Minggu, 28 September 2025

Dompetnya Terisi Kembali



Karya: Gutamining Saida

Minggu pagi selalu saya sambut dengan rasa syukur. Hari itu adalah hari libur masuk sekolah, saat di mana tubuh bisa sedikit beristirahat dari rutinitas mengajar. Meskipun hari libur, bukan berarti waktu terbuang begitu saja. Saya percaya, kehidupan selalu memberikan pelajaran, bukan hanya dari buku pelajaran di kelas, tapi juga dari lingkungan, dari teman-teman jamaah musala, bahkan dari keluarga di rumah. Benar sekali, Minggu pagi ini saya mendapat pembelajaran yang sangat berharga, bukan dari seorang ustadz, bukan dari sebuah buku, melainkan dari anak saya sendiri.

Anak saya tiba-tiba mengajak jalan-jalan. “Ayo, Mi, kita menikmati pagi, sekalian lihat-lihat jajanan,” katanya penuh semangat. Saya yang masih menimbang-nimbang, akhirnya mengangguk. Toh, tidak ada salahnya mengisi liburan dengan berjalan-jalan ringan, apalagi bersama anak.

Kami pun melangkah menuju sebuah tempat yang  ramai oleh para pedagang. Dari kejauhan sudah terlihat keramaian dimana orang berdesakan, suara tawar-menawar, aroma masakan yang menggoda. Aneka pedagang berjejer rapi di sepanjang jalan raya, pedagang menawarkan jajanan, makanan, minuman, bahkan mainan anak. Suasana itu mengingatkan saya pada pasar malam, hanya saja ini hadir di pagi hari.

Baru saja kami berkontak mata dengan tulisan nama sebuah makanan, anak saya sudah dengan cepat menoleh kepada saya. “Umi, mau?” tanyanya ringan, tanpa banyak pikir. Lalu, sebelum saya menjawab, dia sudah menoleh ke penjual, “Bungkus satu, mbak.” Ucapannya begitu cepat, tegas, dan penuh niat membahagiakan saya. Saya yang berdiri di belakangnya hanya bisa terdiam, tak sempat berkata apa-apa.

Karena penglihatan saya kurang jelas dan ditambah kerumunan banyak pembeli yang menutupi pandangan, saya akhirnya bertanya pada anak. “Itu jual apa, dik?” Dengan sabar, ia menggandeng tangan saya, seolah ingin memastikan saya dapat melihat. “Tenang saja, Mi. Aku belikan.” Ucapannya membuat hati saya hangat. Betapa anak yang dulunya kecil dan sering saya tuntun, kini justru balik menuntun saya.

Langkah demi langkah, kantong plastik di tangannya semakin bertambah. Ada kucur jadul, putu Tegal, ada ceker pedas, ada pentol suwiran, dan entah apalagi yang sudah dia beli. Setiap kali mata saya melihat sesuatu, dia seakan lebih cepat bergerak untuk membelikannya. Hingga akhirnya, tanpa sadar, tangan kami sudah penuh dengan tentengan kresek berisi aneka jajanan.

Saya pun tertegun. Dalam hati saya bertanya, “Astaghfirullah, kenapa bisa banyak sekali begini?” Tiba-tiba perasaan bersalah muncul, takut kalau anak saya terlalu boros. Saya pun berkata, “Dik, nanti sampai rumah dompetmu kosong tanpa isi uang.”

Anak saya menoleh, lalu tersenyum. Jawabannya begitu menohok hati saya. “Tidak apa-apa, Mi. Saya ingin bahagia kan Umi hari ini. Kalau dompet kosong, nanti pasti diisi lagi sama Allah Subhanahu Wata;alla.”

Saya tercekat mendengarnya. Kalimat sederhana itu membuat mata saya terasa panas. Sebuah keimanan yang terucap begitu ringan dari lisan anak saya, justru memberi teguran lembut pada diri saya. Betapa sering saya khawatir berlebihan pada isi dompet, Padahal anak saya baru saja menegaskan sebuah keyakinan yang seharusnya selalu saya pegang yaitu  Allah-lah yang Maha Memberi Rezeki.

Kami pun pulang dengan beberapa kantong kresek yang penuh. Sesampai di rumah, makanan-makanan itu kami buka di meja. Satu per satu kami nikmati dengan penuh rasa syukur. Betapa banyak nikmat Allah Subhanahu Wata;alla.yang hadir lewat tangan penjual makanan, lewat usaha anak saya, lewat momen kecil yang begitu sederhana. Saya benar-benar merasa dihargai, dibahagiakan, dan diingatkan lewat sikap tulus anak saya.

Tidak lama berselang, anak saya mendapat chats dari seorang pasien untuk terapi kesehatan. Alhamdulillah dia ucap dengan lirih. "Ada apa?" tanya saya singkat. "Ada panggilan ke desa Batokan,” katanya. Di situlah saya menyaksikan langsung kuasa Allah Subhanahu Wata'alla. Baru saja anak saya berkata bahwa dompet kosong pasti akan diisi lagi oleh Allah, ternyata benar adanya. Allah Subhanahu Wata'alla.segera mengabulkan, bahkan dalam waktu yang begitu singkat. Lewat panggilan pasien, Allah mengalirkan rezeki. Bukankah ini bukti nyata bahwa janji Allah selalu benar? Bahwa ketika kita ikhlas mengeluarkan, Allah mengganti dengan cara-Nya, dengan waktu-Nya, dan dengan jumlah yang kadang tak terduga. Saya merasakan betapa besar kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla.yang ditunjukkan lewat peristiwa sederhana ini. Dompet yang tadi pagi kosong, sore itu kembali terisi. Bukan karena kebetulan, tapi karena janji Allah yang selalu tepat.

Allah Subhanahu Wata'alla.sudah menunjukkan begitu banyak bukti bahwa rezeki selalu datang tepat waktu. Anak saya menjadi guru terbaik pagi itu, meski tanpa disadari. Dari lisannya, saya belajar tentang iman. Dari tindakannya, saya belajar tentang tulus. Dari peristiwa ini, saya belajar tentang janji Allah yang tak pernah meleset. Saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu pelajaran hidup. 

Cepu, 28 September 2025


Tidak ada komentar:

Posting Komentar