Sabtu, 27 September 2025

Saatnya Bersih-bersih

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu selalu punya cerita tersendiri bagi saya. Jika tidak ada arisan, silaturahmi, atau undangan resepsi manten, saya lebih memilih mengisi hari itu dengan dua kegiatan utama yaitu bersih-bersih rumah dan bersih-bersih hati bersama anak. Pagi tadi, begitu matahari belum terlalu tinggi, saya sudah mulai berkeliling rumah. Satu per satu pekerjaan saya sentuh. Mulai dari membersihkan alat masak di dapur, mengepel lantai yang semalam masih menyimpan jejak langkah, hingga menggosok kamar mandi yang selalu jadi pekerjaan paling menantang. Ada rasa puas saat melihat keramik berkilau, wajan bebas lemak, dan lantai yang dingin terasa nyaman di telapak kaki.

Minggu bukan hanya soal rutinitas menyapu dan mengepel. Ada waktunya saya ingin keluar dari rumah untuk sekadar menghirup udara berbeda. Setelah semua selesai, saya mengajak anak saya keluar. “Yuk, kita jalan-jalan sebentar,” ajak saya. Dengan senyum lebar, anak saya mengangguk, seolah sudah tahu bahwa jalan-jalan kecil itu selalu menyimpan kejutan.

Kami melangkah ke sebuah tempat yang ramai pada setiap Minggu. Dari jauh sudah terlihat para pedagang menawarkan dagangan, tawa anak-anak yang berlari sambil membawa balon, anak-anak sibuk melukis dan aroma makanan yang menyeruak ke hidung. Sepanjang jalan, aneka jajanan tersusun rapi yaitu ada es warna-warni dari es teh, es jeruk, es kuwut, es krim dan masih banyak lagi. Nasi pecel, nasi urap, bahkan nasi kobong juga ada. Asesoris cantik yang berkilau terkena sinar matahari mulai dari cincin, gelang, gantungan hp, gantungan tas dari bahan rajut juga ada. Hingga mainan anak yang menggoda siapa saja untuk menoleh. Suasananya seperti pasar kecil, penuh kehidupan dan keceriaan.

Langkah demi langkah membawa kami ke ujung jalan yang penuh dengan tulisan besar-besar menawarkan jajanan. Mata saya tiba-tiba terpaku pada satu tulisan sederhana. Jajanan Jadul Kucur. Spontan saya mendekat, karena kata “jadul” saja sudah cukup mengusik kenangan masa kecil. Anak saya yang ikut memperhatikan langsung bertanya, “Umi, pingin yang warna apa? Coklat, hijau, atau pink?”

Saya tersenyum kecil. Pilihan warnanya memang menarik, tapi hati saya tertuju pada coklat yang terasa klasik. “Coklat aja,” jawab saya singkat. Penjual segera mengambil dan membungkusnya. Aroma kucur yang manis dan gurih perlahan membuat perut saya keroncongan.

Kami kembali melangkah, dan kali ini mata saya tertumbuk pada tulisan lain yaitu Putu Tegal. Entah mengapa kaki saya langsung berbelok tanpa banyak pikir. Pikiran saya melayang jauh ke masa kecil. Saya masih ingat betul warna hijau, isinya pisang rebus dibalut dengan kelapa parut dicampu dengan gula pasir. “Kalau umi pingin, beli aja,” kata anak saya, seolah mengerti pikiran saya.

“Dua mbak,” pinta saya pada penjual. Sambil menunggu, saya tersenyum mengenang betapa jajanan sederhana ini mampu membawa saya kembali ke masa di mana hidup terasa ringan dan polos. Dua putu pisang ditaruh di kemasan plastik sudah berpindah ke tangan saya.

Belum sempat kami jauh melangkah, mata anak saya tiba-tiba berbinar melihat sesuatu di sisi kiri. “Umi, itu ceker ayam pedas,” katanya penuh semangat. Saya pun menanggapi, “Kalau mau, beli satu porsi saja.” Tanpa menunggu lama, anak saya menghampiri penjual dan langsung membelinya. Bau rempahnya membuat air liur saya ikut menetes, meski saya bukan penggemar berat makanan pedas.

Saat menunggu anak saya membayar, mata saya justru tertarik ke arah sebuah wadah berisi bulatan yang dibalut bumbu merah dengan suwiran ayam di atasnya. “Itu apa, mbak?” tanya saya penasaran, sambil menunjuk dengan telunjuk. Penjual yang ramah segera menjawab, “Oh, ini pentol suwiran, bu. Ditanggung enak deh.”

Saya dan anak saling pandang, lalu tertawa kecil. Rasanya sulit menolak tawaran jajanan baru. “Lima ribu boleh, mbak?” tanya saya. “Boleh!” jawabnya dengan cepat. Dalam sekejap, satu bungkus pentol suwiran pun masuk ke kantong belanjaan kami.

Pelan-pelan, kresek-kresek di tangan kami semakin berat. Isinya macam-macam yaitu kucur coklat, putu Tegal, ceker ayam pedas, pentol suwiran, dan beberapa jajanan lain yang entah bagaimana tiba-tiba masuk ke daftar belanja kami. Setiap langkah seolah menggiring kami pada godaan baru, dan setiap godaan sukses membuat isi dompet semakin menipis.

Saat perjalanan hampir selesai, saya menyadari sesuatu yang lucu. Pagi tadi saya bersih-bersih rumah, tapi ternyata di akhir perjalanan ini saya juga “membersihkan” isi dompet. Anak saya pun tertawa saat saya menunjukkan bahwa yang tersisa hanyalah nota-nota pembelian yang menumpuk. “Umi kalap, aku juga kalap,” katanya sambil tergelak. Kami pun sama-sama tertawa, merasa senasib karena masing-masing dompet bernasib sama yaitu bersih dari uang, penuh dengan nota pembelian. 

Ada rasa bahagia yang mengalir. Kebersamaan kami, canda tawa saat memilih makanan, hingga saling menggoda saat kalap membeli, semua itu lebih berharga dari uang yang hilang. Perjalanan kecil ini memberi saya pelajaran, bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, kebahagiaan lahir dari kucur coklat sederhana, putu Tegal yang penuh kenangan, dan senyum lebar anak yang puas menikmati ceker pedas.

Sampai di rumah, kami menaruh semua kresek di meja. Aroma berbagai makanan langsung memenuhi ruang tamu. “Kita makan bareng, ya, Mi,” kata anak saya sambil membuka bungkus pertama. Saya mengangguk, lalu mulai menyajikan sedikit demi sedikit. Rasanya seperti pesta kecil di hari Minggu.

Saya pun duduk sejenak, menatap isi meja, menatap anak saya yang lahap makan, lalu tersenyum dalam hati. Pagi ini bukan hanya tentang bersih-bersih rumah, tapi juga tentang membersihkan penat, bahkan membersihkan isi dompet agar terisi dengan cerita baru. Minggu pagi ini, paling manis, meskipun dompet kami “bersih” tak bersisa.
Cepu, 28 September 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar