Kamis, 06 November 2025

Satu Foto Yang Menghebohkan

 


Karya: Gutamining Saida

Jum’at pagi pukul 09.15 WIB, notifikasi grup keluarga kecil saya berbunyi. Pesan datang dari anak laki-laki saya yang kini bekerja di Salatiga. Kali ini bukan sekadar ucapan selamat pagi atau foto sarapan.  Sebuah foto menarik dirinya berdiri di samping mobil pengamanan Wakil Presiden.

Di bawah foto itu, ia menulis singkat: "TKD"

Tentu saja, anggota grup langsung penasaran. “TKD itu apa, Dik?” tanya salah satu dari kami. Tak lama kemudian, ia membalas dengan gaya khas anak muda yang santai tapi penuh humor:

“Tentara Karepe Dewe.”

Kami pun serentak tertawa membaca balasannya. Gurauan itu ringan tapi mampu mencairkan suasana. Rasa penasaran tetap tak hilang begitu saja. Kenapa tiba-tiba dia bisa berfoto di dekat mobil pengamanan wapres?

Tak berselang lama, mbaknya, yang tinggal di kota Tegal, langsung ikut meramaikan grup. Ia membalas pesan adiknya dengan mengirim foto anaknya sendiri  cucu saya yang paling kecil yang sedang bergaya. Caption-nya tak kalah lucu:

“Nih, calon TKD masa depan!”

Grup keluarga kami yang biasanya sepi di pagi hari tiba-tiba menjadi ramai. Masing-masing saling membalas pesan dengan emotikon tawa.

Saya yang sejak tadi membaca percakapan itu ikut merasa penasaran. Dengan nada keibuan dan rasa ingin tahu yang tulus, saya pun mengetik balasan:

“Di mana nich, Dik? ”

Pesan saya terkirim, dan dalam hitungan detik, notifikasi balasan muncul. Jawabnya singkat saja,

“Di tempat kerja, Miii. Akan ada kunjungan wapres di kantor.”

Saya membacanya sambil tersenyum bangga. Seketika rasa penasaran berubah menjadi kagum dan haru. Rasanya baru kemarin saya mengantarnya berangkat kuliah di Semarang, lalu merintis kerja di kota orang, dan kini ia sudah berdiri di area penting yang memerlukan pengamanan tingkat tinggi.

Namun rasa ingin tahu saya belum tuntas. Saya lanjut bertanya lagi, kali ini lebih spesifik,

“Lho, ada mobil begituan juga? Apa produksi gitu juga?”

Ia pun menjawab cepat, tetap singkat tapi padat,

“Itu mobil untuk pengamanan protokol. Ada kunjungan pejabat tinggi.”

Saya mengangguk dalam hati, membayangkan suasana di sana: jalanan mungkin sudah steril, aparat berjaga di berbagai titik, suasana penuh kesiapan. Dalam hati kecil saya muncul rasa bangga bukan hanya karena ia bisa berada di lingkungan kerja yang profesional, tapi karena ia tetap bisa membawa humor dan kedekatan keluarga meski sedang di tengah kesibukan serius.

Tak lama kemudian, abahnya yang sedari tadi hanya menyimak percakapan kami. Akhirnya ikut bersuara di grup. Ia mengirim deretan pesan singkat yang penuh makna, berisi doa tulus dari hati seorang ayah untuk buah hatinya:

“Allahumma lancar, aman, manfaat, dan berkah. Aamiin.”

Hening sejenak setelah pesan itu muncul. Tidak ada yang langsung membalas, tapi saya yakin semua anggota grup membaca dengan perasaan haru. Kalimat pendek itu terasa hangat dan dalam. Seperti selimut doa yang menenangkan hati. Saya bisa membayangkan abahnya mengetik dengan khidmat, berharap agar anaknya selalu dalam lindungan Allah, dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan, dan senantiasa diberi keberkahan dalam setiap langkahnya.

Tak lama kemudian, anak saya membalas dengan emoji tangan menengadah dan tulisan,

“Aamiin, terima kasih, Bah.”

Mata saya sedikit berkaca-kaca membaca itu. Ada rasa syukur yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Betapa indahnya ketika doa orang tua bisa menjangkau anak, bahkan lewat layar ponsel yang kecil.

Suami saya lalu menambahkan pesan bercanda untuk mencairkan suasana,

“Wah, kalau begitu jangan lupa senyum di kamera, nanti disangka tim pengamanan sungguhan.”
Anak saya membalas, “Siap, Pak. Tapi kalau disuruh jaga mobil, saya minggir saja, takut ditilang protokol.”

Tawa pun kembali pecah di grup. Sepele memang, tapi percakapan pagi itu membawa kehangatan tersendiri. Dalam dunia digital yang sering terasa dingin, satu foto, satu doa, dan beberapa kalimat ringan justru mampu menghadirkan rasa kebersamaan yang nyata.

Saya memandangi lagi foto yang ia kirim. Wajahnya tampak cerah, mengenakan pakaian rapi, berdiri di samping mobil hitam berlogo lembaga negara. Ada kebanggaan tersembunyi di balik kesederhanaan. Ia tidak sedang memamerkan pencapaian, hanya sekadar berbagi momen. Tapi bagi saya sebagai seorang ibu, itu sudah lebih dari cukup.

Sambil tersenyum, saya mengetik pesan terakhir di grup:

“Alhamdulillah, semoga selalu diberi kesehatan dan kelancaran ya, dik. Bangga umi melihatmu di sana.”

Pesan itu dibalas dengan satu stiker jempol dan emoji tersenyum dari anak saya. Tidak panjang, tapi saya tahu maknanya dalam  ia tahu kami berdua, saya dan abahnya, bangga padanya dan selalu mendoakannya.

Pagi itu, sambil menyeruput teh hangat, saya merenung sebentar. Anak-anak kini sudah tumbuh dewasa, menjalani kehidupan masing-masing, tapi rasa kedekatan keluarga tetap terjaga melalui pesan-pesan sederhana di grup kecil kami.

Satu foto, satu doa, dan satu percakapan singkat mampu menghadirkan senyum yang bertahan seharian. Dan dalam hati saya berkata pelan,

“Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah mempertemukan kami dalam kebahagiaan kecil yang penuh makna.”

Hari itu terasa begitu hangat, meski hanya berawal dari satu foto di sebelah mobil pengamanan wapres — satu gurauan ringan tentang ‘Tentara Karepe Dewe’, dan satu doa tulus dari abahnya:

“Allahumma lancar, aman, manfaat, dan berkah. Aamiin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar