimpan begitu banyak bibit unggul yang siap tumbuh jika diarahkan dengan baik.

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) menjadi ajang awal bagi saya untuk melihat sekilas siapa sebenarnya anak-anak ini. Di antara siswa-siswi yang masih canggung beradaptasi dengan lingkungan baru, siswa kelas 7G tampil begitu percaya diri. Mereka berani menunjukkan bakat dan kemampuannya. Saya ingat dengan jelas bagaimana Jason, sang ketua kelas, tampil membacakan puisi dengan suara tegas dan penuh penghayatan. Rasanya saya tidak menyangka, anak seusia itu mampu begitu mendalami makna sebuah puisi. Saat lomba karnaval HUT, Jason bahkan berperan menjadi ikon ayam jago. Kostum itu benar-benar melekat dengan karakternya yaitu penuh semangat, berani, dan menjadi simbol kebanggaan kelas.

Selain Jason, ada Medina. Anak perempuan ini punya suara khas, terlebih saat melantunkan lagu berbahasa Inggris. Setiap nada keluar dari bibirnya dengan begitu indah, membuat orang yang mendengarnya seakan terbawa dalam alunan syair. Lalu ada Kayla, seorang siswi dengan bakat menyanyi yang juga tak kalah memukau. Saat mereka bernyanyi, kelas seakan hidup, penuh semangat, dan suasana menjadi begitu hangat.

Tak hanya soal musik, seni rupa pun ternyata mewarnai kelas ini. Natasya, seorang siswi yang punya tangan ajaib. Dia pandai melukis kaligrafi dengan detail yang begitu indah. Tak berhenti di situ, ia juga piawai menari, menunjukkan bahwa bakatnya begitu beragam. Di sisi lain, ada Akbar, siswa laki-laki yang juga punya keterampilan kaligrafi. Keduanya seperti sepasang seniman muda yang bisa membawa nama kelas di bidang seni.

Seni tari pun tidak kalah berkembang di 7G. Auryn dan Lyta adalah dua siswi yang dikenal pandai menari. Saat gerakan tangan dan kaki mereka berpadu dengan irama musik, saya melihat masa depan yang cerah dalam diri mereka. Sementara Natasya, meski sudah dikenal dengan kaligrafi, ternyata juga ikut menunjukkan kemahirannya dalam menari. Anak-anak ini memang luar biasa, mampu menampilkan lebih dari satu bakat sekaligus.

Di bidang religius, 7G juga tak kalah membanggakan. Ratu, seorang siswi yang pandai membaca dan menghafal Al-Qur’an. Saat MPLS, ia tampil dengan lantunan ayat suci yang begitu merdu, membuat suasana hening penuh khidmat. Dari kalangan siswa laki-laki, ada Vino. Ia juga punya kemampuan yang sama, melantunkan ayat Al-Qur’an dengan fasih dan penuh penghayatan. Kehadiran mereka berdua membuat saya yakin bahwa kelas ini bukan hanya kaya akan seni, tetapi juga kuat dalam sisi spiritual.

Kelas 7G tidak akan lengkap tanpa kehadiran dua siswa yang selalu membuat suasana meriah yaitu Najwa dan Farel. Mereka dikenal cerewet, selalu punya banyak hal untuk dibicarakan. Tanpa kehadiran keduanya, kelas terasa sepi. Kadang-kadang, celotehan mereka membuat saya harus sedikit menegur, tapi saya tahu itulah yang membuat kelas ini terasa hidup.

Ada pula Alvino, siswa dengan postur tubuh paling kecil di kelas. Ukurannya yang mungil bukan berarti membatasi geraknya. Justru sebaliknya, ia sangat lincah, berlari ke sana kemari dengan semangat yang tak pernah habis. Melihat kelincahannya, saya sering tersenyum sendiri, membayangkan bagaimana ia bisa menjadi simbol semangat pantang menyerah di kelas ini.

Tentu saja masih banyak siswa lain yang belum saya sebut satu per satu. Bukan berarti mereka tidak punya kelebihan, hanya saja waktu bersama mereka baru sebentar. Saya yakin, seiring berjalannya hari, saya akan semakin mengenal potensi masing-masing anak. Setiap anak adalah bintang, hanya saja mungkin ada yang cahayanya belum sempat saya lihat.

Selama satu setengah bulan bersama, saya merasa belajar banyak dari mereka. Mereka mengajarkan saya arti kebersamaan, arti menghargai perbedaan, dan arti semangat dalam belajar. Kadang ada yang ribut, ada yang diam, ada pula yang tiba-tiba membuat suasana jadi riuh dengan ide konyolnya. Tapi justru itulah yang membuat saya semakin menyayangi kelas ini.

Sebagai wali kelas, tentu saya punya harapan besar. Saya ingin anak-anak 7G semakin kompak, semakin solid, dan mampu menciptakan kebersamaan yang kuat. Saya juga berharap mereka bisa terus mengembangkan bakat masing-masing, bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga sebagai bekal masa depan. Siapa tahu, Jason kelak menjadi penyair terkenal, Medina dan Kayla menjadi penyanyi yang bersinar, Natasya dan Akbar menjadi seniman hebat, Auryn dan Lyta menjadi penari profesional, Ratu dan Vino menjadi qari’ yang menginspirasi. Bahkan Najwa, Farel, dan Alvino yang dengan segala keunikannya, bisa menjadi pribadi tangguh yang membawa keceriaan di mana pun berada.

Kelas 7G bukan hanya sekadar kumpulan siswa-siswi. Mereka adalah keluarga kecil yang penuh potensi. Saya merasa beruntung diberi kesempatan menjadi bagian dari perjalanan mereka. Setiap hari bersama mereka adalah pengalaman baru, cerita baru, dan pembelajaran baru.

Ada doa yang tak pernah putus yaitu semoga 7G selalu kompak, penuh semangat, dan melahirkan generasi unggul yang membawa kebaikan untuk masa depan. Selamat berjuang anak-anak. 
Cepu, 4 September 2025 

Di Balik Kamera Ada Kebahagian

Karya : Gutamining Saida 
Menjadi wali kelas 7G adalah sebuah pengalaman yang penuh warna. Setiap bersama mereka selalu ada saja kisah yang membuat saya tersenyum, bahkan terkadang terharu. Kelas ini ibarat sebuah taman dengan beragam bunga yang berbeda warna, masing-masing punya karakter, keunikan, serta tingkah laku yang khas. Dari yang pendiam, cerewet, sampai yang suka bercanda berlebihan, semuanya ada di sini.

Di Esmega, ada aturan yang cukup tegas yaitu siswa tidak diperbolehkan membawa handphone. Aturan ini dibuat tentu dengan tujuan baik, agar anak-anak bisa lebih fokus belajar dan tidak terjebak pada penggunaan gadget yang berlebihan. Aturan ini rupanya membuat mereka punya satu "kerinduan kecil" yang sering mereka bisikkan kepada saya kerinduan untuk mengabadikan sebuah momen.

“Bu, fotokan sama teman-teman ya,” begitu sering terdengar permintaan dari mereka.

Bagi anak-anak, memakai seragam sekolah adalah sesuatu yang istimewa. Mereka ingin kenangan ini tersimpan, tidak hanya di hati, tetapi juga di foto yang bisa mereka lihat kembali suatu saat nanti. Sayangnya, kamera tak di tangan mereka, keinginan itu sering terhenti begitu saja. Maka, saya pun sering menjadi “penolong” kecil bagi mereka. Dengan kamera handphone, saya mencoba membantu mereka mengabadikan momen-momen sederhana di sekolah.

Awalnya, saya hanya berniat mendokumentasikan hasil pekerjaan siswa saat pembelajaran IPS. Saya berpikir, akan lebih baik jika setiap karya mereka tidak hanya berhenti di meja kelas, tetapi juga bisa diabadikan menjadi dokumentasi. Saat anak-anak melihat hasil pekerjaannya difoto, mata mereka berbinar, seakan merasa hasil karyanya dihargai dan diakui.

Cewek-cewek 7G punya ide lebih jauh. “Bu, jangan cuma hasil pekerjaan kami yang difoto, tapi kami juga ikut, biar ada kenangan,” pinta mereka sambil tersenyum manis. Saya pun mengiyakan. Sejak itu, setiap kali ada momen, mereka akan spontan bergaya di depan kamera, seakan haus dengan sorotan lensa.

Mereka bergaya dengan berbagai ekspresi ada yang mengangkat tangan seperti sedang menyapa, ada yang membuat bentuk hati dengan jari, ada pula yang sengaja merangkul sahabatnya sambil tertawa. Kadang gaya mereka begitu lucu dan menggemaskan, sampai saya pun ikut tertawa di belakang kamera. Sesekali ada yang malu-malu, tapi akhirnya terbawa arus kegembiraan teman-temannya.

“Bu, jangan lupa kirim fotonya nanti ya, japri ke saya, ” ucap salah satu dari mereka dengan wajah penuh harap.

Permintaan itu hampir selalu datang setiap kali saya selesai memotret. Di rumah, mereka akan mengirim pesan pribadi, menanyakan apakah foto mereka sudah dikirim atau belum. Saya bisa merasakan betapa pentingnya foto itu bagi mereka, seakan menjadi pengganti kamera pribadi yang tidak mereka miliki di sekolah.

Ada rasa bahagia tersendiri di hati saya saat melihat antusiasme mereka. Anak-anak ini, meskipun terlihat sederhana, ternyata punya keinginan yang begitu dalam untuk menyimpan kenangan. Mereka sadar, masa SMP adalah masa yang cepat berlalu, masa yang penuh cerita indah, masa di mana persahabatan tumbuh begitu hangat.

Saya jadi teringat masa sekolah saya dulu. Saat itu kamera masih jarang, bahkan untuk foto bersama teman pun harus menunggu ada acara khusus. Berbeda dengan anak-anak zaman sekarang yang sudah terbiasa dengan foto digital. Dengan aturan tanpa handphone ini, justru mereka kembali merasakan arti penting sebuah foto. Setiap jepretan kamera menjadi lebih berarti, lebih berharga, karena tidak bisa dilakukan setiap saat.

Ada satu momen yang tak pernah saya lupakan. Suatu hari setelah pembelajaran selesai, sekelompok siswi mendekati saya. Mereka sudah menyiapkan pose kompak yaitu ada yang duduk di kursi, ada yang berdiri di samping, dan ada yang sengaja memeluk bahu temannya. Wajah mereka ceria sekali. Setelah saya mengambil foto, mereka langsung berteriak kecil kegirangan.

“Bu, keren banget! Nanti kirim ya, Bu. Ini buat kenangan, kalau kita udah naik kelas atau lulus nanti, bisa lihat lagi.”

Kalimat itu menyentuh hati saya. Anak-anak ini ternyata sudah memikirkan masa depan, saat mereka tak lagi duduk di kelas yang sama. Mereka sadar, kebersamaan itu tidak selamanya, tapi bisa diikat dengan foto yang sederhana.

Sejak saat itu, saya mulai memahami bahwa tugas seorang wali kelas tidak hanya sebatas mengajar atau mendisiplinkan. Ada peran lain yang lebih halus namun penting yaitu membahagiakan mereka dengan cara sederhana.  Salah satunya adalah melalui kamera.

Saya belajar, kebahagiaan tidak selalu harus besar. Bagi anak-anak 7G, kebahagiaan itu bisa berupa sebuah foto bersama teman, dengan seragam sekolah, di kelas sederhana, dan dengan gaya yang mereka sukai. Tugas saya hanya menjadi perantara, menekan tombol kamera, dan mengirimkan hasilnya. Tapi bagi mereka, itu adalah harta kecil yang akan disimpan lama.

Setiap kali saya membuka galeri handphone, saya sering tersenyum melihat kumpulan foto anak-anak 7G. Ada foto mereka yang sedang serius mengerjakan tugas, ada yang tertawa lepas bersama sahabat, ada juga yang bergaya seolah-olah sedang jadi model. Semua foto itu bercerita. Bercerita tentang semangat, persahabatan, keceriaan, bahkan kerinduan mereka akan sebuah kamera.

Suatu saat nanti mereka akan tumbuh dewasa, mungkin lupa dengan masa-masa ini.  Foto-foto itu akan menjadi pengingat. Pengingat bahwa pernah ada masa di mana mereka duduk di kelas 7G, bergaya ceria di depan kamera wali kelasnya, dan merasa bahagia dengan cara yang sederhana.

Kelas 7G bukan hanya sekadar tanggung jawab, tetapi juga sumber kebahagiaan. Mereka mengajarkan saya bahwa membuat orang lain bahagia tidak harus dengan sesuatu yang mewah. Cukup dengan sebuah foto, seutas senyum, dan keikhlasan untuk berbagi kenangan.
Cepu, 4 September 2025 

Selasa, 02 September 2025

Pembelajaran IPS di kelas 8H

 


Karya: Gutaminining Saida

Hari Selasa saya mendapat jadwal mengajar IPS di kelas 8H pada jam 5-6 . Waktu itu sudah memasuki siang hari, saat di mana biasanya konsentrasi siswa mulai menurun. Udara terasa agak panas, ditambah aktivitas belajar sejak pagi membuat sebagian siswa mulai tampak lelah. Saya tetap bersemangat karena materi yang akan saya bahas cukup menarik, yaitu tentang lembaga sosial.

Saya membuka pelajaran dengan menyapa seluruh siswa. “Assalamualaikum, anak-anak. Bagaimana kabarnya hari ini?” Mereka menjawab dengan serentak meski dengan suara yang beragam, ada yang penuh semangat, ada pula yang terdengar setengah mengantuk. Saya tersenyum, lalu mulai mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Saya bertanya, “Siapa di antara kalian yang tahu apa itu lembaga sosial?”

Beberapa siswa langsung mengangkat tangan. Salah satu menjawab, “Lembaga sosial itu aturan yang ada di masyarakat, Bu.” Saya mengangguk dan menambahkan penjelasan, bahwa lembaga sosial adalah seperangkat aturan atau norma yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sehingga tercipta keteraturan hidup bersama. Saya kemudian memberi contoh: lembaga keluarga, lembaga agama, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan, hingga lembaga politik.

Awalnya siswa masih menyimak dengan cukup tenang, tetapi setelah 20 menit, saya mulai melihat tanda-tanda kebosanan. Ada yang menopang dagu, ada yang bersandar di meja, bahkan ada yang terlihat melamun. Saya paham betul, belajar pada jam ke-5 dan ke-6 memang bukan hal yang mudah.  Saya memutuskan untuk melakukan ice breaking agar suasana lebih segar.

Saya berkata, “Baik anak-anak, sebelum kita lanjutkan, mari kita mainkan sebuah permainan sebentar. Namanya permainan panjang–pendek.” Seketika mereka terlihat penasaran. Ada yang langsung tegak duduk, ada pula yang spontan berseru, “Asyik, permainan lagi, Bu!”

Saya lalu menjelaskan aturannya. “Kalau saya bilang panjang, kalian harus membuat gerakan tangan pendek, misalnya tangan direntangkan atau dirapatkan. Tapi kalau saya bilang pendek, kalian harus membuat gerakan tangan panjang, seperti merentangkan tangan. Jadi, kebalikannya ya. Siapa yang salah, siap-siap maju ke depan untuk menyanyi atau melafalkan hafalan surat pendek.”

Begitu saya memberi aba-aba pertama, “Panjang!” hampir separuh kelas langsung salah gerakan. Mereka malah merentangkan tangan panjang, padahal harusnya membuat gerakan pendek. Seluruh kelas pecah dengan tawa. Saya pun tersenyum sambil menunjuk beberapa siswa yang keliru. “Nah, kalian kena hukuman ya,” kata saya bercanda.

Permainan berlanjut. Saya menyebut kata “pendek!” dengan cepat, lalu “panjang!” dengan intonasi mengecoh. Suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak berusaha fokus, tapi tetap saja ada yang terjebak. Yang keliru maju ke depan, sebagian menyanyi lagu populer, sementara yang lain memilih membaca surat pendek. Saat seorang siswa melantunkan surat Al-Ikhlas dengan suara merdu, seluruh kelas hening mendengarkan, lalu memberi tepuk tangan.

Keceriaan semakin terasa. Bahkan siswa yang awalnya terlihat lelah, kini kembali bersemangat. Permainan itu saya ulang hingga dua putaran. Setelah cukup, saya berkata, “Oke, permainan selesai. Energi kalian sudah kembali, kan? Sekarang mari kita lanjut materi.” Mereka menjawab serempak, “Iya, Bu!” dengan wajah cerah dan penuh tawa.

Saya kembali menjelaskan fungsi lembaga sosial. Misalnya, lembaga keluarga berfungsi untuk mendidik, mengasuh, dan memberikan kasih sayang. Lembaga agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lembaga pendidikan memberikan ilmu pengetahuan, sedangkan lembaga ekonomi mengatur kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Saya juga menambahkan lembaga politik yang berfungsi mengatur pemerintahan dan kekuasaan di masyarakat.

Agar lebih mudah dipahami, saya mengaitkan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Saya bertanya, “Kalau kalian berangkat sekolah setiap pagi, itu contoh lembaga apa?” Mereka menjawab, “Lembaga pendidikan, Bu!” Saya tersenyum dan melanjutkan, “Kalau kalian sholat di masjid?” Serentak mereka menjawab, “Lembaga agama!”

Diskusi berlangsung hidup. Banyak siswa yang ingin memberi contoh lain. Ada yang menyebut kantin sekolah sebagai bagian dari lembaga ekonomi, ada juga yang menyebut pemilihan ketua OSIS sebagai contoh lembaga politik. Saya merasa bangga karena mereka bisa menghubungkan teori dengan pengalaman nyata.

Menjelang akhir pelajaran, saya meminta mereka menuliskan di buku catatan yaitu pengertian lembaga sosial, fungsi, dan contohnya. Beberapa siswa masih sempat bercanda, menirukan gaya salah gerakan saat permainan panjang–pendek tadi. Mereka tetap menyelesaikan catatannya dengan baik.

Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, beberapa siswa menghampiri saya. “Bu, besok main panjang–pendek lagi ya, seru banget!” kata mereka sambil tertawa. Ada juga yang bercanda kepada temannya, “Kamu tadi salah mulu, jadi penyanyi dadakan di depan kelas.”

Saya pun tersenyum lega. Saya merasa pembelajaran berjalan menyenangkan. Materi tersampaikan dengan baik, siswa tidak jenuh, dan suasana kelas hidup penuh tawa. Saya belajar bahwa pembelajaran tidak hanya soal menyampaikan materi, tapi juga bagaimana membuat siswa merasa senang, dihargai, dan terlibat aktif. Ice breaking sederhana ternyata mampu memberi energi baru bagi mereka, sekaligus menguatkan saya bahwa menjadi guru adalah profesi yang penuh kreativitas dan makna.

Cepu, 3 September 2025

Proklamasi Dan Penetapan Pancasila



Proklamasi Kemerdekaan

Proklamasi berasal dari kata Latin proclamare yang berarti mengumumkan secara resmi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah pernyataan resmi kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah merdeka, lepas dari penjajahan. Proklamasi menjadi tonggak sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
Setelah BPUPKI dibubarkan pada 7 Agustus 1945, dibentuklah PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai) oleh Jepang. Pembentukan ini dilakukan oleh Jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam (Ho Chi Minh), dengan disaksikan oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. Radjiman Wediodiningrat.

  • Ketua: Ir. Soekarno

  • Wakil Ketua: Drs. Mohammad Hatta

  • Anggota awal: 21 orang, kemudian ditambah 6 orang tanpa sepengetahuan Jepang sehingga total 27 orang.

Golongan pemuda sempat menolak PPKI karena dianggap bentukan Jepang. Namun pada kenyataannya, PPKI justru berperan penting dalam mengesahkan dasar negara, membentuk konstitusi, dan menyusun pemerintahan.

Tujuan PPKI

  1. Mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

  2. Menetapkan dasar negara.

  3. Membentuk konstitusi.

  4. Menyusun pemerintahan negara yang baru.

Sidang-Sidang PPKI

  1. Sidang I – 18 Agustus 1945

    • Mengesahkan UUD 1945.

    • Memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.

    • Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

  2. Sidang II – 19 Agustus 1945

    • Membentuk 12 kementerian dan 8 daerah provinsi.

    • Menetapkan pembagian wilayah pemerintahan.

  3. Sidang III – 22 Agustus 1945

    • Membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI).

    • Membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal bakal TNI.

    • Menetapkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).


📑 Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Mata Pelajaran:  Pendidikan Pancasila
Kelas/Semester: VII/ Ganjil
Materi: Proklamasi dan Penetapan Pancasila melalui Sidang PPKI

A. Tujuan Pembelajaran

  1. Siswa dapat menjelaskan arti proklamasi.

  2. Siswa dapat menjelaskan pembentukan PPKI.

  3. Siswa dapat menyebutkan tujuan PPKI.

  4. Siswa dapat menganalisis hasil sidang PPKI.

B. Petunjuk Pengerjaan

  1. Bacalah uraian materi dengan baik.

  2. Jawablah soal dengan jujur dan tepat.

  3. Diskusikan dengan teman kelompokmu bila diperlukan.

C. Soal Latihan

  1. Apa arti dari proklamasi kemerdekaan?

  2. Kapan dan di mana PPKI dibentuk? Siapa yang menyaksikan pembentukannya?

  3. Siapa ketua dan wakil ketua PPKI?

  4. Mengapa golongan pemuda menolak PPKI pada awalnya?

  5. Sebutkan tujuan pembentukan PPKI.

  6. Apa hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945?

  7. Sebutkan hasil sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945.

  8. Sebutkan hasil sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945.

  9. Mengapa sidang-sidang PPKI sangat penting dalam sejarah Indonesia?

  10. Menurut pendapatmu, bagaimana sikap para tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan bisa menjadi teladan bagi generasi muda saat ini.         SELAMAT MENGERJAKAN

Cepu, 3 September 2025

Senin, 01 September 2025

Mind Mapping di Kelas 7F

 


Karya: Gutamining Saida

Pada suatu kesempatan pembelajaran IPS di kelas 7F, saya mencoba menggunakan pendekatan yang berbeda dari biasanya. Materi yang sedang kami pelajari saat itu adalah tentang letak Indonesia, iklim, dan cuaca. Materi ini sesungguhnya cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, tetapi sering kali mereka hanya memahami sebatas definisi tanpa benar-benar mengaitkan dengan pola pikir yang lebih luas. Oleh karena itu, saya berusaha mencari metode yang bisa membuat siswa lebih aktif, kreatif, sekaligus terlibat secara mendalam.

Akhirnya, saya memilih untuk mengajak siswa membuat mind mapping atau peta pikiran. Sebelum memulai kegiatan, saya menjelaskan terlebih dahulu apa itu mind mapping. Saya katakan bahwa mind mapping adalah teknik mencatat dan menyajikan informasi dalam bentuk cabang-cabang ide yang menyebar dari satu topik utama. Topik inti biasanya diletakkan di tengah, kemudian ide-ide penting diturunkan menjadi cabang, ranting, dan seterusnya. Dengan cara ini, siswa bisa melihat hubungan antar konsep secara lebih jelas, teratur, dan menyenangkan.

Setelah itu, saya juga menekankan kepada mereka tentang manfaat mind mapping. Saya sampaikan bahwa mind mapping bukan hanya untuk menggambar atau menghias catatan, melainkan memiliki peran yang sangat penting, di antaranya:

  1. Meningkatkan pemahaman. Mind mapping membantu menyusun materi pelajaran secara runtut sehingga lebih mudah dipahami.

  2. Meningkatkan daya ingat. Dengan bentuk visual yang menarik, warna-warni, dan cabang-cabang ide, siswa bisa mengingat materi lebih lama.

  3. Melatih kreativitas. Mind mapping memberi ruang bagi siswa untuk menuangkan ide dalam bentuk gambar, simbol, atau tulisan sesuai gaya masing-masing.

  4. Membuat belajar lebih menyenangkan. Belajar tidak lagi terasa monoton, karena siswa bisa berkreasi sambil memahami konsep.

  5. Melatih keterampilan berpikir terstruktur. Siswa belajar bagaimana menyusun ide dari yang utama hingga ke detail pendukung.

Setelah penjelasan selesai, saya memberikan contoh sederhana di papan tulis tentang bagaimana membuat mind mapping. Misalnya, saya menuliskan kata "Letak Indonesia" di tengah lingkaran besar. Dari situ keluar cabang-cabang seperti letak astronomis, letak geografis, dan letak geologis. Kemudian saya tambahkan cabang berikutnya berisi penjelasan singkat, misalnya garis lintang, garis bujur, posisi terhadap benua dan samudra, serta pengaruh letak geologis terhadap kekayaan alam.

Setelah siswa melihat contohnya, mereka tampak mulai memahami alurnya. Saya kemudian mengarahkan mereka membuat mind mapping dengan topik gabungan yaitu letak Indonesia, iklim, dan cuaca. Mereka bebas mengembangkan cabang-cabang ide sesuai pemahaman masing-masing.

Beberapa menit kemudian, suasana kelas menjadi sangat hidup. Siswa mulai sibuk menggambar lingkaran, membuat garis cabang, memberi warna, hingga menuliskan kata kunci yang sesuai.  Saya perhatikan wajah mereka begitu serius, seolah-olah sedang menuangkan ide terbaiknya.

Yang membuat saya semakin bangga, siswa yang biasanya pasif pun ikut antusias. Mereka berdiskusi dengan teman sebangku, saling berbagi ide, dan berusaha menampilkan hasil yang maksimal. Saya berkeliling kelas untuk memberikan bimbingan kecil, tetapi sebagian besar siswa sudah bisa mengembangkan sendiri peta pikirannya.

Satu jam pembelajaran terasa begitu cepat berlalu. Di akhir waktu, saya meminta setiap siswa  mengumpulkan hasil kerjanya. Saya melihat hasil karya mereka sungguh membanggakan. Ada mind mapping yang penuh warna, ada pula yang sederhana tetapi sangat terstruktur. Semua karya menunjukkan bahwa siswa benar-benar berusaha memahami materi dengan sungguh-sungguh.

Melihat hal tersebut, saya merasa senang dan bangga. Saya menyadari bahwa metode pembelajaran yang kreatif dapat membuat siswa lebih aktif, lebih termotivasi, dan lebih mudah memahami pelajaran. Mereka tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga mengolah informasi, menyusunnya kembali, serta menuangkannya dalam bentuk visual yang menarik.

Pengalaman ini, saya belajar bahwa mind mapping bukan sekadar media belajar, tetapi juga sarana untuk melatih keterampilan, yaitu berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Dengan mind mapping, siswa belajar untuk menghubungkan konsep, mengembangkan gagasan, bekerja sama dalam kelompok, sekaligus mengkomunikasikan ide dalam bentuk yang bisa dipahami orang lain.

Saya berharap kegiatan ini bisa menjadi inspirasi bagi mereka dalam belajar mata pelajaran lain. Tidak menutup kemungkinan, siswa dapat menggunakan mind mapping untuk mempersiapkan tes semester, merangkum buku, atau bahkan membuat perencanaan kegiatan sehari-hari.

Saya menutup pelajaran dengan memberikan apresiasi kepada seluruh siswa. Saya katakan bahwa saya bangga dengan kerja keras mereka hari ini. Semoga dengan usaha dan semangat yang telah ditunjukkan, mereka bisa terus berkembang dan meraih kesuksesan di masa depan.

Pembelajaran hari itu menjadi pengalaman berharga, baik bagi saya sebagai guru maupun bagi siswa-siswa yang ikut terlibat. Saya merasa bahwa membangun suasana kelas yang kreatif, aktif, dan menyenangkan adalah kunci untuk mencapai tujuan pembelajaran yang bermakna.

Cepu, 2 September 2025

Interaksi Bangsa Indonesia dengan Bangsa Asing pada Awal Masehi

 



1. Latar Belakang

  • Letak Indonesia sangat strategis, berada di persimpangan jalur perdagangan internasional antara India – Cina – Arab.

  • Kekayaan alam terutama rempah-rempah, emas, dan hasil hutan menjadi daya tarik bangsa asing.

  • Kondisi ini mendorong terjadinya interaksi budaya, agama, dan ekonomi sejak awal Masehi.


2. Bangsa-Bangsa Asing yang Datang ke Indonesia

  1. Bangsa India

    • Datang sekitar abad ke-1 Masehi.

    • Membawa agama Hindu dan Buddha, sistem pemerintahan kerajaan, serta aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.

    • Barang dagangan: kain, logam, perhiasan.

  2. Bangsa Cina

    • Aktif berdagang sejak abad ke-2 Masehi.

    • Membawa keramik, porselen, sutra, teh, dan obat-obatan.

    • Memberikan pengaruh pada seni keramik, arsitektur (klenteng), dan budaya kuliner.

    • Agama Buddha Mahayana berkembang melalui perantara Cina.

  3. Bangsa Arab / Persia

    • Mulai berdagang sejak abad ke-7 Masehi.

    • Membawa kuda, kain, minyak wangi, dan logam.

    • Menyebarkan agama Islam melalui jalur perdagangan dan perkawinan.

    • Meninggalkan pengaruh bahasa Arab, kaligrafi, dan tradisi keislaman.

  4. Bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda)

    • Datang sejak abad ke-16 Masehi (awal kolonialisme).

    • Tujuan utama: mencari rempah-rempah.

    • Membawa senjata, perhiasan, dan kain wol.

    • Pengaruh: kolonialisme, sistem pemerintahan modern, dan teknologi Eropa.


3. Peran Bangsa Indonesia

  • Sebagai penghasil rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di dunia.

  • Sebagai perantara perdagangan antarbangsa asing.

  • Sebagai tuan rumah bagi masuknya budaya, agama, dan ilmu pengetahuan.


4. Barang Dagangan yang Diperdagangkan

  • Dari Indonesia: rempah-rempah (cengkih, pala, lada), emas, kapur barus, rotan, hasil hutan, sarang burung.

  • Dari luar negeri: sutra, keramik, perhiasan, logam, senjata, kuda, kain wol, dan obat-obatan.


5. Dampak Interaksi

Positif:

  • Berkembangnya jalur perdagangan internasional.

  • Masuknya agama Hindu, Buddha, dan Islam.

  • Berkembangnya seni, bahasa, arsitektur, dan sistem pemerintahan.

  • Terjadi akulturasi budaya (contoh: candi, masjid dengan arsitektur campuran).

Negatif:

  • Ketergantungan pada barang luar.

  • Persaingan antarbangsa asing di Indonesia.

  • Muncul kolonialisme dan penjajahan (Portugis, Spanyol, Belanda).



C. Tugas / Aktivitas

  1. Isian Singkat
    a. Sebutkan 3 bangsa asing yang berinteraksi dengan Indonesia pada awal Masehi!
    b. Apa peran bangsa Indonesia dalam jalur perdagangan internasional kala itu?
    c. Tuliskan 3 contoh barang dagangan dari Indonesia yang diminati bangsa asing!

  2. Pertanyaan Uraian
    a. Jelaskan bagaimana bangsa India berpengaruh terhadap perkembangan budaya di Indonesia!
    b. Mengapa bangsa Arab sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Indonesia?
    c. Bagaimana dampak masuknya bangsa Cina terhadap seni dan kebudayaan Indonesia?

  3. Buatlah tabel berikut di buku kalian, lalu isi dengan benar!

    Bangsa Asing

    Barang yang Dibawa

    Barang dari Indonesia

    Pengaruh yang Ditinggalkan

    India

     

     

     

    Cina

     

     

     

     

    Arab

     

     

     

    Eropa

     

     

     

     

     

     

     



    Cepu, 2 September 2025

Esmega Tiada Hari Tanpa Prestasi

 



Karya: Gutamining Saida

Senin pagi halaman sekolah Esmega dipenuhi semangat yang membara. Hari Senin selalu menjadi momen yang istimewa karena seluruh siswa, guru, dan staf berkumpul dalam upacara bendera. Ada sesuatu yang berbeda pada Senin kali ini. Selain pelaksanaan upacara yang khidmat, sebuah acara spesial telah dipersiapkan yaitu penyerahan piala dan piagam dari berbagai ajang lomba yang telah diikuti siswa-siswi Esmega.

“Tiada hari tanpa prestasi,” begitu slogan yang terus digaungkan oleh warga sekolah. Slogan ini bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi benar-benar terbukti dalam setiap langkah yang ditempuh. Beberapa minggu terakhir, siswa Esmega berhasil mengharumkan nama sekolah di berbagai bidang mulai dari akademik, seni, olahraga, hingga kegiatan kepramukaan.

Selesai bendera Merah Putih dikibarkan dengan gagah diiringi lagu Indonesia Raya yang menggema, seluruh peserta upacara tetap berdiri rapi. Wajah-wajah ceria mulai terlihat ketika pembawa acara mengumumkan agenda berikutnya yaitu penyerahan piala prestasi.

Satu per satu nama siswa dipanggil, dan riuh tepuk tangan menggema di lapangan. Pertama adalah Ramuna Mutiara, siswi yang berhasil menjuarai kejuaraan karate tingkat kabupaten. Dengan langkah percaya diri, ia maju ke depan untuk menyerahkan piala ke sekolah. Semua mata tertuju pada sosoknya yang membuktikan bahwa tekad kuat dan latihan keras membuahkan hasil yang membanggakan.

Disusul kemudian oleh Asyam Farel Dzakwan, siswa meraih juara 2 dalam Internasional Python Olympiad 25. Ketika ia menerima piagam, sorakan semangat dari teman-temannya terdengar lantang.

Prestasi lain datang dari dunia kepramukaan. Tim jambore pramuka Esmega berhasil membawa pulang gelar Juara Tergiat 1 jambore ranting ke 7 kwartir rangting Cepu tahun 2025. Tergiat 1 Pentas Seni serta penghargaan sebagai tim Penjelajah terbaik putra putri. Tidak berhenti di situ, mereka juga menyabet Tergiat 2 Pionering Putra-putri, membuktikan kemampuan dalam keterampilan teknik kepramukaan. Tak kalah kreatif, kelompok pramuka juga memenangkan lomba Kreasi Mie, sebuah kompetisi yang menguji kreativitas dalam memasak. Kemenangan ini membuat semua warga sekolah kagum.

Sementara itu, dari bidang baris-berbaris, tim Esmega meraih juara dalam LKBB putra meraih tergiat 2 dan putri tergiat ke 3 LKBB. Barisan yang rapi, kekompakan, serta semangat yang membara menjadi kunci keberhasilan mereka.

Bidang akademik pun tidak ketinggalan. Dalam ajang bimbingan belajar, siswa-siswa Esmega menunjukkan prestasi gemilang. Mereka meraih juara pertama IPS, juara ketiga Bahasa Inggris, harapan pertama IPA dan Matematika juara pertama, serta harapan kedua Bahasa Inggris dan IPA harapan satu. Hasil ini menjadi bukti nyata bahwa kerja keras para siswa dan bimbingan guru-guru membuahkan hasil yang manis.

Prestasi berlanjut dengan Juara kedua SSC, sebuah kompetisi yang mengasah keterampilan siswa di  bidang matematika. Tidak hanya itu, dalam rangka memeriahkan HUT, tim Drumband Esmega meraih Juara Pertama. Penampilan mereka yang memukau dengan irama yang bersemangat membuat juri terpesona. Bahkan dalam lomba karnaval, tim Esmega juga memperoleh juara harapan pertama.

Tak berhenti sampai di situ, siswa-siswa Esmega juga ikut serta dalam lomba gerak jalan dan berhasil meraih juara ketiga . Dengan langkah tegap dan semangat juang, mereka membuktikan bahwa disiplin adalah kunci keberhasilan.

Satu per satu piala dan piagam diterima dari siswa-siswi yang berprestasi. Wakil Kepala sekolah urusan kesiswaa yang berdiri di lapangan tampak bangga. Wajahnya memancarkan kebahagiaan melihat anak-anak didik mengukir begitu banyak prestasi.

Peserta upacara dan bapak ibu guru yang terharu, bahkan ada yang matanya berkaca-kaca. Mereka tahu betul perjuangan siswa dalam mengikuti berbagai lomba. Latihan yang panjang, waktu yang terkadang harus dikorbankan, hingga usaha keras yang sering kali menguras tenaga, semuanya terbayar lunas dengan deretan piala yang kini berjejer di meja kehormatan.

Suasana lapangan sekolah pagi itu benar-benar berbeda. Bukan hanya kebanggaan yang terasa, tetapi juga motivasi yang mengalir ke setiap siswa. Mereka yang belum sempat ikut lomba merasa terdorong untuk mencoba di kesempatan berikutnya.

Di balik setiap piala, ada cerita panjang perjuangan. Ramuna yang rela berlatih karate hingga larut malam, Farel yang tidak kenal lelah , tim pramuka yang berlatih pionering meski panas terik, hingga tim drumband yang berulang kali mengulang irama agar tampil sempurna. Semua itu adalah kisah inspirasi yang akan terus dikenang.

Senin pagi itu menjadi catatan berharga dalam sejarah Esmega. Deretan prestasi bukan hanya milik individu, tetapi juga milik seluruh warga sekolah. Kebersamaan, kerja keras, doa, dan dukungan semua pihak menjadikan Esmega layak menyandang predikat “Sekolah Prestasi.” Bagi Esmega, tiada hari tanpa prestasi.

Cepu, 1 September 2025