Karya: Gutamining Saida
Hari Minggu selalu saya tunggu. Ada jeda, ada ruang untuk memanjakan diri, ada kesempatan untuk kembali merasakan hal-hal sederhana yang kadang terlupakan di tengah rutinitas. Sejak bangun pagi, saya merasa ingin menikmati sesuatu yang istimewa. Bukan makanan mahal, bukan juga jajanan modern yang sedang viral di media sosial, tetapi sesuatu yang punya jejak kenangan, aroma masa kecil, dan cerita budaya yang melekat erat dalam ingatan yaitu iwel-iwel.
Entah mengapa, makanan ini tiba-tiba muncul di benak saya. Mungkin karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya. Iwel-iwel bukanlah makanan yang tersedia setiap hari di pasar. Ia muncul pada momen-momen tertentu saja, khususnya ketika seseorang mengadakan syukuran bayi baik sepasar atau selapan. Seolah-olah makanan ini punya jadwalnya sendiri untuk hadir, membawa berkah, doa, dan rasa syukur dalam setiap bungkusnya.
Saya masih ingat, ketika ada tetangga yang mengadakan sepasar,selapan bayi, anak-anak kecil di sekitar rumah pasti menunggu bungkusan iwel-iwel. Meskipun acara itu sakral dan penuh makna, selalu saja ada keceriaan tersendiri saat bungkusan daun pisang itu diberikan kepada warga saat syukuran atau bancaan. Iwel-iwel termasuk salah satu makanan yang paling disenangi. Aromanya saja sudah membuat hati bahagia.
Minggu pagi, saya memutuskan untuk berkeliling mencari apakah ada pedagang yang menjual makanan tradisional tersebut. Pasar Minggu banyak penjual dadakan yang membawa makanan khas desa yaitu arem-arem, nagasari, bothok, ketan serundeng, dan kadang kalau beruntung ada yang menjajakan iwel-iwel. Saya berangkat dengan sedikit harapan dan rasa penasaran.
Begitu tiba di pasar, suasananya riuh namun menyenangkan. Aroma daun pisang yang dipanaskan, bau jajanan pasar, dan suara tawar-menawar menambah warna pagi itu. Saya berjalan berkeliling, mata saya fokus mencari bentuk contongan daun pisang yang khas. Tidak semua orang menjualnya, jadi saya harus sabar.
Hampir putus asa, tiba-tiba saya melihat seorang ibu tua duduk di pojok, dikelilingi beberapa tampah berisi jajanan tradisional. Ada gethuk, sawut, klepon, dan iwel-iwel! Di sudut tampah paling kanan terlihat bungkusan daun pisang yang rapi, hijau kecokelatan, disemat lidi. Saya langsung tersenyum. Itulah yang saya cari.
“Bu, ini iwel-iwel ya?” tanya saya sambil menunjuk.
Ibu itu mengangguk. “Iya, Nak. Baru matang tadi masih panas.”
Saya langsung membeli beberapa bungkus. Rasanya seperti menemukan harta karun kecil yang membawa kembali potongan sejarah masa kecil saya. Di perjalanan pulang, saya sampai tergoda membuka salah satu bungkusnya, tapi saya tahan. Saya ingin menikmatinya dengan tenang di rumah, sambil duduk santai dan mengenang cerita lama.
Sesampainya di rumah, saya menyiapkan minuman. Kombinasi air putih dan jajanan tradisional selalu menjadi pasangan ideal, terutama di hari Minggu yang malas dan sunyi. Saya duduk, membuka salah satu bungkusan iwel-iwel itu dengan hati-hati. Aroma harumnya langsung menyebar campuran wangi daun pisang, ketan, dan kelapa yang masih segar.
Teksturnya lembut namun padat. Iwel-iwel dibuat dari tepung ketan dan parutan kelapa, diberi sedikit garam agar rasanya seimbang. Di tengahnya diletakkan potongan gula merah yang akan meleleh saat dikukus. Gula ini yang sering membuat kejadian lucu: kalau menggigit terlalu semangat, gulanya bisa “mencotot” (keluar muncrat) istilah orang Jawa. Saya pernah mengalaminya waktu kecil, dan ibu saya hanya tertawa melihat saya sibuk mengelap wajah dan baju.
Iwel-iwel sendiri memiliki dua jenis bungkus. Pertama, dibungkus daun pisang biasa yang dilipat memanjang lalu disemat dengan lidi. Kedua, bentuknya dicontong, seperti kerucut kecil. Keduanya sama-sama cantik dan punya daya tarik tersendiri. Iwel-iwel yang saya beli pagi itu campuran bentuk keduanya, dan melihatnya membuat saya semakin senang.
Saya mengambil satu potong. Saat digigit pelan, rasa gurih kelapa bercampur lembutnya ketan langsung menyebar di mulut. Manisnya gula merah perlahan meleleh, memberikan sensasi hangat dan legit. Rasanya sederhana, namun justru di situlah letak keistimewaannya. Makanan tradisional seperti ini tidak perlu hiasan berlebihan atau rasa yang rumit. Kesederhanaannya justru membangkitkan rasa hangat di dada, seolah membawa pulang masa-masa yang telah lewat.
Sambil menikmati setiap suap, saya teringat betapa makanan bisa menjadi bagian dari perjalanan hidup seseorang. Iwel-iwel tidak hanya soal rasa, tetapi tentang tradisi, kebersamaan, doa, dan rasa syukur. Ia muncul pada peristiwa bahagia lahirnya seorang bayi dan menjadi simbol harapan bagi kehidupan baru. Ketika memakannya, seolah ada kehangatan tersendiri yang ikut menyelinap ke dalam hati.
Hari Minggu itu berubah menjadi lebih bermakna hanya karena sebungkus makanan tradisional. Saya menyadari bahwa memanjakan diri tidak harus dengan sesuatu yang besar atau mahal. Kadang, cukup dengan mencari kembali jejak rasa yang pernah membuat kita bahagia. Seperti iwel-iwel pagi itu, yang pelan-pelan mengantarkan kenangan masa kecil, kebahagiaan desa, dan aroma syukuran yang sederhana namun penuh cinta.
Pada akhirnya saya tahu satu hal yaitu sebuah makanan bukan hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi juga tentang menghidupkan kembali bagian-bagian kecil dalam diri kita yang mungkin sempat tertidur. Iwel-iwel berhasil melakukan itu hari ini. Sebuah kebahagiaan sederhana yang menghangatkan Minggu saya sepenuhnya.
Cepu, 8 Desember 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar