Selasa, 30 September 2025

Makhluk Tuhan, Makhluk Individu dan Makhluk Sosial

 


1. Pengertian Makhluk Tuhan

Makhluk Tuhan adalah semua ciptaan Tuhan yang hidup di dunia, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
👉 Khusus manusia, disebut makhluk Tuhan karena diciptakan oleh Tuhan dengan diberi akal, hati, dan kewajiban untuk beribadah serta menjalankan perintah-Nya.
Contoh: manusia berdoa, bersyukur, menjaga alam sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan.


2. Pengertian Makhluk Individu

Makhluk individu artinya manusia sebagai pribadi yang unik, berbeda satu sama lain, memiliki kelebihan, kekurangan, kebutuhan, dan cita-cita masing-masing.
👉 Setiap individu punya hak dan tanggung jawab atas dirinya.
Contoh: seorang siswa belajar tekun untuk meraih prestasi sesuai minat dan bakatnya.


3. Pengertian Makhluk Sosial

Makhluk sosial artinya manusia tidak bisa hidup sendiri, selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
👉 Karena itu, manusia membentuk kelompok, bekerja sama, dan berinteraksi dengan sesama.
Contoh: gotong royong memperbaiki jalan desa, kerja sama di sekolah, saling membantu saat ada musibah.


4. Arti Norma

Norma adalah aturan, pedoman, atau ketentuan yang berlaku dalam masyarakat untuk mengatur perilaku manusia agar sesuai dengan nilai-nilai kebaikan.
👉 Norma dibuat agar tercipta keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan hidup bersama.


5. Macam-Macam Norma

Norma dibedakan menjadi beberapa jenis:

  1. Norma Agama → aturan yang berasal dari Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.

    • Contoh: kewajiban sholat, berbuat baik, larangan mencuri.

  2. Norma Kesusilaan → aturan yang berasal dari hati nurani tentang baik dan buruk.

    • Contoh: jujur, sopan, tidak menipu.

  3. Norma Kesopanan → aturan dalam pergaulan masyarakat yang didasarkan pada kebiasaan atau adat istiadat.

    • Contoh: memberi salam, menghormati orang tua, berpakaian rapi.

  4. Norma Hukum → aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga berwenang dan memiliki sanksi tegas.

    • Contoh: peraturan lalu lintas, undang-undang, larangan merampok.


6. Fungsi Norma

Norma memiliki beberapa fungsi penting, yaitu:

  1. Mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

  2. Menciptakan ketertiban, keamanan, dan keadilan.

  3. Menjadi pedoman bertindak untuk membedakan yang baik dan buruk.

  4. Menjaga kerukunan antarindividu maupun kelompok.

  5. Memberikan sanksi bagi pelanggar agar tidak diulangi lagi.


7. Contoh Penerapan Norma

  • Norma Agama: beribadah sesuai agama masing-masing.

  • Norma Kesusilaan: berkata jujur meski sulit.

  • Norma Kesopanan: menundukkan badan saat lewat di depan orang tua.

  • Norma Hukum: memakai helm saat naik motor sesuai aturan lalu lintas.


Soal Pilihan Ganda

Pilih jawaban yang paling tepat!

  1. Manusia disebut makhluk sosial karena …
    a. memiliki akal pikiran
    b. membutuhkan orang lain dalam hidupnya 
    c. memiliki kepribadian unik
    d. diciptakan oleh Tuhan

  2. Aturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah dan bersanksi tegas disebut …
    a. Norma agama
    b. Norma kesopanan
    c. Norma hukum 
    d. Norma kesusilaan

  3. Contoh penerapan norma kesopanan adalah …
    a. Melaksanakan sholat lima waktu
    b. Jujur dalam berbicara
    c. Memakai helm saat berkendara
    d. Memberi salam kepada guru 

  4. Fungsi norma yang paling utama adalah …
    a. Mengatur tingkah laku manusia 
    b. Memberi kebebasan tanpa batas
    c. Membuat orang hidup sendiri-sendiri
    d. Menghapus adat istiadat

  5. Norma kesusilaan bersumber dari …
    a. Adat kebiasaan
    b. Hati nurani 
    c. Pemerintah
    d. Kitab suci


 Soal Isian Singkat

  1. Sebutkan tiga contoh manusia sebagai makhluk individu!

  2. Apa yang dimaksud norma agama?

  3. Berikan dua contoh penerapan norma hukum di sekolah!

  4. Mengapa manusia disebut makhluk Tuhan?

  5. Sebutkan minimal tiga fungsi norma dalam kehidupan!

Cepu, 30 September 2025

Kerajaan Kutai

 


Kerajaan Kutai

  • Merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia.

  • Berdiri sekitar abad ke-4 Masehi di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

  • Pusat pemerintahan berada di daerah Muara Kaman.


Raja-Raja Kutai

Bukti tentang raja-raja Kutai didapat dari prasasti Yupa (tugu batu untuk peringatan). Beberapa nama raja yang terkenal:

  • Kudungga → Raja pertama, kemungkinan masih asli pribumi sebelum masuk Hindu.

  • Aswawarman → Putra Kudungga, dikenal sebagai pendiri dinasti (wamsakarta).

  • Mulawarman → Raja terbesar Kutai, masa pemerintahannya membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


3. Bukti Adanya Kerajaan Kutai

Bukti utamanya berupa 7 buah prasasti Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Isi prasasti menyebutkan:

  • Persembahan kurban emas dan sapi oleh Raja Mulawarman untuk para Brahmana.

  • Kejayaan dan kemurahan hati raja-raja Kutai.


4. Pengaruh Kutai di Indonesia

  • Masuknya Hindu di Indonesia → Kutai adalah pintu awal berkembangnya agama Hindu di Nusantara.

  • Sistem pemerintahan raja → Kutai memperkenalkan struktur pemerintahan monarki bercorak Hindu.

  • Kebudayaan dan sastra → Penggunaan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta menjadi dasar perkembangan aksara di Nusantara.

  • Tradisi keagamaan → Adanya upacara kurban (sesaji) sebagai bentuk keagamaan Hindu.


5. Penyebab Keruntuhan Kutai

Kerajaan Kutai runtuh sekitar abad ke-13–16 M. Penyebabnya antara lain:

  1. Munculnya kerajaan Islam di pesisir Kalimantan, yaitu Kerajaan Kutai Kartanegara (berdiri abad ke-13 M) di sekitar Kutai Lama.

  2. Perebutan kekuasaan → Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji, berhasil menaklukkan Kutai Martadipura (Kutai Hindu).

  3. Perubahan agama → Islam mulai berkembang kuat di Kalimantan, sehingga pengaruh Hindu-Buddha memudar.

Soal Pilihan Ganda Kerajaan Kutai

1. Kerajaan Kutai dianggap sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Pusat pemerintahannya berada di ….
a. Sungai Musi, Sumatera Selatan
b. Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
c. Sungai Brantas, Jawa Timur
d. Sungai Kapuas, Kalimantan Barat

2. Raja pertama Kerajaan Kutai yang masih asli pribumi adalah ….
a. Aswawarman
b. Mulawarman
c. Kudungga
d. Purnawarman

3. Gelar “wamsakarta” (pendiri keluarga raja) dalam prasasti Yupa diberikan kepada ….
a. Kudungga
b. Aswawarman
c. Mulawarman
d. Kartanegara

4. Raja terbesar Kutai yang terkenal dermawan dan memberikan banyak kurban kepada kaum Brahmana adalah ….
a. Kudungga
b. Aswawarman
c. Mulawarman
d. Dharmawangsa

5. Bukti utama keberadaan Kerajaan Kutai adalah ….
a. Kitab Negarakertagama
b. Candi Muara Takus
c. Prasasti Yupa
d. Kitab Sutasoma

6. Bahasa dan aksara yang digunakan dalam prasasti Yupa adalah ….
a. Melayu Kuno dan Aksara Kawi
b. Sanskerta dan Pallawa
c. Jawa Kuno dan Latin
d. Sanskerta dan Jawa Kuno

7. Isi prasasti Yupa menceritakan tentang ….
a. Hubungan Kutai dengan Sriwijaya
b. Kemenangan Kutai melawan kerajaan lain
c. Persembahan kurban emas dan sapi oleh raja
d. Perdagangan laut antar pulau

8. Kerajaan Kutai runtuh karena ditaklukkan oleh kerajaan Islam, yaitu ….
a. Demak
b. Samudra Pasai
c. Kutai Kartanegara
d. Ternate

9. Kerajaan Kutai mengalami keruntuhan sekitar abad ….

a. 4 M
b. 8 M
c. 13–16 M
d. 19 M

10. Masuknya agama Hindu ke Indonesia pada masa Kutai dibuktikan dengan ….
a. Upacara kurban dan persembahan kepada dewa
b. Berdirinya kerajaan bercorak Islam
c. Adanya kitab Ramayana berbahasa Jawa
d. Hubungan dagang dengan Portugis

Cepu ,1 Oktober 2025

Senin, 29 September 2025

Kerajaan Pengaruh Hindu Budha di Indonesia

Karya: Gutamining Saida 

Pengaruh Hindu masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan budaya India sekitar abad ke-4 M. Ciri utama kerajaan bercorak Hindu tampak dari bangunan candi, sistem kasta, kitab Weda, dan dewa-dewa Hindu. Beberapa kerajaan bercorak Hindu:

1. Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur)

Kerajaan Hindu tertua di Indonesia (abad ke-4 M).

Raja yang terkenal adalah Mulawarman, yang dikenal dermawan dan mengadakan upacara korban emas untuk para brahmana.

Bukti sejarahnya berupa Prasasti Yupa yang ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.


2. Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat)

Berdiri sekitar abad ke-5 M.

Raja terkenal yaitu  Purnawarman, membangun saluran air Gomati dan Candrabaga untuk irigasi.

Bukti sejarah yaitu Prasasti Ciaruteun yang memuat jejak kaki Raja Purnawarman sebagai titisan Wisnu.



3. Kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah)

Berdiri sekitar abad ke-8 M.

Raja terkenal: Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya.

Meninggalkan peninggalan candi Hindu yang megah seperti Candi Prambanan.



4. Kerajaan Kediri (Jawa Timur)

Berdiri sekitar abad ke-11 M.

Raja terkenal: Raja Jayabaya, dikenal dengan ramalan Jangka Jayabaya.

Kehidupan sastra berkembang pesat, seperti kitab Kakawin Bharatayudha.



5. Kerajaan Majapahit (Jawa Timur)

Berdiri abad ke-13 M, mencapai puncak kejayaan di bawah Raja Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada.

Wilayah kekuasaannya sangat luas, hampir meliputi seluruh Nusantara.

Peninggalan: Candi Penataran, Kitab Negarakertagama.


☸️ Kerajaan Bercorak Budha di Indonesia

Pengaruh Budha masuk bersamaan dengan Hindu, tetapi berkembang lebih kuat di beberapa daerah tertentu. Ciri khasnya berupa stupa, ajaran Budha Mahayana, dan peninggalan berupa arca maupun kitab. Beberapa kerajaan Budha:

1. Kerajaan Sriwijaya (Sumatra Selatan)

Berdiri abad ke-7 M, pusatnya di Palembang.

Raja terkenal: Balaputradewa.

Menjadi pusat penyebaran agama Budha Mahayana di Asia Tenggara.

Bukti sejarah: Prasasti Kedukan Bukit dan berita dari pendeta Cina, I-Tsing.



2. Kerajaan Mataram Budha (Dinasti Syailendra, Jawa Tengah)

Berkuasa sekitar abad ke-8–9 M.

Raja terkenal: Raja Indra dan Samaratungga.

Peninggalan utama: Candi Borobudur, stupa terbesar di dunia.

3. Kerajaan Singasari (Jawa Timur)

Awalnya beraliran Hindu, tetapi juga kuat dengan pengaruh Budha.

Raja terkenal yaitu Kertanegara, yang menyebarkan ajaran Tantrayana (sinkretisme Hindu-Budha).

Peninggalan yaitu  Candi Jago, Candi Singosari.






Minggu, 28 September 2025

Tomat Rasa Cinta


Karya :Gutamining Saida 
Ada kalanya kebahagiaan datang dalam bentuk yang sederhana. Tidak selalu berupa barang mahal, hadiah besar, atau ucapan panjang. Kadang ia hadir lewat sebungkus kresek putih berisi buah tomat, yang di dalamnya tersimpan rasa cinta, perhatian, dan doa tulus dari orang-orang yang mencintai kita.

Selepas magrib, saya baru saja melangkah pulang dari jamaah salat.  Saat saya semakin mendekati rumah, pandangan saya tertumbuk pada tiga sosok siswi saya dari Kedungtuban. Mereka berdiri di depan rumah dengan wajah penuh senyum, seolah sedang menanti seseorang yang mereka cintai.

Tas kresek putih tampak di tangan mereka. Dari luar terlihat jelas warna oranye buah tomat yang menyembul, seakan memikat hati saya untuk segera menghampiri. Ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dada. Beberapa hari  sebelumnya mereka pulang kampung, dan kini setelah kembali ke kost, mereka masih menyempatkan diri mampir ke rumah saya.

“Assalamualaikum, Bu,” sapaan mereka terdengar kompak, penuh sopan santun dan keakraban.
Saya tersenyum, menjawab dengan suara yang juga hangat, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Langkah saya semakin dekat. Ada rasa bahagia yang sulit digambarkan ketika tiga murid-murid yang datang dengan penuh ketulusan.

“Ayo masuk dulu,” ajak saya, melangkah menuju pagar dan membuka lebar pintu. Tapi mereka menggeleng pelan. “Maaf, Bu, kali ini langsung saja balik ke kost,” jawab salah satu dari mereka sambil mengulurkan kresek putih itu.

Saya menerima kresek tersebut. Nilai yang terkandung di dalam buah tomat sungguh sangat bernilai. “Lain kali mainnya, ya bu,” kata mereka. Saya mengangguk sambil berkata, “Terima kasih banyak, semoga sukses semua kalian.” Kata-kata itu meluncur tulus dari hati saya, diiringi doa agar Allah selalu menjaga mereka.

Sesaat setelah mereka pergi, saya menatap kembali isi kresek. Buah tomat berwarna oranye cerah tersusun rapi, seolah menyemburatkan kebahagiaan. Tomat ini bukan sekadar buah. Ia adalah simbol perhatian, simbol cinta, simbol ikatan yang terjalin antara guru dan siswi.

Saya tahu, tomat itu dibawa jauh-jauh dari desa Blungun, tempat asal mereka. Betapa istimewanya buah itu, karena tidak hanya sekadar tomat, tetapi tomat yang dibalut rasa cinta. Bagi sebagian orang, mungkin ini hanya buah biasa. Tapi bagi saya, tomat ini memiliki makna yang begitu mendalam.

Saya teringat, betapa sering kita menganggap remeh pemberian kecil dari orang lain. Padahal, setiap pemberian memiliki cerita, memiliki perjalanan, dan memiliki niat tulus yang melatarbelakanginya. Tomat yang sederhana ini, barangkali sudah dipetik dengan penuh perhatian, dibungkus dengan doa, dan diantarkan dengan senyum tulus.

Besok pagi, saya berencana membuat jus tomat dari buah ini. Bukan sekadar untuk mendapatkan vitamin C yang bermanfaat bagi tubuh, tapi juga untuk merasakan “vitamin cinta” yang jauh lebih besar khasiatnya. Jus tomat itu nanti akan menjadi minuman yang bukan hanya menyegarkan tubuh, tapi juga menguatkan hati.

Betapa sering kita lupa bahwa cinta bisa hadir dalam wujud yang sederhana. Allah memberi saya rezeki tak terduga, bukan berupa uang atau barang mewah, melainkan berupa buah tomat. Tapi sesungguhnya, di balik itu Allah sedang menitipkan pelajaran.

Pelajaran bahwa rasa cinta bisa dihadirkan lewat perhatian kecil. Bahwa kebahagiaan bukan diukur dari nilai materi, melainkan dari niat tulus pemberiannya. Seorang guru bisa mendapat penghargaan luar biasa, bukan lewat piagam atau sertifikat, melainkan lewat senyum murid yang datang menemuinya.

Saya merasa hati saya semakin lapang. Kehidupan ini memang sering melelahkan, penuh tugas, penuh tanggung jawab. Tapi di balik itu, Allah selalu menebar kejutan-kejutan kecil yang menyegarkan jiwa. Malam ini, kejutan itu bernama tomat rasa cinta.

Saya pun membayangkan esok hari. Saat blender berputar menghaluskan tomat-tomat itu, saya ingin meresapi setiap tetes airnya sebagai titipan kasih dari murid-murid saya. Setiap tegukan jus tomat akan saya niatkan sebagai doa. Doa agar cinta yang mereka berikan kembali kepada mereka dalam bentuk keberkahan, kesehatan, kesuksesan, dan kebahagiaan.

Tomat itu juga mengingatkan saya bahwa guru bukan hanya tempat murid belajar, tetapi juga tempat murid menyalurkan rasa hormat, rasa sayang, bahkan rasa rindu. Hubungan guru dan murid bukan semata-mata soal ilmu, tapi juga soal hati. Ada rasa cinta yang mengikat, ada rasa terima kasih yang mereka bawa, dan ada rasa syukur yang mereka tunjukkan lewat hadiah sederhana ini.

Alhamdulillah, saya diberi murid-murid yang tidak hanya pandai belajar, tapi juga pandai mencintai. Murid-murid yang paham bahwa kebahagiaan bisa hadir lewat memberi, meski dengan sesuatu yang sederhana. Murid-murid yang mengajarkan saya kembali arti perhatian yang tulus.

Tomat rasa cinta itu akan selalu saya kenang. Karena tomat ini bukan sekadar buah, tetapi pengingat bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja, hadir dari siapa saja, dan membawa makna yang dalam. Dan di setiap butir doa, saya akan selalu mendoakan mereka, murid-murid yang Allah titipkan pada saya, agar menjadi anak-anak sukses dunia akhirat. Benar, kebahagiaan itu sederhana. Kadang, hadir dalam bentuk yang tidak pernah kita sangka. Malam ini kebahagiaan saya hadir lewat sebuah kehadiran tiga siswi desa Blungun.
Cepu, 28 September 2025 


Dompetnya Terisi Kembali



Karya: Gutamining Saida

Minggu pagi selalu saya sambut dengan rasa syukur. Hari itu adalah hari libur masuk sekolah, saat di mana tubuh bisa sedikit beristirahat dari rutinitas mengajar. Meskipun hari libur, bukan berarti waktu terbuang begitu saja. Saya percaya, kehidupan selalu memberikan pelajaran, bukan hanya dari buku pelajaran di kelas, tapi juga dari lingkungan, dari teman-teman jamaah musala, bahkan dari keluarga di rumah. Benar sekali, Minggu pagi ini saya mendapat pembelajaran yang sangat berharga, bukan dari seorang ustadz, bukan dari sebuah buku, melainkan dari anak saya sendiri.

Anak saya tiba-tiba mengajak jalan-jalan. “Ayo, Mi, kita menikmati pagi, sekalian lihat-lihat jajanan,” katanya penuh semangat. Saya yang masih menimbang-nimbang, akhirnya mengangguk. Toh, tidak ada salahnya mengisi liburan dengan berjalan-jalan ringan, apalagi bersama anak.

Kami pun melangkah menuju sebuah tempat yang  ramai oleh para pedagang. Dari kejauhan sudah terlihat keramaian dimana orang berdesakan, suara tawar-menawar, aroma masakan yang menggoda. Aneka pedagang berjejer rapi di sepanjang jalan raya, pedagang menawarkan jajanan, makanan, minuman, bahkan mainan anak. Suasana itu mengingatkan saya pada pasar malam, hanya saja ini hadir di pagi hari.

Baru saja kami berkontak mata dengan tulisan nama sebuah makanan, anak saya sudah dengan cepat menoleh kepada saya. “Umi, mau?” tanyanya ringan, tanpa banyak pikir. Lalu, sebelum saya menjawab, dia sudah menoleh ke penjual, “Bungkus satu, mbak.” Ucapannya begitu cepat, tegas, dan penuh niat membahagiakan saya. Saya yang berdiri di belakangnya hanya bisa terdiam, tak sempat berkata apa-apa.

Karena penglihatan saya kurang jelas dan ditambah kerumunan banyak pembeli yang menutupi pandangan, saya akhirnya bertanya pada anak. “Itu jual apa, dik?” Dengan sabar, ia menggandeng tangan saya, seolah ingin memastikan saya dapat melihat. “Tenang saja, Mi. Aku belikan.” Ucapannya membuat hati saya hangat. Betapa anak yang dulunya kecil dan sering saya tuntun, kini justru balik menuntun saya.

Langkah demi langkah, kantong plastik di tangannya semakin bertambah. Ada kucur jadul, putu Tegal, ada ceker pedas, ada pentol suwiran, dan entah apalagi yang sudah dia beli. Setiap kali mata saya melihat sesuatu, dia seakan lebih cepat bergerak untuk membelikannya. Hingga akhirnya, tanpa sadar, tangan kami sudah penuh dengan tentengan kresek berisi aneka jajanan.

Saya pun tertegun. Dalam hati saya bertanya, “Astaghfirullah, kenapa bisa banyak sekali begini?” Tiba-tiba perasaan bersalah muncul, takut kalau anak saya terlalu boros. Saya pun berkata, “Dik, nanti sampai rumah dompetmu kosong tanpa isi uang.”

Anak saya menoleh, lalu tersenyum. Jawabannya begitu menohok hati saya. “Tidak apa-apa, Mi. Saya ingin bahagia kan Umi hari ini. Kalau dompet kosong, nanti pasti diisi lagi sama Allah Subhanahu Wata;alla.”

Saya tercekat mendengarnya. Kalimat sederhana itu membuat mata saya terasa panas. Sebuah keimanan yang terucap begitu ringan dari lisan anak saya, justru memberi teguran lembut pada diri saya. Betapa sering saya khawatir berlebihan pada isi dompet, Padahal anak saya baru saja menegaskan sebuah keyakinan yang seharusnya selalu saya pegang yaitu  Allah-lah yang Maha Memberi Rezeki.

Kami pun pulang dengan beberapa kantong kresek yang penuh. Sesampai di rumah, makanan-makanan itu kami buka di meja. Satu per satu kami nikmati dengan penuh rasa syukur. Betapa banyak nikmat Allah Subhanahu Wata;alla.yang hadir lewat tangan penjual makanan, lewat usaha anak saya, lewat momen kecil yang begitu sederhana. Saya benar-benar merasa dihargai, dibahagiakan, dan diingatkan lewat sikap tulus anak saya.

Tidak lama berselang, anak saya mendapat chats dari seorang pasien untuk terapi kesehatan. Alhamdulillah dia ucap dengan lirih. "Ada apa?" tanya saya singkat. "Ada panggilan ke desa Batokan,” katanya. Di situlah saya menyaksikan langsung kuasa Allah Subhanahu Wata'alla. Baru saja anak saya berkata bahwa dompet kosong pasti akan diisi lagi oleh Allah, ternyata benar adanya. Allah Subhanahu Wata'alla.segera mengabulkan, bahkan dalam waktu yang begitu singkat. Lewat panggilan pasien, Allah mengalirkan rezeki. Bukankah ini bukti nyata bahwa janji Allah selalu benar? Bahwa ketika kita ikhlas mengeluarkan, Allah mengganti dengan cara-Nya, dengan waktu-Nya, dan dengan jumlah yang kadang tak terduga. Saya merasakan betapa besar kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla.yang ditunjukkan lewat peristiwa sederhana ini. Dompet yang tadi pagi kosong, sore itu kembali terisi. Bukan karena kebetulan, tapi karena janji Allah yang selalu tepat.

Allah Subhanahu Wata'alla.sudah menunjukkan begitu banyak bukti bahwa rezeki selalu datang tepat waktu. Anak saya menjadi guru terbaik pagi itu, meski tanpa disadari. Dari lisannya, saya belajar tentang iman. Dari tindakannya, saya belajar tentang tulus. Dari peristiwa ini, saya belajar tentang janji Allah yang tak pernah meleset. Saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu pelajaran hidup. 

Cepu, 28 September 2025


Sabtu, 27 September 2025

Saatnya Bersih-bersih

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu selalu punya cerita tersendiri bagi saya. Jika tidak ada arisan, silaturahmi, atau undangan resepsi manten, saya lebih memilih mengisi hari itu dengan dua kegiatan utama yaitu bersih-bersih rumah dan bersih-bersih hati bersama anak. Pagi tadi, begitu matahari belum terlalu tinggi, saya sudah mulai berkeliling rumah. Satu per satu pekerjaan saya sentuh. Mulai dari membersihkan alat masak di dapur, mengepel lantai yang semalam masih menyimpan jejak langkah, hingga menggosok kamar mandi yang selalu jadi pekerjaan paling menantang. Ada rasa puas saat melihat keramik berkilau, wajan bebas lemak, dan lantai yang dingin terasa nyaman di telapak kaki.

Minggu bukan hanya soal rutinitas menyapu dan mengepel. Ada waktunya saya ingin keluar dari rumah untuk sekadar menghirup udara berbeda. Setelah semua selesai, saya mengajak anak saya keluar. “Yuk, kita jalan-jalan sebentar,” ajak saya. Dengan senyum lebar, anak saya mengangguk, seolah sudah tahu bahwa jalan-jalan kecil itu selalu menyimpan kejutan.

Kami melangkah ke sebuah tempat yang ramai pada setiap Minggu. Dari jauh sudah terlihat para pedagang menawarkan dagangan, tawa anak-anak yang berlari sambil membawa balon, anak-anak sibuk melukis dan aroma makanan yang menyeruak ke hidung. Sepanjang jalan, aneka jajanan tersusun rapi yaitu ada es warna-warni dari es teh, es jeruk, es kuwut, es krim dan masih banyak lagi. Nasi pecel, nasi urap, bahkan nasi kobong juga ada. Asesoris cantik yang berkilau terkena sinar matahari mulai dari cincin, gelang, gantungan hp, gantungan tas dari bahan rajut juga ada. Hingga mainan anak yang menggoda siapa saja untuk menoleh. Suasananya seperti pasar kecil, penuh kehidupan dan keceriaan.

Langkah demi langkah membawa kami ke ujung jalan yang penuh dengan tulisan besar-besar menawarkan jajanan. Mata saya tiba-tiba terpaku pada satu tulisan sederhana. Jajanan Jadul Kucur. Spontan saya mendekat, karena kata “jadul” saja sudah cukup mengusik kenangan masa kecil. Anak saya yang ikut memperhatikan langsung bertanya, “Umi, pingin yang warna apa? Coklat, hijau, atau pink?”

Saya tersenyum kecil. Pilihan warnanya memang menarik, tapi hati saya tertuju pada coklat yang terasa klasik. “Coklat aja,” jawab saya singkat. Penjual segera mengambil dan membungkusnya. Aroma kucur yang manis dan gurih perlahan membuat perut saya keroncongan.

Kami kembali melangkah, dan kali ini mata saya tertumbuk pada tulisan lain yaitu Putu Tegal. Entah mengapa kaki saya langsung berbelok tanpa banyak pikir. Pikiran saya melayang jauh ke masa kecil. Saya masih ingat betul warna hijau, isinya pisang rebus dibalut dengan kelapa parut dicampu dengan gula pasir. “Kalau umi pingin, beli aja,” kata anak saya, seolah mengerti pikiran saya.

“Dua mbak,” pinta saya pada penjual. Sambil menunggu, saya tersenyum mengenang betapa jajanan sederhana ini mampu membawa saya kembali ke masa di mana hidup terasa ringan dan polos. Dua putu pisang ditaruh di kemasan plastik sudah berpindah ke tangan saya.

Belum sempat kami jauh melangkah, mata anak saya tiba-tiba berbinar melihat sesuatu di sisi kiri. “Umi, itu ceker ayam pedas,” katanya penuh semangat. Saya pun menanggapi, “Kalau mau, beli satu porsi saja.” Tanpa menunggu lama, anak saya menghampiri penjual dan langsung membelinya. Bau rempahnya membuat air liur saya ikut menetes, meski saya bukan penggemar berat makanan pedas.

Saat menunggu anak saya membayar, mata saya justru tertarik ke arah sebuah wadah berisi bulatan yang dibalut bumbu merah dengan suwiran ayam di atasnya. “Itu apa, mbak?” tanya saya penasaran, sambil menunjuk dengan telunjuk. Penjual yang ramah segera menjawab, “Oh, ini pentol suwiran, bu. Ditanggung enak deh.”

Saya dan anak saling pandang, lalu tertawa kecil. Rasanya sulit menolak tawaran jajanan baru. “Lima ribu boleh, mbak?” tanya saya. “Boleh!” jawabnya dengan cepat. Dalam sekejap, satu bungkus pentol suwiran pun masuk ke kantong belanjaan kami.

Pelan-pelan, kresek-kresek di tangan kami semakin berat. Isinya macam-macam yaitu kucur coklat, putu Tegal, ceker ayam pedas, pentol suwiran, dan beberapa jajanan lain yang entah bagaimana tiba-tiba masuk ke daftar belanja kami. Setiap langkah seolah menggiring kami pada godaan baru, dan setiap godaan sukses membuat isi dompet semakin menipis.

Saat perjalanan hampir selesai, saya menyadari sesuatu yang lucu. Pagi tadi saya bersih-bersih rumah, tapi ternyata di akhir perjalanan ini saya juga “membersihkan” isi dompet. Anak saya pun tertawa saat saya menunjukkan bahwa yang tersisa hanyalah nota-nota pembelian yang menumpuk. “Umi kalap, aku juga kalap,” katanya sambil tergelak. Kami pun sama-sama tertawa, merasa senasib karena masing-masing dompet bernasib sama yaitu bersih dari uang, penuh dengan nota pembelian. 

Ada rasa bahagia yang mengalir. Kebersamaan kami, canda tawa saat memilih makanan, hingga saling menggoda saat kalap membeli, semua itu lebih berharga dari uang yang hilang. Perjalanan kecil ini memberi saya pelajaran, bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, kebahagiaan lahir dari kucur coklat sederhana, putu Tegal yang penuh kenangan, dan senyum lebar anak yang puas menikmati ceker pedas.

Sampai di rumah, kami menaruh semua kresek di meja. Aroma berbagai makanan langsung memenuhi ruang tamu. “Kita makan bareng, ya, Mi,” kata anak saya sambil membuka bungkus pertama. Saya mengangguk, lalu mulai menyajikan sedikit demi sedikit. Rasanya seperti pesta kecil di hari Minggu.

Saya pun duduk sejenak, menatap isi meja, menatap anak saya yang lahap makan, lalu tersenyum dalam hati. Pagi ini bukan hanya tentang bersih-bersih rumah, tapi juga tentang membersihkan penat, bahkan membersihkan isi dompet agar terisi dengan cerita baru. Minggu pagi ini, paling manis, meskipun dompet kami “bersih” tak bersisa.
Cepu, 28 September 2025 

Selasa, 23 September 2025

Tic Tac Toe

Karya : Gutamining Saida 

Hari Selasa, di jam kedua pelaksanaan Penilaian Tengah Semester (PTS), suasana ruang PTS terasa lebih santai dibanding jam pertama. Mata pelajaran yang diujikan adalah informatika. Begitu masuk ke ruang dua, saya langsung bisa merasakan perbedaannya. Jika di jam pertama, pada mata pelajaran matematika, banyak wajah yang terlihat tegang, bahkan ada yang menunduk lama menatap soal sambil menggigit ujung pulpen, kali ini atmosfernya jauh lebih ringan.

Sejak bel tanda dimulainya ujian dibunyikan, para peserta tampak langsung fokus. Ada yang menunduk, menulis dengan cepat, ada pula yang sesekali berhenti berpikir sambil menatap ke atas. Sebagai pengawas, saya  memastikan suasana tetap tertib.

Tidak terasa waktu berjalan 45 menit. Anehnya, sebagian besar siswa sudah selesai. Mereka duduk santai, ada yang menutup mata sejenak, ada pula yang memegang kertas sekadar untuk mencorat-coret. Saya sadar, memang benar bahwa ujian informatika memberi rasa percaya diri lebih bagi mereka. Berbeda dengan matematika yang sering dianggap momok menakutkan, soal-soal informatika rupanya lebih bisa mereka jangkau.

Saat sedang mengawasi PTS, perhatian saya tertuju pada dua peserta di sudut belakang ruangan. Pulpen mereka bergerak cepat di atas kertas. Awalnya saya mengira mereka masih serius mengerjakan soal atau bahkan sedang bekerja sama, memberi kode satu sama lain. Rasa penasaran mendorong saya melangkah mendekat.

Sesampainya di dekat meja mereka, saya mendapati sesuatu yang tak terduga. Mereka tidak sedang mencontek, melainkan asyik bermain sebuah permainan sederhana dengan coretan kotak-kotak kecil. Saya mengernyit lalu bertanya singkat,
“Sudah selesai?”
“Sudah, Bu,” jawab salah satu dari mereka dengan nada yakin.

Saya pun tersenyum. Rupanya, setelah menyelesaikan soal, mereka mencari cara untuk mengisi waktu sambil menunggu bel tanda berakhirnya PTS. Permainan yang mereka mainkan adalah Tic-Tac-Toe, atau dalam bahasa mereka disebut Tik Tak Toe.

Apa itu Tic-Tac-Toe?
Tic-Tac-Toe adalah permainan klasik yang sangat sederhana namun terkenal di seluruh dunia. Bidangnya berupa kotak 3 x 3 yang dibentuk di atas kertas. Dua pemain bergantian mengisi kotak dengan simbol yang berbeda: pemain pertama memakai X, pemain kedua memakai O.

Aturan mainnya sederhana yaitu siapa yang berhasil menyusun tiga simbolnya dalam satu garis lurus baik horizontal, vertikal, maupun diagonal dialah pemenangnya. Jika semua kotak sudah penuh tetapi tidak ada yang berhasil menyusun tiga simbol berderet, maka permainan berakhir seri.

Meski sederhana, permainan ini menyimpan keseruan tersendiri. Hampir semua orang pernah memainkannya di masa kecil, entah saat menunggu guru datang, di waktu istirahat, atau bahkan diam-diam di sela pelajaran.

Bagaimana keseruannya?
Keseruan permainan Tic-Tac-Toe terletak pada beberapa hal yaitu :
1. Cepat dan singkat
Satu ronde permainan biasanya hanya butuh waktu 1–2 menit. Itulah sebabnya permainan ini cocok dimainkan ketika waktu senggang terbatas, seperti menunggu ujian berakhir.

2. Sarat strategi
Walau terlihat sederhana, pemain dituntut cermat. Mereka harus bisa membaca gerakan lawan, menutup peluang kemenangan, sekaligus mencari celah untuk menang. Ada rasa tegang setiap kali dua simbol sudah berjajar, tinggal menunggu satu kotak kosong untuk menentukan pemenang.

3. Menghibur tanpa ribet
Tidak perlu alat khusus selain kertas dan pulpen. Dengan media sederhana, suasana bisa langsung berubah jadi seru. Itulah yang membuat dua peserta tadi tampak begitu antusias hingga lupa sekitar.

4. Membangun interaksi
Walaupun hanya dua orang yang bermain, sering kali yang lain ikut mengamati. Mereka memberi komentar, menebak siapa yang akan menang, bahkan sesekali tertawa jika ada yang salah langkah.

Berbeda dengan mapel lain
Kejadian ini membuat saya merenungkan perbedaan suasana antar mata pelajaran saat PTS. Pada ujian matematika, ruang kelas dipenuhi ketegangan. Banyak peserta tampak cemas, ada yang lama tidak menulis, hanya menatap kosong, bahkan ada yang berulang kali menghela napas berat. Seolah setiap soal menjadi beban besar yang menekan pikiran mereka.

Sebaliknya, saat PTS informatika, rasa percaya diri siswa lebih terlihat. Sebagian besar tampak yakin dengan jawabannya. Hasilnya, dalam waktu singkat banyak yang sudah menuntaskan pekerjaannya. Situasi ruang pun menjadi lebih santai. Bahkan, muncul kreativitas kecil berupa permainan sederhana.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa tiap mata pelajaran memberi pengalaman psikologis yang berbeda bagi siswa. Ada yang memicu kecemasan, ada pula yang menghadirkan rasa percaya diri. Tugas guru adalah melihat sisi lain itu dan mencari cara agar semua mata pelajaran bisa lebih ramah bagi peserta didik.

Melihat dua peserta yang asyik bermain Tik Tak Toe, justru merasa penasaran. Saya mengingatkan untuk meneliti hasil pekerjaan sekali lagi. "Coba kalian baca lagi soalnya.," perintah saya. "Iya baik bu," jawabnya singkat. Mereka membolak balik lembar soal dan sesekali melihat lembar jawaban. Sebenarnya mereka hanya mencari cara untuk mengisi waktu dengan hal sederhana. Dari sini saya belajar bahwa anak-anak selalu punya cara kreatif untuk membuat suasana lebih ringan.

Permainan kecil itu juga memberi saya gambaran, bahwa belajar bukan sekadar soal serius dan tegang. Dalam ruang PTS sekalipun, ada sisi manusiawi yang muncul yaitu rasa bosan, keinginan bermain, hingga kreativitas mencari kesenangan sederhana.

Ketika bel tanda PTS berakhir berbunyi, mereka mengumpulkan lembar jawaban dengan wajah lega. Saya sempat melirik kertas  mereka yang penuh dengan coretan kotak 3x3 berisi simbol X dan O. Rasanya seperti menemukan cerita kecil di balik keseriusan PTS.

PTS tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tetapi juga membuka mata kita untuk melihat bagaimana siswa menghadapi tekanan, mengekspresikan diri, dan menemukan cara mereka bertahan dalam suasana ujian. Permainan sederhana seperti Tic-Tac-Toe bisa menjadi bagian dari kisah hari Selasa. 
Cepu, 24 September 2025 

Senin, 22 September 2025

Ku Jawab Dengan Basmalah

 


Karya: Gutamining Saida

Hari kedua pelaksanaan penilaian tengah semester berlangsung dengan suasana yang cukup tenang. Saya mendapat tugas mengawasi jalannya Penilain Tengah Semester. Kali ini saya ditempatkan di ruang dua, dengan mata pelajaran yang terkenal cukup menakutkan bagi sebagian besar siswa yaitu  matematika.

Sejak awal memasuki ruang ujian, saya sudah bisa merasakan bagaimana raut wajah siswa-siswa di hadapan saya. Ada yang penuh percaya diri, duduk tegak sambil memegang pensil seolah siap menghadapi soal apa pun. Ada juga yang terlihat lesu, menunduk bahkan sebelum lembar soal dibagikan. Matematika, bagi sebagian besar mereka, bukanlah pelajaran yang menyenangkan. Justru menjadi momok yang menakutkan, membuat hati ciut sebelum mencoba.

Setelah soal dan lembar jawab dibagikan, saya lanjut memberikan kertas buram agar siswa bisa mencoret-coret, menghitung, atau sekadar menuliskan rumus yang masih mereka ingat. Kertas buram itu biasanya menjadi sahabat bagi mereka yang berusaha keras menaklukkan soal. Rupanya tidak semua memanfaatkannya demikian.

Di tengah-tengah pengawasan, perhatian saya tertuju pada seorang siswa di pojok ruangan. Saya memperhatikan dengan seksama, namun tidak langsung menegur. Gerak-geriknya menarik perhatian. Ia tampak membuka soal, lalu tanpa membaca dengan serius, ia langsung memandang opsi pilihan ganda. Saya sempat heran. Bukankah seharusnya siswa membaca soal terlebih dahulu sebelum menentukan jawaban? Tetapi yang saya saksikan justru berbeda.

Siswa itu membacakan lafal basmalah perlahan. Saat kalimat bacaan itu berhenti, di situlah ia menentukan pilihan. Misalnya jika berhenti di opsi C, maka C itulah yang ia silang. Begitu terus cara ia menjawab. Awalnya saya hanya memperhatikan sambil menahan senyum, berpikir mungkin hanya sekali saja ia melakukannya. Setelah saya cermati, rupanya sebagian soal ia kerjakan dengan cara yang sama.

Saya pun mendekat. Dengan nada lembut saya bertanya, “Kenapa soalnya tidak dibaca dulu?” Ia mendongak sambil tersenyum, wajahnya polos tanpa beban. Jawabannya singkat, “Tidak bisa, Bu.” Saya kembali menegaskan, “Coba dibaca dulu soalnya.” Tetapi ia menggeleng sambil berkata lirih, “Saya tidak bisa matematika, Bu.”

Kalimat itu seakan menohok hati saya. Bukan karena ia tidak bisa, melainkan karena sikap pasrahnya seolah-olah menandakan sudah tidak ada lagi semangat untuk mencoba. Saya menatap kertas buram yang ada di mejanya. Bukan penuh dengan angka, coretan rumus, atau perhitungan, melainkan gambar-gambar yang ia buat entah sekadar mengisi waktu atau melampiaskan rasa bosannya. Ada bentuk-bentuk abstrak, ada wajah kartun, bahkan coretan seperti ikan. Semua itu seolah menjadi bukti bahwa ia tidak menaruh minat sama sekali pada soal yang ada di hadapannya.

Sebagai guru, saya tentu merasa miris. Begitulah potret sebagian anak zaman sekarang. Tidak takut mendapat nilai jelek, bahkan ada yang cenderung santai menghadapinya. Mereka lebih memilih cara instan baik lewat doa tanpa usaha, ataupun menghibur diri dengan menggambar di kertas buram daripada berjuang memahami soal.

Pendidikan hari ini tidak hanya sekadar soal menyampaikan materi, tetapi juga menanamkan sikap mental yang benar dalam menghadapi kesulitan. Siswa yang saya lihat tadi sebenarnya memberi pesan yang dalam. Ia seolah berkata: “Saya sudah menyerah sebelum bertanding.” Inilah tantangan besar yang dihadapi oleh banyak guru, khususnya dalam pelajaran yang dianggap sulit seperti matematika.

Di sisi lain, saya juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya. Bisa jadi anak itu mengalami pengalaman buruk dengan matematika sejak lama, sehingga rasa takut dan tidak percaya diri menumpuk sampai akhirnya ia benar-benar menutup pintu untuk mencoba. Atau mungkin ia belum menemukan cara belajar yang sesuai dengan gayanya. Setiap anak memang unik. Ada yang cepat paham dengan angka, ada pula yang lebih menonjol di bidang seni, olahraga, atau bahasa.

Ketika saya mengingat kembali senyumnya saat menjawab “tidak bisa, Bu”, saya melihat ada kejujuran dan kepolosan. Ia tidak berpura-pura sibuk, tidak pula mencoba mencontek. Ia hanya menunjukkan dirinya apa adanya, meskipun caranya tentu tidak tepat.

Pengalaman kecil itu membuka mata saya. Tugas guru tidak hanya mengajarkan rumus dan soal, melainkan juga membangkitkan semangat, mengajarkan bahwa mencoba itu penting, meskipun hasilnya belum sempurna. Nilai jelek memang bisa mempermalukan sementara, tetapi menyerah tanpa usaha akan merugikan sepanjang hidup.

Saya membayangkan, alangkah indahnya jika setiap anak berani berkata: “Saya akan mencoba, walaupun saya tidak tahu hasilnya.” Dengan begitu, setiap ujian bukan lagi menjadi beban, melainkan kesempatan untuk mengukur kemampuan diri.

Kejadian di ruang dua pada hari itu menjadi catatan tersendiri bagi saya. Mungkin terlihat sepele, hanya seorang siswa yang memilih jawaban dengan membaca basmalah. Tetapi di balik itu, ada pelajaran besar tentang mentalitas, usaha, dan sikap menghadapi kesulitan. Saya berharap suatu saat, siswa-siswa seperti dia bisa menemukan keberanian baru. Bahwa doa memang penting, tetapi usaha adalah jalan yang harus dilalui. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri yang mau berusaha mengubahnya.

Cepu, 23 September 2025

Minggu, 21 September 2025

Cerita Sabtu Malam


Karya :Gutamining Saida 

Sabtu malam biasanya terasa lengang. Setelah seharian penuh dengan aktivitas mengajar, memeriksa tugas, atau mengurus keluarga, sebagian besar guru memilih untuk menikmati waktu istirahat di rumah. Ada yang menonton televisi, ada yang bercengkerama dengan anak dan cucu, ada pula yang sekadar merebahkan badan sambil menggulir layar ponsel. Namun, malam itu terasa berbeda. Grup WhatsApp bernama “Suka-Suka Gue”, yang dibuat oleh Bu Wiwik beberapa waktu lalu, mendadak ramai.

Grup ini sebenarnya berisi sebagian besar guru IPS, ditambah beberapa guru lain yang sudah akrab dan sering bercanda. Nama grupnya memang terdengar nyeleneh, “Suka-Suka Gue”, hasil ide spontan Bu Wiwik yang terkenal jenaka sekaligus penuh semangat. Biasanya, grup ini hanya ramai saat ada informasi penting tentang jadwal rapat, kegiatan sekolah, atau undangan mendadak. Tetapi kalau sudah Bu Wiwik yang mulai melempar topik, suasana langsung berubah menjadi penuh canda tawa.

Malam itu, Bu Wiwik membuka obrolan dengan topik yang sedang viral di media sosial. Ia menuliskan, “ Memuliakan murid". Kalimat itu langsung mengundang perhatian. Dalam hitungan menit, notifikasi pun berdering bertubi-tubi.

Salah satu anggota grup langsung menimpali dengan komentar singkat, “Yang mulia hah!” Spontan Bu Indri. 
“Walah, kok mengingatkan masa lalu.”
“Lha teringat je, wkwkwk,” sahut anggota lain. Tak lama kemudian, Bu Wiwik mengirimkan gambar orang ketawa terbahak-bahak, membuat suasana makin cair.

Saya pun ikut berkomentar, “Masa lalu tak boleh dilupakan.” Sebagai guru IPS, tentu kalimat itu terasa pas, mengingat sejarah selalu mengajarkan untuk tidak melupakan jejak masa lampau. Segera Bu Wiwik menimpali, “Jas Merah ya!”  singkatan dari “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” yang populer dari Bung Karno.
“Betul...” jawab Bu Indri

Obrolan tidak berhenti di situ. Justru semakin melebar ke mana-mana. Pak Bambang tiba-tiba muncul dengan komentar yang membuat semua orang tertawa. “Aku ingat masa lalu, istriku malah marah ke aku, hhhh.”
Seakan tak mau kalah, Bu Wiwik langsung menimpali, “Lho, malah ingat pacar saat SMP!”
Tawa pun pecah. Saya sendiri spontan menambahkan komentar, “Bukannya sampai saat ini kita masih SMP?”
“Iya, SMPN 3 Cepu.” komentar bu Indri.
Semua yang membaca tak kuasa menahan senyum pastinya.

Pak Jum, yang memang sebentar lagi memasuki masa pensiun, ada di grup namun tidak ikut nimbrung malam ini. Saya menulis di grup, “Pak Jum yang sebentar lagi lulus.” Membaca itu, Bu Indri cepat-cepat menambahkan, “Lulus cumlaude!” Lengkap sudah suasana keakraban malam itu.

Walaupun hanya lewat layar ponsel, kebersamaan terasa begitu hangat. Seakan-akan kami sedang duduk di ruang guru SMPN 3, bercanda sambil menikmati air minum dan jajanan pasar. Obrolan ngalor-ngidul, saling melempar canda, diselingi gurauan khas yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang akrab satu sama lain.

Saya merasa, ada sesuatu yang istimewa dalam percakapan itu. Biasanya, obrolan di grup hanya singkat, sering kali kaku dan seperlunya. Tetapi malam itu berbeda. Seakan ada energi kebersamaan yang menyatukan, membuat semua merasa dekat. Bahkan, nama grup “Suka-Suka Gue” benar-benar terasa sesuaiyaitu obrolan mengalir tanpa beban, sesuka hati, penuh warna.
\
Malam semakin larut, tetapi percakapan tak kunjung reda. Notifikasi tetap berbunyi satu demi satu. Ada yang menambahkan stiker, ada yang mengirim emotikon tertawa, ada pula yang hanya menuliskan “wkwkwk” berkali-kali. Bagi saya, momen seperti ini adalah salah satu bentuk kebersamaan yang langka. Tidak ada tekanan, tidak ada formalitas, hanya tawa yang tulus dan rasa persaudaraan.

Saya jadi teringat, betapa kebersamaan guru bukan hanya dibangun di ruang kelas atau saat rapat resmi. Justru lewat momen sederhana seperti ini, ikatan itu terasa kuat. Malam itu, kami seakan sedang berbagi ruang yang sama, walau dipisahkan oleh jarak rumah masing-masing.

Sabtu malam itu akhirnya terasa seperti malam yang penuh hangat, meskipun hanya melalui layar kecil ponsel. Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang selalu punya cara untuk menciptakan keceriaan. Kebersamaan di grup WhatsApp “Suka-Suka Gue” malam itu seperti menghadirkan kembali suasana ruang guru Esmega yaitu penuh canda, gurauan, dan cerita yang mengalir begitu saja. Sebuah bukti bahwa persaudaraan tidak selalu harus bertatap muka. Kadang, lewat pesan singkat di dunia maya pun, kehangatan bisa hadir nyata dan membuat hati terasa lebih ringan.
Cepu, 21 September 2025 

Rabu, 17 September 2025

Belajar Tanpa Batas

 


Karya: Gutamining Saida

Suasana sekolah terasa cukup lengang. Saya sedang kosong jam, dan kebetulan Bu Wiwik juga tampak memiliki waktu longgar. Pikiran saya langsung teringat pada satu hal yang sejak beberapa waktu lalu ingin saya coba yaitu belajar cara menggunakan printer sekolah. Selama ini saya sering merasa sungkan karena belum terlalu paham bagaimana proses mencetak dokumen dengan baik, apalagi kalau harus menyambungkan laptop dengan perangkat yang ada di ruang guru.

Saya memberanikan diri menghampiri Bu Wiwik. “Bu Wiwik, tolong saya diajari ngeprint,” ucap saya singkat sambil tersenyum, berharap beliau bersedia meluangkan waktu. Beliau menoleh sambil tersenyum kecil. “Mau ngeprint apa? Sudah disetting laptopnya?” tanyanya dengan nada ramah namun tegas.

Saya agak bingung harus menjawab apa. “Pakai WhatsApp aja, Bu,” jawab saya cepat, maksudnya file yang ingin saya print sebenarnya sudah tersimpan di WhatsApp, tinggal dipindahkan ke laptop.

“Segera nyalakan dulu komputernya,” kata Bu Wiwik sambil mengisyaratkan agar saya mendekat ke meja komputer yang terhubung dengan printer sekolah.

“Siap,” jawab saya singkat dengan semangat.

Sambil saya mencoba menyalakan komputer, Bu Wiwik tiba-tiba nyeloteh dengan candaannya yang khas, “Bu Saida, jangan ngeprintah lho… tidak ya…”

Saya tertawa mendengarnya. Rupanya beliau sedang bermain kata antara ngeprint dengan ngeprintah. “Iya, Bu, saya cuma mau ngeprint lembar kerja siswa,” jawab saya sambil tersenyum malu-malu.

Suasana menjadi cair. Awalnya saya agak canggung, takut merepotkan beliau. Candaan itu membuat saya merasa lebih santai. Kami pun mulai belajar bersama. Bu Wiwik menunjukkan cara membuka file dari WhatsApp. Ternyata, saya harus lebih teliti memindahkan dokumen ke folder komputer agar mudah ditemukan. Beliau juga menjelaskan bahwa printer sekolah memiliki aturan tertentu tidak boleh mencetak file sembarangan, tinta harus digunakan dengan hemat, dan setiap guru sebaiknya bertanggung jawab atas dokumen yang ia cetak.

“Kalau lembar kerja siswa jumlahnya banyak, usahakan sudah disetting rapi di rumah,” kata Bu Wiwik memberi nasihat. “Biar waktu mencetak tidak terlalu lama.” Saya mengangguk-angguk tanda mengerti.  Kali ini saya benar-benar merasa beruntung bisa belajar langsung dari teman yang sabar menjelaskan. 

Tak butuh waktu lama, printer mulai berbunyi. Kertas demi kertas keluar dengan rapi, berisi lembar kerja siswa yang saya persiapkan untuk pertemuan esok. Rasanya seperti sebuah keberhasilan kecil. Dari hal yang tampak sederhana memencet tombol print saya belajar bahwa setiap orang punya proses. Ada yang cepat menguasai teknologi, ada pula yang perlu waktu dan bantuan orang lain.

Saya memandangi kertas-kertas itu sambil tersenyum. “Alhamdulillah, akhirnya bisa juga, Bu.” Bu Wiwik tersenyum balik. “Nah, kan. Tinggal sering dicoba saja, lama-lama pasti terbiasa.” Ada rasa hangat dalam hati saya. Ternyata, belajar tidak harus selalu di ruang kelas dengan murid-murid. Belajar juga bisa terjadi di ruang guru, antar rekan kerja, bahkan dalam hal-hal kecil seperti mengoperasikan printer. 

Dari pengalaman singkat itu, saya menyadari satu hal belajar sesama teman memang tidak mengenal batas. Kadang kita merasa malu mengakui bahwa kita belum bisa sesuatu, padahal justru dengan jujur meminta bantuan, kita membuka jalan untuk tumbuh. Teman-teman di sekolah adalah sumber ilmu yang luar biasa. Ada yang mahir teknologi, ada yang pintar mengatur administrasi, ada pula yang ahli dalam membimbing siswa dengan sabar.

Saya juga teringat, betapa indahnya jika setiap guru saling melengkapi. Bukan hanya dalam urusan pelajaran, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada yang pandai memasak lalu berbagi bekal, ada yang rajin menulis lalu menginspirasi teman lainnya, atau seperti Bu Wiwik hari itu, yang dengan sabar mengajari saya cara ngeprint. 

Ketika saya kembali duduk di kursi, saya termenung sejenak. Waktu yang tadinya kosong kini terisi dengan pembelajaran berharga. Saya merasa tidak ada waktu yang sia-sia selama kita mau memanfaatkannya. Bahkan waktu senggang bisa menjadi kesempatan emas untuk menambah keterampilan baru.

Saya membatin dalam hati, inilah indahnya kebersamaan di sekolah. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah, semua punya kesempatan untuk berbagi. Saya yang belajar dari Bu Wiwik. Besok lusa, mungkin saya yang bisa membantu beliau dalam hal lain. Lingkaran kebaikan semacam ini yang membuat suasana sekolah tetap hidup dan penuh makna. 

Sambil merapikan lembar kerja siswa, saya berkata, “Terima kasih banyak, Bu. Berkat bimbingan panjenengan, saya jadi bisa.” Bu Wiwik hanya tersenyum sambil berucap, “Sama-sama, Bu. Yang penting, jangan kapok mencoba. Kalau lupa, tanya lagi saja.”

Saya tersenyum lebar, merasa dikuatkan oleh kalimat sederhana itu. Betapa menyenangkannya punya teman yang tidak pelit ilmu, tidak menghakimi, dan mau berbagi pengalaman. Saya belajar dua hal sekaligus yaitu cara mencetak dokumen di printer sekolah, dan arti pentingnya saling membantu antar teman. Belajar ternyata bukan hanya soal teori atau teknologi, tapi juga soal kebersamaan, kerendahan hati, dan keberanian untuk bertanya.

Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak malu lagi jika belum bisa sesuatu. Karena belajar memang tidak mengenal batas usia, waktu, maupun tempat. Selama kita mau membuka diri, selalu ada ruang untuk tumbuh bersama. Dan siapa sangka, sebuah permintaan singkat untuk diajari ngeprint bisa menjadi momen penuh makna tentang persahabatan, kerendahan hati, dan pembelajaran tanpa batas.

Cepu, 18 September 2025

Kebersamaan Rabu Pagi

                     

Karya: Gutamining Saida

Rabu pagi itu udara terasa segar. Mentari mulai menampakkan sinarnya di balik pepohonan halaman Esmega. Hiruk pikuk suara siswa yang datang berlarian menuju kelas masing-masing terdengar bersahut-sahutan. Di sudut lain, ruang guru sudah mulai terisi dengan aktivitas khas pagi yaitu ada yang membuka buku catatan, ada yang sibuk memeriksa berkas, ada pula yang sekadar duduk sarapan pagi dan minum teh hangat sambil bercakap ringan.

Di tengah suasana itu, Bu Warti muncul dengan langkah pelan namun penuh semangat. Di tangannya terlihat sebuah tas berisi kotak bekal ukuran besar yang ditutup rapat. Tidak seperti biasanya, pagi itu beliau membawa bekal istimewa, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dinikmati bersama para guru. Wajahnya tampak sumringah, seakan ada kebahagiaan yang ingin dibagi.

“Assalamu’alaikum," sapanya sambil meletakkan tas di meja.
"Waalaikum salam." jawab ibu-ibu terasa kompak.
Rasa penasaran pun langsung muncul. Beberapa ibu guru mulai melirik, bertanya-tanya apa isi tas bekal besar itu. Tanpa menunggu lama, Bu Warti membuka tutupnya. Aroma harum khas tumisan mie goreng langsung menyeruak memenuhi ruangan. Wanginya begitu menggoda, membuat siapa pun yang menghirupnya ingin segera mencicipi.

“Silakan, bapak-ibu. Ini ada sedikit rezeki, tadi pagi saya sengaja masak lebih banyak. Mari kita nikmati bersama,” ucap Bu Warti dengan tulus. Tawaran itu tentu saja disambut dengan gembira. Sebagian guru yang sudah duduk, langsung bangkit dan menghampiri. Ada yang membawa piring, ada yang mengambil mangkok kecil, bahkan ada yang seadanya menggunakan kertas minyak. Semua tampak antusias, wajah mereka memancarkan kebahagiaan sederhana.

Tampilan mie goreng buatan Bu Warti sungguh mengundang selera. Mie berwarna kuning keemasan berpadu dengan irisan kol, sawi, dan wortel, ditambah taburan bawang goreng di atasnya. Namun yang paling mencolok adalah potongan cabe rawit hijau yang tersebar merata di antara helai-helai mie. Dari warnanya saja sudah bisa ditebak, masakan ini tidak hanya gurih tapi juga pedas menyengat.

Tak lama kemudian, sendok dan garpu mulai beradu dengan semangat. Suara gelak tawa pun mengiringi. Saat itu, Bu Indri yang baru saja menyuapkan mie ke mulutnya, spontan bersuara lantang.
“Waduh… mie-nya pedes banget, Bu Warti!” katanya sambil mengipas-ngipas mulutnya.

Ucapan itu sontak membuat suasana makin ramai. Belum sempat semua guru tertawa, Pak Bambang dengan nada tenang tapi penuh kepastian langsung menimpali,
“Bukan, Bu. Yang pedas itu bukan mienya, tapi cabenya!”

Kalimat sederhana itu justru mengundang reaksi beragam. Ada yang hanya tersenyum simpul, ada yang menahan tawa, dan ada juga yang langsung tertawa terbahak-bahak. Suasana ruang guru seketika menjadi lebih hangat.

“Pedes tapi enak, Bu Warti,” komentar salah satu guru lain sambil tetap melahap suap demi suap.
“Betul! Pedes cabe enak, asal jangan sepedas bicaramu, heheee…” celetuk guru lainnya dengan nada bercanda.

Canda itu semakin membuat suasana cair. Gelak tawa bersahut-sahutan, seakan-akan ruang guru berubah menjadi tempat kumpul keluarga besar yang penuh keakraban. Beberapa guru yang memang sedang lapar, tidak begitu peduli dengan percakapan jenaka yang terjadi. Mereka lebih memilih fokus menikmati setiap suapan mie goreng dengan penuh syukur.

Di tengah riuh itu, tampak jelas bagaimana kebersamaan tercipta. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Semua larut dalam rasa yang sama yaitu syukur dan kebahagiaan. Makanan sederhana yang disajikan dengan ketulusan mampu menghadirkan momen istimewa yang akan diingat dalam waktu lama.

Bu Warti sendiri hanya tersenyum melihat tingkah laku rekan-rekannya. Hatinya lega, bahagia karena masakannya membawa keceriaan bagi banyak orang. Ia tidak pernah menyangka mie goreng buatannya bisa menciptakan suasana seperti itu.

“Alhamdulillah, kalau bapak-ibu semua suka. Walau pedas, semoga tetap berkesan,” katanya sambil menatap kotak bekal yang mulai kosong.

Guru-guru lain pun saling melempar komentar ringan. Ada yang membandingkan mie goreng itu dengan buatan rumahnya sendiri, ada yang meminta resep, bahkan ada yang berseloroh kalau setiap Rabu sebaiknya Bu Warti rutin membawa bekal untuk kita semua. Semua tawa itu membuktikan satu hal yaitu rasa kebersamaan yang tulus mampu menghapus penat rutinitas pekerjaan.

Seiring waktu berjalan, kegiatan sarapan bersama itu perlahan usai. Piring dan mangkok yang tadi penuh kini sudah kosong, hanya menyisakan aroma pedas yang masih terasa di lidah. Guru-guru kembali ke meja masing-masing, melanjutkan aktivitas sebelum bel tanda masuk berbunyi. Suasana hati mereka berbeda. Ada semangat baru, ada energi positif yang lahir dari sekedar kebersamaan sederhana.

Ruang guru pagi itu bukan hanya tempat singgah untuk bekerja, melainkan menjadi ruang kebahagiaan bersama. Dari sekotak bekal mie goreng yang dibagi dengan ikhlas, lahirlah senyum, canda, dan rasa syukur.

Kebersamaan, itulah yang sebenarnya paling mahal. Bukan soal siapa yang membawa makanan, bukan juga soal seberapa enaknya masakan, melainkan tentang niat baik untuk berbagi. Di balik pedasnya cabai yang sempat diperdebatkan, ada manisnya persaudaraan yang terjalin semakin erat.

Rabu pagi yang sederhana berubah menjadi kenangan indah bagi guru-guru esmega. Di benak mereka, mie goreng Bu Warti bukan hanya makanan, melainkan simbol kasih, persaudaraan, dan rasa syukur atas rezeki yang Allah kirimkan lewat tangan yang ikhlas. Semoga semakin lancar dan  berkah rezekinya. Aamiin

Renungan Kehidupan

Karya : Gutamining Saida
Hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh warna. Ada tawa, ada tangis. Ada suka, ada duka. Ada keberhasilan yang membuat kita bangga, dan ada kegagalan yang membuat kita merasa jatuh begitu dalam. Di balik semua itu, hidup selalu memberi kita kesempatan untuk belajar. Belajar menerima, belajar melepaskan, belajar bersyukur, dan belajar melangkah dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya.

Sering kali kita terjebak dalam lingkaran kekhawatiran. Pikiran kita melayang jauh ke depan, membayangkan hal-hal yang bahkan belum tentu terjadi. Kita cemas akan masa depan, takut gagal, takut tidak mampu, takut kehilangan, takut tidak bahagia. Padahal, kecemasan itu hanyalah bayangan pikiran yang melemahkan hati. Allah yang Maha Mengatur sudah menyiapkan takdir terbaik untuk setiap hamba-Nya, meskipun jalan yang ditempuh terkadang terasa sulit untuk dimengerti. Maka, berhentilah mencemaskan apa yang belum terjadi. Bukankah masa depan bukan milik kita? Bukankah masa depan sepenuhnya rahasia Allah?

Hidup akan terasa lebih ringan jika kita mau menerima apa yang sudah Allah Subhanahu Wata'alla beri. Apa yang ada dalam genggaman kita hari ini adalah anugerah, meski mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita sering menuntut sesuatu yang lebih, ingin keadaan selalu sesuai dengan harapan, tanpa menyadari bahwa apa yang sudah Allah titipkan jauh lebih berharga daripada yang kita pinta. Lihatlah napas yang masih bisa kita hirup, tubuh yang masih bisa bergerak, keluarga yang masih membersamai, rezeki yang masih bisa kita nikmati, dan kesempatan untuk terus memperbaiki diri. Bukankah semua itu sudah cukup untuk disyukuri?

Berlatihlah untuk menerima takdir dengan lapang dada, meski terkadang hati menolak. Karena di balik setiap kejadian, selalu ada hikmah. Mungkin hari ini kita kecewa, tetapi kelak kita akan menyadari bahwa kekecewaan itulah yang membawa kita pada sesuatu yang lebih indah. Mungkin hari ini kita merasa kehilangan, tetapi sejatinya Allah Subhanahu Wata'alla sedang mengajarkan arti keteguhan dan penguatan iman. Mungkin hari ini kita merasa tidak adil, tetapi Allah  Subhanahu Wata'alla sedang mendidik kita untuk sabar dan percaya pada rencana-Nya.

Dan yang tak kalah penting, maafkanlah diri sendiri. Terlalu sering kita menyalahkan diri atas kesalahan masa lalu. Terlalu keras kita menghukum hati dengan penyesalan yang tak berkesudahan. Padahal, manusia memang tempat salah dan lupa. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Allah pun Maha Pengampun dan selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya. Maka, mengapa kita tidak berani memaafkan diri kita sendiri? Biarkan kesalahan itu menjadi pelajaran, bukan jerat yang membuat kita terpuruk selamanya.

Melangkahlah dengan senang hati. Jangan biarkan masa lalu mengikat kaki kita, jangan biarkan masa depan yang belum pasti menggelisahkan pikiran kita. Nikmati setiap langkah yang Allah Subhanahu Wata'alla izinkan hari ini. Bersyukur atas yang sudah dicapai, bersabar atas yang belum tercapai, dan terus berusaha tanpa putus asa. Hargailah setiap proses yang kita lalui, karena proses itulah yang membentuk siapa diri kita sesungguhnya. Proses itulah yang menguatkan, yang mendewasakan, yang menjadikan kita lebih arif dalam memandang kehidupan.

Ingatlah, hidup bukan hanya tentang hasil. Hidup adalah tentang perjalanan. Tentang bagaimana kita jatuh, bangkit, lalu belajar berjalan lebih tegap. Tentang bagaimana kita gagal, mencoba lagi, lalu akhirnya tersenyum saat berhasil. Tentang bagaimana kita kehilangan, lalu belajar menemukan kembali arti syukur. Tentang bagaimana kita menangis, lalu menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Semua proses itu tidak sia-sia. Semua itu adalah cara Allah Subhanahu Wata'alla mengajarkan kita arti kehidupan.

Maka, jangan sia-siakan hari-hari yang kita punya dengan mengeluh dan merasa tidak cukup. Waktu berjalan begitu cepat. Apa yang sudah berlalu tidak bisa kita ulang. Apa yang akan datang belum tentu kita miliki. Yang kita punya hanyalah hari ini, detik ini, dan momen ini. Gunakanlah sebaik mungkin untuk berbuat kebaikan, membahagiakan orang lain, menebarkan senyum, dan tentu saja, mendekatkan diri pada Allah.

Percayalah, setiap orang punya jalannya sendiri. Tidak perlu iri pada kehidupan orang lain, tidak perlu membandingkan diri dengan mereka. Apa yang Allah Subhanahu Wata'alla beri untuk orang lain adalah bagian dari rezekinya, dan apa yang Allah  Subhanahu Wata'alla beri untuk kita adalah bagian dari rezeki kita. Tidak akan tertukar, tidak akan tersalah. Yang terpenting adalah bagaimana kita mensyukuri setiap bagian perjalanan itu dengan hati yang ikhlas.

Hidup akan lebih indah jika kita memandangnya dengan kacamata syukur. Segala sesuatu yang kita jalani, meski berat, akan terasa ringan. Segala sesuatu yang kita terima, meski sedikit, akan terasa cukup. Dan segala sesuatu yang kita lalui, meski penuh luka, akan tetap meninggalkan kenangan manis. Karena hati yang penuh syukur tidak pernah merasa kekurangan.

Maka jalani hidup ini dengan sepenuh hati. Berhentilah mencemaskan apa yang belum terjadi. Berlatihlah menerima dan mensyukuri yang sudah Allah Subhanahu Wata'alla beri. Maafkan diri, melangkah dengan senang hati, dan hargai setiap proses yang akan kau lalui. Hidup ini singkat, jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Jadikan setiap detik sebagai ibadah, setiap langkah sebagai doa, dan setiap nafas sebagai bentuk syukur pada Allah yang Maha Pengasih.
Cepu, 17 September 2025

Selasa, 16 September 2025

Latihan soal Pendidikan Pancasila kelas 7 Semester Ganjil

 Pilihlah Jawaban Yang Paling Benar

KELAHIRAN  DAN PERUMUSAN PANCASILA

1. Kapan pertama kali gagasan dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila dikemukakan?
a. 17 Agustus 1945
b. 22 Juni 1945
c. 29 Mei 1945
d. 1 Juni 1945

2. Siapa tokoh yang pertama kali mengusulkan gagasan dasar negara pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945?
a. Ir. Soekarno
b. Moh. Yamin
c. Dr. Radjiman Wedyodiningrat
d. Supomo

3. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato yang berisi gagasan dasar negara. Apa nama yang diberikan Soekarno pada lima gagasan tersebut?
a. Dasar Republik
b. Lima Sila
c. Pancasila
d. Piagam Jakarta

4. Apa isi utama dari Piagam Jakarta yang disusun pada 22 Juni 1945?
a. Rancangan UUD
b. Rancangan Pembukaan UUD yang memuat dasar negara
c. Proklamasi Kemerdekaan
d. Piagam Persatuan

5. Salah satu perbedaan antara Pancasila versi Piagam Jakarta dan Pancasila versi UUD 1945 adalah….
a. Jumlah silanya
b. Rumusan sila pertama
c. Rumusan sila kedua
d. Rumusan sila kelima

6. Piagam Jakarta pada awalnya memuat sila pertama dengan bunyi….
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
c. Ketuhanan dengan kebebasan beragama
d. Ketuhanan sebagai landasan negara

7. Perubahan sila pertama dari Piagam Jakarta ke UUD 1945 dilakukan untuk….
a. Menghindari perpecahan bangsa
b. Memperkuat pengaruh satu golongan
c. Menolak agama lain
d. Membatasi kebebasan beragama

8. Apa peran Panitia Sembilan dalam perumusan dasar negara?
a. Menyusun rancangan undang-undang ekonomi
b. Menyusun Piagam Jakarta sebagai kompromi dasar negara
c. Membacakan Proklamasi
d. Membubarkan BPUPKI

9. Mengapa peristiwa 1 Juni 1945 dianggap sebagai hari lahir Pancasila?
a. Karena pada hari itu Soekarno mengusulkan dasar negara Pancasila
b. Karena pada hari itu Proklamasi dibacakan
c. Karena pada hari itu BPUPKI dibubarkan
d. Karena pada hari itu Piagam Jakarta ditandatangani

10. Nilai penting dari proses perumusan Pancasila adalah….
a. Menunjukkan kompromi politik antar golongan demi persatuan bangsa
b. Menunjukkan kemenangan satu kelompok atas kelompok lain
c. Menunjukkan dominasi budaya tertentu
d. Menunjukkan kekuasaan pemerintah kolonial


BPUPKI dan PPKI

1. BPUPKI dibentuk oleh Jepang pada tanggal….
a. 1 Maret 1945
b. 29 April 1945
c. 17 Agustus 1945
d. 7 Agustus 1945

2. Ketua BPUPKI adalah….
a. Dr. Radjiman Wedyodiningrat
b. Ir. Soekarno
c. Drs. Moh. Hatta
d. Mr. Moh. Yamin

3. Sidang pertama BPUPKI berlangsung pada tanggal….
a. 29 Mei – 1 Juni 1945
b. 10 – 17 Juli 1945
c. 22 Juni 1945
d. 7 Agustus 1945

4. Tokoh yang mengusulkan dasar negara pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945 adalah….
a. Ir. Soekarno
b. Moh. Yamin
c. Supomo
d. Drs. Moh. Hatta

5. Panitia Sembilan menghasilkan sebuah naskah kompromi yang dikenal dengan nama….
a. UUD 1945
b. Piagam Jakarta
c. Pancasila
d. Proklamasi

6. PPKI dibentuk sebagai pengganti BPUPKI pada tanggal….
a. 7 Agustus 1945
b. 17 Agustus 1945
c. 18 Agustus 1945
d. 22 Juni 1945

7. Ketua PPKI adalah….
a. Ir. Soekarno
b. Drs. Moh. Hatta
c. Radjiman Wedyodiningrat
d. Supomo

8. Keputusan penting PPKI pada sidang 18 Agustus 1945 adalah….
a. Membentuk BPUPKI
b. Mengesahkan UUD 1945 dan memilih presiden serta wakil presiden
c. Membentuk Panitia Sembilan
d. Membacakan teks Proklamasi

9. Presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia yang dipilih PPKI adalah….
a. Soekarno dan Supomo
b. Soekarno dan Moh. Hatta
c. Soekarno dan Moh. Yamin
d. Soekarno dan Radjiman

10. Selain mengesahkan UUD 1945, PPKI juga membentuk….
a. KNIP sebagai lembaga legislatif sementara
b. BPUPKI sebagai lembaga penasihat
c. Panitia Persiapan Pembangunan Nasional
d. Partai Politik pertama di Indonesia

Cepu, 17 September 2025

PETA



Pengertian Peta

Peta adalah gambaran permukaan bumi pada bidang datar yang diperkecil dengan menggunakan skala tertentu, dilengkapi dengan simbol-simbol untuk menunjukkan objek atau kenampakan yang ada di permukaan bumi.


Komponen Peta (Unsur-unsur Peta)

  1. Judul Peta → Menunjukkan isi atau tema peta.

  2. Skala Peta → Perbandingan jarak pada peta dengan jarak sebenarnya di lapangan.

  3. Legenda → Keterangan tentang arti simbol-simbol pada peta.

  4. Simbol Peta → Gambar sederhana untuk mewakili objek nyata, misalnya gunung, sungai, jalan.

  5. Garis Astronomis → Garis lintang dan garis bujur sebagai penunjuk letak.

  6. Arah Mata Angin → Penunjuk arah, biasanya ditandai dengan panah ke utara.

  7. Garis Tepi Peta (Frame) → Batas luar peta agar terlihat rapi.

  8. Sumber Peta → Menunjukkan asal data peta.

  9. Inset → Peta kecil tambahan yang menjelaskan lokasi tertentu dari peta utama.


Letak Komponen Peta dan Penjelasan

  1. Judul Peta

    • Letaknya: Bagian atas peta (tengah atau kiri atas).

    • Menjelaskan isi atau tema peta, misalnya “Peta Provinsi Jawa Tengah”.

  2. Skala Peta

    • Letaknya: Bagian bawah judul atau di tepi peta.

    • Menunjukkan perbandingan jarak peta dengan jarak sebenarnya.

  3. Legenda

    • Letaknya: Bagian bawah atau samping peta.

    • Berisi keterangan simbol-simbol yang dipakai pada peta.

  4. Simbol Peta

    • Letaknya: Menyebar di dalam bidang peta sesuai objek yang digambarkan.

    • Misalnya simbol gunung, sungai, kota.

  5. Garis Astronomis (Lintang & Bujur)

    • Letaknya: Membentang horizontal (lintang) dan vertikal (bujur) di bidang peta.

    • Untuk menunjukkan koordinat lokasi.

  6. Arah Mata Angin

    • Letaknya: Umumnya di pojok atas peta.

    • Simbol panah menunjuk ke utara (N).

  7. Garis Tepi (Frame)

    • Letaknya: Mengelilingi seluruh peta di bagian paling luar.

    • Berfungsi membatasi bidang peta agar rapi.

  8. Sumber Peta

    • Letaknya: Bagian bawah peta.

    • Menunjukkan asal data atau pembuat peta.

  9. Inset

    • Letaknya: Di pojok peta (biasanya kanan bawah).

    • Berupa peta kecil tambahan untuk memperjelas lokasi tertentu.

Fungsi Peta

  1. Menunjukkan lokasi suatu tempat di permukaan bumi.

  2. Menunjukkan jarak antar tempat.

  3. Menunjukkan arah antar lokasi.

  4. Menyajikan informasi spasial (persebaran fenomena alam dan sosial).

  5. Sebagai alat analisis dalam perencanaan pembangunan, transportasi, atau pertahanan.

  6. Sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan data dan informasi geografi secara visual.

Cepu, 17 September 2025