Jumat, 05 Desember 2025

Es Bumi Hangus


Karya : Gutamining Saida 
Siang itu cukup panas. Matahari terasa begitu dekat, seperti menempel di atas kepala. Udara kering, langit tanpa awan, dan jalanan berdebu. Saya baru saja pulang dari kegiatan yang cukup melelahkan, dan tubuh rasanya butuh disegarkan. Anak saya mengajak memberi es. Berjalan menyusuri Kota Cepu.  Sesekali mengibas wajahnya dengan tangan.

“Mi, es yang seger enaknya apa ya?” tanyanya. Siang panas begini memang cocok cari yang dingin-dingin. Kami memutuskan untuk berkeliling, mencari minuman segar yang sesuai dengan situasi. Bukan sekadar melepas dahaga, tapi ingin mencari sesuatu yang bisa meredakan penat yang menumpuk di dada.

Tidak jauh dari jalan besar, kami menemukan sebuah warung es kecil sederhana. Kami pun masuk. Di sana terpampang daftar menu dengan nama-nama unik yang membuat saya dan anak saya saling melirik.

Satu nama langsung mencuri perhatian anak saya yaitu Es Bumi Hangus. Saya membaca ulang pelan-pelan. Nama itu terdengar asing, ekstrem, bahkan sedikit lucu. Saya jarang membeli minuman dengan nama yang aneh-aneh takut tidak cocok di lidah, takut rasanya terlalu kuat atau terlalu manis.

Es itu berwarna coklat tua, pekat seperti sisa hangus setelah bara padam. Dari tampilannya, saya mengerti mengapa dinamakan “Bumi Hangus”. Warnanya gelap, sedikit garang. Saya  tidak terlalu menyukai coklat. Rasanya sering membuat saya menggeleng pelan.

“Dik, itu kok warnanya kayak gosong,” kata saya sambil tertawa kecil.
Saya tersenyum. “Ini kayaknya  seleramu.”

Potongan roti tawar putih, serutan jeli bening seperti kelapa muda, mutiara kecil berwarna pink, dan taburan biji selasih di atasnya. Tampak sederhana, tampak bersih, dan entah kenapa terasa dekat dengan hati anak-anak.  Sementara anak saya penasaran dan memilih Es Bumi Hangus.

Ketika pesanan es  datang, saya memandanginya sejenak. Rasanya seperti melihat secuil ketenangan setelah hari yang riuh. Dia menyendok pertama masuk ke mulut, dia terdiam. Ada kelembutan yang sulit dijelaskan. Roti yang basah oleh sirup, jeli yang kenyal, mutiara pink yang memberikan sensasi kecil yang lucu, dan aroma manis yang tidak berlebihan.

Setiap suapan seperti membelai batin yang lelah. Dia tidak bicara banyak, hanya menikmati rasa yang dingin menyentuh tenggorokan, seperti hujan yang turun perlahan ke tanah yang retak. Anak saya terlihat puas. “Enak, Mi! Coklatnya pekat tapi nggak kemanisan,” katanya. Saya tersenyum. Ternyata Tuhan memberi setiap orang cara berbeda untuk menemukan kesegarannya masing-masing.

Di tengah kesibukan hidup, kadang kita lupa mencari ruang kecil untuk menenangkan diri. Siang yang panas itu, sambil duduk di warung kecil, saya dan dia merasa sedang diberi jeda. Jeda yang sederhana tak lebih dari semangkuk es namun cukup untuk menenangkan hati.

Di tengah panas yang melelahkan, di tengah urusan yang tak ada habisnya, Allah masih memberi saya kesempatan untuk merasakan hal-hal kecil yang lembut. Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Anak saya sambil bercerita tentang rasa es coklatnya. Saya menatap jalanan yang berkilat karena terik, tetapi hati saya sudah tidak sepanas tadi.

Saya tersadar, sering kali yang kita butuhkan bukan sesuatu yang besar. Kadang hanya semangkuk es yang sederhana. Kadang hanya duduk bersama anak. Kadang hanya berhenti sebentar dari hiruk-pikuk dunia.
Cepu, 5 Desember 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar