Karya: Gutamining Saida
Hari kedua pelaksanaan penilaian tengah semester berlangsung dengan suasana yang cukup tenang. Saya mendapat tugas mengawasi jalannya Penilain Tengah Semester. Kali ini saya ditempatkan di ruang dua, dengan mata pelajaran yang terkenal cukup menakutkan bagi sebagian besar siswa yaitu matematika.
Sejak awal memasuki ruang ujian, saya sudah bisa merasakan bagaimana raut wajah siswa-siswa di hadapan saya. Ada yang penuh percaya diri, duduk tegak sambil memegang pensil seolah siap menghadapi soal apa pun. Ada juga yang terlihat lesu, menunduk bahkan sebelum lembar soal dibagikan. Matematika, bagi sebagian besar mereka, bukanlah pelajaran yang menyenangkan. Justru menjadi momok yang menakutkan, membuat hati ciut sebelum mencoba.
Setelah soal dan lembar jawab dibagikan, saya lanjut memberikan kertas buram agar siswa bisa mencoret-coret, menghitung, atau sekadar menuliskan rumus yang masih mereka ingat. Kertas buram itu biasanya menjadi sahabat bagi mereka yang berusaha keras menaklukkan soal. Rupanya tidak semua memanfaatkannya demikian.
Di tengah-tengah pengawasan, perhatian saya tertuju pada seorang siswa di pojok ruangan. Saya memperhatikan dengan seksama, namun tidak langsung menegur. Gerak-geriknya menarik perhatian. Ia tampak membuka soal, lalu tanpa membaca dengan serius, ia langsung memandang opsi pilihan ganda. Saya sempat heran. Bukankah seharusnya siswa membaca soal terlebih dahulu sebelum menentukan jawaban? Tetapi yang saya saksikan justru berbeda.
Siswa itu membacakan lafal basmalah perlahan. Saat kalimat bacaan itu berhenti, di situlah ia menentukan pilihan. Misalnya jika berhenti di opsi C, maka C itulah yang ia silang. Begitu terus cara ia menjawab. Awalnya saya hanya memperhatikan sambil menahan senyum, berpikir mungkin hanya sekali saja ia melakukannya. Setelah saya cermati, rupanya sebagian soal ia kerjakan dengan cara yang sama.
Saya pun mendekat. Dengan nada lembut saya bertanya, “Kenapa soalnya tidak dibaca dulu?” Ia mendongak sambil tersenyum, wajahnya polos tanpa beban. Jawabannya singkat, “Tidak bisa, Bu.” Saya kembali menegaskan, “Coba dibaca dulu soalnya.” Tetapi ia menggeleng sambil berkata lirih, “Saya tidak bisa matematika, Bu.”
Kalimat itu seakan menohok hati saya. Bukan karena ia tidak bisa, melainkan karena sikap pasrahnya seolah-olah menandakan sudah tidak ada lagi semangat untuk mencoba. Saya menatap kertas buram yang ada di mejanya. Bukan penuh dengan angka, coretan rumus, atau perhitungan, melainkan gambar-gambar yang ia buat entah sekadar mengisi waktu atau melampiaskan rasa bosannya. Ada bentuk-bentuk abstrak, ada wajah kartun, bahkan coretan seperti ikan. Semua itu seolah menjadi bukti bahwa ia tidak menaruh minat sama sekali pada soal yang ada di hadapannya.
Sebagai guru, saya tentu merasa miris. Begitulah potret sebagian anak zaman sekarang. Tidak takut mendapat nilai jelek, bahkan ada yang cenderung santai menghadapinya. Mereka lebih memilih cara instan baik lewat doa tanpa usaha, ataupun menghibur diri dengan menggambar di kertas buram daripada berjuang memahami soal.
Pendidikan hari ini tidak hanya sekadar soal menyampaikan materi, tetapi juga menanamkan sikap mental yang benar dalam menghadapi kesulitan. Siswa yang saya lihat tadi sebenarnya memberi pesan yang dalam. Ia seolah berkata: “Saya sudah menyerah sebelum bertanding.” Inilah tantangan besar yang dihadapi oleh banyak guru, khususnya dalam pelajaran yang dianggap sulit seperti matematika.
Di sisi lain, saya juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya. Bisa jadi anak itu mengalami pengalaman buruk dengan matematika sejak lama, sehingga rasa takut dan tidak percaya diri menumpuk sampai akhirnya ia benar-benar menutup pintu untuk mencoba. Atau mungkin ia belum menemukan cara belajar yang sesuai dengan gayanya. Setiap anak memang unik. Ada yang cepat paham dengan angka, ada pula yang lebih menonjol di bidang seni, olahraga, atau bahasa.
Ketika saya mengingat kembali senyumnya saat menjawab “tidak bisa, Bu”, saya melihat ada kejujuran dan kepolosan. Ia tidak berpura-pura sibuk, tidak pula mencoba mencontek. Ia hanya menunjukkan dirinya apa adanya, meskipun caranya tentu tidak tepat.
Pengalaman kecil itu membuka mata saya. Tugas guru tidak hanya mengajarkan rumus dan soal, melainkan juga membangkitkan semangat, mengajarkan bahwa mencoba itu penting, meskipun hasilnya belum sempurna. Nilai jelek memang bisa mempermalukan sementara, tetapi menyerah tanpa usaha akan merugikan sepanjang hidup.
Saya membayangkan, alangkah indahnya jika setiap anak berani berkata: “Saya akan mencoba, walaupun saya tidak tahu hasilnya.” Dengan begitu, setiap ujian bukan lagi menjadi beban, melainkan kesempatan untuk mengukur kemampuan diri.
Kejadian di ruang dua pada hari itu menjadi catatan tersendiri bagi saya. Mungkin terlihat sepele, hanya seorang siswa yang memilih jawaban dengan membaca basmalah. Tetapi di balik itu, ada pelajaran besar tentang mentalitas, usaha, dan sikap menghadapi kesulitan. Saya berharap suatu saat, siswa-siswa seperti dia bisa menemukan keberanian baru. Bahwa doa memang penting, tetapi usaha adalah jalan yang harus dilalui. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri yang mau berusaha mengubahnya.
Cepu, 23 September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar