Kamis, 06 November 2025

Jasa Kurir di Kelas 7F


Karya: Gutamining Saida

Saat kelompok Fahri Cs mereka maju ke depan kelas, suasana langsung berubah riuh. Semua mata  tertuju pada aksi mereka yang penuh semangat. Fahri dan Alvin berperan sebagai kurir yang mengantarkan paket, lengkap dengan tas punggung berisi “barang kiriman.” yang berupa tambler. Dua kursi kayu mereka susun rapi dan dijadikan motor, alat transportasi andalan para kurir yang berboncengan. Dengan gaya khas pengendara motor, Fahri duduk di kursi depan sambil memegang “setang imajiner”, sementara Alvin membonceng di belakang, sesekali menegur Fahri, “Pelan-pelan, Bro, nanti paketnya jatuh!” Meliuk-liuk dengan kecepatan tinggi. 

Seketika seluruh kelas 7F pecah dalam tawa. Bukan karena menertawakan, tetapi karena cara mereka  sungguh-sungguh menjiwai peran itu. Gerak-gerik mereka tampak begitu natural, seolah benar-benar sedang mengendarai motor di jalanan. Dari ekspresi wajah, intonasi suara, sampai gerakan tangan, semuanya terasa hidup.

Sementara itu, Firras memerankan penerima paket. Ia berdiri di “depan rumah” sambil menatap ke arah dua kurir dengan gaya orang yang sudah lama menunggu. Begitu kurir datang, Firras bertanya dengan nada sedikit cemas,

“Paket , atas nama siapa?” tanya Firras

         "Mohammad Firras." jawab Alvin

        “Ini paketnya, tolong tanda tangan dulu di sini,” jawab Alvin, yang berperan sebagai petugas kurir  ekspedisi. Ia membawa kertas kosong sebagai “nota pengiriman” dan pulpen seolah benar-benar sedang mencatat transaksi.

Adegan mereka mengalir alami. Bahkan tanpa naskah tertulis, mereka mampu menciptakan alur cerita yang utuh. Setelah firras menerima paket, Fahri dengan penuh gaya menutup adegan dengan berkata lantang,

“Terima kasih telah menggunakan jasa kami, semoga tumblernya tidak bocor!”

Satu peran yang dillakukan Mohammad Raihan Fahri sebagai petugas penerima atau administrasi di kantor. Duduk di kursi dilengkapi meja kecil 

Sontak seluruh kelas kembali tertawa, sementara saya yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa tersenyum bangga. Ada kreativitas, kekompakan, dan keberanian yang lahir dari kegiatan sederhana ini.

Saya tidak menyangka, metode drama sederhana tentang produksi bisa menghidupkan suasana belajar sehidup itu. Biasanya, ketika mendengar kata produksi, siswa hanya terbayang tentang pabrik, petani, atau pedagang. Mereka benar-benar memahami makna produksi dibidang jasa. bagaimana seseorang menghasilkan manfaat bagi orang lain tanpa harus menghasilkan barang baru.

Kelompok Fahri cs bukan hanya menunjukkan pemahaman tentang konsep ekonomi, tetapi juga tentang kerja sama. Mereka berbagi peran dengan baik. Saat salah satu lupa dialog, yang lain cepat membantu menimpali. Saat kursi mereka hampir jatuh, Fahri tetap menjaga ekspresi seolah sedang menahan kemudi motor di jalan berlubang. Semua berlangsung spontan dan menghibur.

Selesai mereka tampil, kelas 7F bertepuk tangan meriah. Saya pun memberi apresiasi,

“Luar biasa! Inilah contoh kelompok yang tidak hanya memahami teori, tapi juga bisa menampilkannya dengan penuh semangat.”

Wajah Fahri dan teman-temannya tampak berseri-seri. “Terima kasih, Bu!” ujar mereka serempak. Tampaknya pujian kecil dari guru bisa menjadi bahan bakar besar bagi semangat mereka.

Setelah itu, kelompok lain tampil satu per satu ada yang menjadi petani, penjahit, tukang laundry, bahkan tukang potong rambut. Tapi entah kenapa, penampilan kelompok pengiriman barang tadi masih membekas paling kuat di benak saya. Mereka telah membuktikan bahwa belajar bisa menyenangkan, asalkan dilakukan dengan hati.

Di akhir pembelajaran, saya menutup dengan refleksi singkat,

“Anak-anak, dari kegiatan ini kita belajar bahwa produksi tidak selalu tentang barang yang bisa disentuh. Mengirim paket, mencuci baju, memotong rambut semuanya termasuk kegiatan produksi jasa. Orang yang bekerja di bidang ini disebut produsen juga, karena menghasilkan manfaat bagi orang lain.”

Siswa-siswa mengangguk paham. Beberapa di antaranya masih menirukan gaya Fahri yang seolah sedang naik motor, membuat kelas kembali riuh dengan tawa.

Saya menatap mereka satu per satu wajah-wajah muda yang penuh energi, imajinasi, dan semangat belajar. Di balik kesederhanaan alat peraga, ada pelajaran besar tentang kreativitas dan kebermaknaan belajar. Hari itu, di kelas 7F, saya tidak hanya melihat siswa memahami konsep ekonomi, tapi juga merasakan kebahagiaan yang muncul ketika pembelajaran benar-benar hidup.

Mereka bukan sekadar “bermain drama”, melainkan sedang berproses menjadi pembelajar sejati yang mampu mengubah teori menjadi aksi, dan pelajaran menjadi pengalaman.

“Beginilah seharusnya belajar IPS bukan hanya tentang angka dan istilah, tapi tentang kehidupan yang nyata.” Semoga bermanfaat.

Cepu, 7 November 2025 

 

 




 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar