Rabu, 17 September 2025

Kebersamaan Rabu Pagi

                     

Karya: Gutamining Saida

Rabu pagi itu udara terasa segar. Mentari mulai menampakkan sinarnya di balik pepohonan halaman Esmega. Hiruk pikuk suara siswa yang datang berlarian menuju kelas masing-masing terdengar bersahut-sahutan. Di sudut lain, ruang guru sudah mulai terisi dengan aktivitas khas pagi yaitu ada yang membuka buku catatan, ada yang sibuk memeriksa berkas, ada pula yang sekadar duduk sarapan pagi dan minum teh hangat sambil bercakap ringan.

Di tengah suasana itu, Bu Warti muncul dengan langkah pelan namun penuh semangat. Di tangannya terlihat sebuah tas berisi kotak bekal ukuran besar yang ditutup rapat. Tidak seperti biasanya, pagi itu beliau membawa bekal istimewa, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dinikmati bersama para guru. Wajahnya tampak sumringah, seakan ada kebahagiaan yang ingin dibagi.

“Assalamu’alaikum," sapanya sambil meletakkan tas di meja.
"Waalaikum salam." jawab ibu-ibu terasa kompak.
Rasa penasaran pun langsung muncul. Beberapa ibu guru mulai melirik, bertanya-tanya apa isi tas bekal besar itu. Tanpa menunggu lama, Bu Warti membuka tutupnya. Aroma harum khas tumisan mie goreng langsung menyeruak memenuhi ruangan. Wanginya begitu menggoda, membuat siapa pun yang menghirupnya ingin segera mencicipi.

“Silakan, bapak-ibu. Ini ada sedikit rezeki, tadi pagi saya sengaja masak lebih banyak. Mari kita nikmati bersama,” ucap Bu Warti dengan tulus. Tawaran itu tentu saja disambut dengan gembira. Sebagian guru yang sudah duduk, langsung bangkit dan menghampiri. Ada yang membawa piring, ada yang mengambil mangkok kecil, bahkan ada yang seadanya menggunakan kertas minyak. Semua tampak antusias, wajah mereka memancarkan kebahagiaan sederhana.

Tampilan mie goreng buatan Bu Warti sungguh mengundang selera. Mie berwarna kuning keemasan berpadu dengan irisan kol, sawi, dan wortel, ditambah taburan bawang goreng di atasnya. Namun yang paling mencolok adalah potongan cabe rawit hijau yang tersebar merata di antara helai-helai mie. Dari warnanya saja sudah bisa ditebak, masakan ini tidak hanya gurih tapi juga pedas menyengat.

Tak lama kemudian, sendok dan garpu mulai beradu dengan semangat. Suara gelak tawa pun mengiringi. Saat itu, Bu Indri yang baru saja menyuapkan mie ke mulutnya, spontan bersuara lantang.
“Waduh… mie-nya pedes banget, Bu Warti!” katanya sambil mengipas-ngipas mulutnya.

Ucapan itu sontak membuat suasana makin ramai. Belum sempat semua guru tertawa, Pak Bambang dengan nada tenang tapi penuh kepastian langsung menimpali,
“Bukan, Bu. Yang pedas itu bukan mienya, tapi cabenya!”

Kalimat sederhana itu justru mengundang reaksi beragam. Ada yang hanya tersenyum simpul, ada yang menahan tawa, dan ada juga yang langsung tertawa terbahak-bahak. Suasana ruang guru seketika menjadi lebih hangat.

“Pedes tapi enak, Bu Warti,” komentar salah satu guru lain sambil tetap melahap suap demi suap.
“Betul! Pedes cabe enak, asal jangan sepedas bicaramu, heheee…” celetuk guru lainnya dengan nada bercanda.

Canda itu semakin membuat suasana cair. Gelak tawa bersahut-sahutan, seakan-akan ruang guru berubah menjadi tempat kumpul keluarga besar yang penuh keakraban. Beberapa guru yang memang sedang lapar, tidak begitu peduli dengan percakapan jenaka yang terjadi. Mereka lebih memilih fokus menikmati setiap suapan mie goreng dengan penuh syukur.

Di tengah riuh itu, tampak jelas bagaimana kebersamaan tercipta. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Semua larut dalam rasa yang sama yaitu syukur dan kebahagiaan. Makanan sederhana yang disajikan dengan ketulusan mampu menghadirkan momen istimewa yang akan diingat dalam waktu lama.

Bu Warti sendiri hanya tersenyum melihat tingkah laku rekan-rekannya. Hatinya lega, bahagia karena masakannya membawa keceriaan bagi banyak orang. Ia tidak pernah menyangka mie goreng buatannya bisa menciptakan suasana seperti itu.

“Alhamdulillah, kalau bapak-ibu semua suka. Walau pedas, semoga tetap berkesan,” katanya sambil menatap kotak bekal yang mulai kosong.

Guru-guru lain pun saling melempar komentar ringan. Ada yang membandingkan mie goreng itu dengan buatan rumahnya sendiri, ada yang meminta resep, bahkan ada yang berseloroh kalau setiap Rabu sebaiknya Bu Warti rutin membawa bekal untuk kita semua. Semua tawa itu membuktikan satu hal yaitu rasa kebersamaan yang tulus mampu menghapus penat rutinitas pekerjaan.

Seiring waktu berjalan, kegiatan sarapan bersama itu perlahan usai. Piring dan mangkok yang tadi penuh kini sudah kosong, hanya menyisakan aroma pedas yang masih terasa di lidah. Guru-guru kembali ke meja masing-masing, melanjutkan aktivitas sebelum bel tanda masuk berbunyi. Suasana hati mereka berbeda. Ada semangat baru, ada energi positif yang lahir dari sekedar kebersamaan sederhana.

Ruang guru pagi itu bukan hanya tempat singgah untuk bekerja, melainkan menjadi ruang kebahagiaan bersama. Dari sekotak bekal mie goreng yang dibagi dengan ikhlas, lahirlah senyum, canda, dan rasa syukur.

Kebersamaan, itulah yang sebenarnya paling mahal. Bukan soal siapa yang membawa makanan, bukan juga soal seberapa enaknya masakan, melainkan tentang niat baik untuk berbagi. Di balik pedasnya cabai yang sempat diperdebatkan, ada manisnya persaudaraan yang terjalin semakin erat.

Rabu pagi yang sederhana berubah menjadi kenangan indah bagi guru-guru esmega. Di benak mereka, mie goreng Bu Warti bukan hanya makanan, melainkan simbol kasih, persaudaraan, dan rasa syukur atas rezeki yang Allah kirimkan lewat tangan yang ikhlas. Semoga semakin lancar dan  berkah rezekinya. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar