Karya: Gutamining Saida
Suasana sekolah terasa cukup lengang. Saya sedang kosong jam, dan kebetulan Bu Wiwik juga tampak memiliki waktu longgar. Pikiran saya langsung teringat pada satu hal yang sejak beberapa waktu lalu ingin saya coba yaitu belajar cara menggunakan printer sekolah. Selama ini saya sering merasa sungkan karena belum terlalu paham bagaimana proses mencetak dokumen dengan baik, apalagi kalau harus menyambungkan laptop dengan perangkat yang ada di ruang guru.
Saya memberanikan diri menghampiri Bu Wiwik. “Bu Wiwik, tolong saya diajari ngeprint,” ucap saya singkat sambil tersenyum, berharap beliau bersedia meluangkan waktu. Beliau menoleh sambil tersenyum kecil. “Mau ngeprint apa? Sudah disetting laptopnya?” tanyanya dengan nada ramah namun tegas.
Saya agak bingung harus menjawab apa. “Pakai WhatsApp aja, Bu,” jawab saya cepat, maksudnya file yang ingin saya print sebenarnya sudah tersimpan di WhatsApp, tinggal dipindahkan ke laptop.
“Segera nyalakan dulu komputernya,” kata Bu Wiwik sambil mengisyaratkan agar saya mendekat ke meja komputer yang terhubung dengan printer sekolah.
“Siap,” jawab saya singkat dengan semangat.
Sambil saya mencoba menyalakan komputer, Bu Wiwik tiba-tiba nyeloteh dengan candaannya yang khas, “Bu Saida, jangan ngeprintah lho… tidak ya…”
Saya tertawa mendengarnya. Rupanya beliau sedang bermain kata antara ngeprint dengan ngeprintah. “Iya, Bu, saya cuma mau ngeprint lembar kerja siswa,” jawab saya sambil tersenyum malu-malu.
Suasana menjadi cair. Awalnya saya agak canggung, takut merepotkan beliau. Candaan itu membuat saya merasa lebih santai. Kami pun mulai belajar bersama. Bu Wiwik menunjukkan cara membuka file dari WhatsApp. Ternyata, saya harus lebih teliti memindahkan dokumen ke folder komputer agar mudah ditemukan. Beliau juga menjelaskan bahwa printer sekolah memiliki aturan tertentu tidak boleh mencetak file sembarangan, tinta harus digunakan dengan hemat, dan setiap guru sebaiknya bertanggung jawab atas dokumen yang ia cetak.
“Kalau lembar kerja siswa jumlahnya banyak, usahakan sudah disetting rapi di rumah,” kata Bu Wiwik memberi nasihat. “Biar waktu mencetak tidak terlalu lama.” Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Kali ini saya benar-benar merasa beruntung bisa belajar langsung dari teman yang sabar menjelaskan.
Tak butuh waktu lama, printer mulai berbunyi. Kertas demi kertas keluar dengan rapi, berisi lembar kerja siswa yang saya persiapkan untuk pertemuan esok. Rasanya seperti sebuah keberhasilan kecil. Dari hal yang tampak sederhana memencet tombol print saya belajar bahwa setiap orang punya proses. Ada yang cepat menguasai teknologi, ada pula yang perlu waktu dan bantuan orang lain.
Saya memandangi kertas-kertas itu sambil tersenyum. “Alhamdulillah, akhirnya bisa juga, Bu.” Bu Wiwik tersenyum balik. “Nah, kan. Tinggal sering dicoba saja, lama-lama pasti terbiasa.” Ada rasa hangat dalam hati saya. Ternyata, belajar tidak harus selalu di ruang kelas dengan murid-murid. Belajar juga bisa terjadi di ruang guru, antar rekan kerja, bahkan dalam hal-hal kecil seperti mengoperasikan printer.
Dari pengalaman singkat itu, saya menyadari satu hal belajar sesama teman memang tidak mengenal batas. Kadang kita merasa malu mengakui bahwa kita belum bisa sesuatu, padahal justru dengan jujur meminta bantuan, kita membuka jalan untuk tumbuh. Teman-teman di sekolah adalah sumber ilmu yang luar biasa. Ada yang mahir teknologi, ada yang pintar mengatur administrasi, ada pula yang ahli dalam membimbing siswa dengan sabar.
Saya juga teringat, betapa indahnya jika setiap guru saling melengkapi. Bukan hanya dalam urusan pelajaran, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada yang pandai memasak lalu berbagi bekal, ada yang rajin menulis lalu menginspirasi teman lainnya, atau seperti Bu Wiwik hari itu, yang dengan sabar mengajari saya cara ngeprint.
Ketika saya kembali duduk di kursi, saya termenung sejenak. Waktu yang tadinya kosong kini terisi dengan pembelajaran berharga. Saya merasa tidak ada waktu yang sia-sia selama kita mau memanfaatkannya. Bahkan waktu senggang bisa menjadi kesempatan emas untuk menambah keterampilan baru.
Saya membatin dalam hati, inilah indahnya kebersamaan di sekolah. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah, semua punya kesempatan untuk berbagi. Saya yang belajar dari Bu Wiwik. Besok lusa, mungkin saya yang bisa membantu beliau dalam hal lain. Lingkaran kebaikan semacam ini yang membuat suasana sekolah tetap hidup dan penuh makna.
Sambil merapikan lembar kerja siswa, saya berkata, “Terima kasih banyak, Bu. Berkat bimbingan panjenengan, saya jadi bisa.” Bu Wiwik hanya tersenyum sambil berucap, “Sama-sama, Bu. Yang penting, jangan kapok mencoba. Kalau lupa, tanya lagi saja.”
Saya tersenyum lebar, merasa dikuatkan oleh kalimat sederhana itu. Betapa menyenangkannya punya teman yang tidak pelit ilmu, tidak menghakimi, dan mau berbagi pengalaman. Saya belajar dua hal sekaligus yaitu cara mencetak dokumen di printer sekolah, dan arti pentingnya saling membantu antar teman. Belajar ternyata bukan hanya soal teori atau teknologi, tapi juga soal kebersamaan, kerendahan hati, dan keberanian untuk bertanya.
Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak malu lagi jika belum bisa sesuatu. Karena belajar memang tidak mengenal batas usia, waktu, maupun tempat. Selama kita mau membuka diri, selalu ada ruang untuk tumbuh bersama. Dan siapa sangka, sebuah permintaan singkat untuk diajari ngeprint bisa menjadi momen penuh makna tentang persahabatan, kerendahan hati, dan pembelajaran tanpa batas.
Cepu, 18 September 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar