Saat kelompok Fahri Cs mereka
maju ke depan kelas, suasana langsung berubah riuh. Semua mata tertuju
pada aksi mereka yang penuh semangat. Fahri dan Alvin berperan sebagai kurir
yang mengantarkan paket, lengkap dengan tas punggung berisi “barang kiriman.” yang berupa tambler. Dua kursi kayu mereka susun rapi dan dijadikan motor, alat transportasi
andalan para kurir yang berboncengan. Dengan gaya khas pengendara motor, Fahri duduk di kursi
depan sambil memegang “setang imajiner”, sementara Alvin membonceng di
belakang, sesekali menegur Fahri, “Pelan-pelan, Bro, nanti paketnya jatuh!” Meliuk-liuk dengan kecepatan tinggi.
Seketika seluruh kelas 7F pecah dalam tawa. Bukan karena menertawakan, tetapi karena cara mereka sungguh-sungguh menjiwai peran itu. Gerak-gerik mereka tampak begitu natural, seolah benar-benar sedang mengendarai motor di jalanan. Dari ekspresi wajah, intonasi suara, sampai gerakan tangan, semuanya terasa hidup.
Sementara itu, Firras memerankan penerima paket. Ia berdiri di “depan rumah” sambil menatap ke arah dua kurir dengan gaya orang yang sudah lama menunggu. Begitu kurir datang, Firras bertanya dengan nada sedikit cemas,
“Paket , atas nama siapa?” tanya
Firras
"Mohammad Firras." jawab Alvin
“Ini paketnya, tolong tanda tangan dulu di sini,” jawab Alvin, yang
berperan sebagai petugas kurir ekspedisi. Ia membawa kertas kosong
sebagai “nota pengiriman” dan pulpen seolah benar-benar sedang mencatat transaksi.
Adegan mereka mengalir alami.
Bahkan tanpa naskah tertulis, mereka mampu menciptakan alur cerita yang utuh.
Setelah firras menerima paket, Fahri dengan penuh gaya menutup adegan dengan
berkata lantang,
“Terima kasih telah menggunakan
jasa kami, semoga tumblernya tidak bocor!”
Satu peran yang dillakukan
Mohammad Raihan Fahri sebagai petugas penerima atau administrasi di kantor.
Duduk di kursi dilengkapi meja kecil
Sontak seluruh kelas kembali
tertawa, sementara saya yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa tersenyum
bangga. Ada kreativitas, kekompakan, dan keberanian yang lahir
dari kegiatan sederhana ini.
Saya tidak menyangka,
metode drama sederhana tentang produksi bisa menghidupkan
suasana belajar sehidup itu. Biasanya, ketika mendengar kata produksi,
siswa hanya terbayang tentang pabrik, petani, atau pedagang. Mereka benar-benar
memahami makna produksi dibidang jasa. bagaimana seseorang menghasilkan manfaat bagi
orang lain tanpa harus menghasilkan barang baru.
Kelompok Fahri cs bukan hanya
menunjukkan pemahaman tentang konsep ekonomi, tetapi juga tentang kerja sama.
Mereka berbagi peran dengan baik. Saat salah satu lupa dialog, yang lain cepat
membantu menimpali. Saat kursi mereka hampir jatuh, Fahri tetap menjaga
ekspresi seolah sedang menahan kemudi motor di jalan berlubang. Semua
berlangsung spontan dan menghibur.
Selesai mereka tampil, kelas 7F
bertepuk tangan meriah. Saya pun memberi apresiasi,
“Luar biasa! Inilah contoh
kelompok yang tidak hanya memahami teori, tapi juga bisa menampilkannya dengan
penuh semangat.”
Wajah Fahri dan teman-temannya
tampak berseri-seri. “Terima kasih, Bu!” ujar mereka serempak. Tampaknya pujian
kecil dari guru bisa menjadi bahan bakar besar bagi semangat mereka.
Setelah itu, kelompok lain tampil
satu per satu ada yang menjadi petani, penjahit, tukang laundry, bahkan tukang
potong rambut. Tapi entah kenapa, penampilan kelompok pengiriman barang tadi
masih membekas paling kuat di benak saya. Mereka telah membuktikan bahwa belajar
bisa menyenangkan, asalkan dilakukan dengan hati.
Di akhir pembelajaran, saya
menutup dengan refleksi singkat,
“Anak-anak, dari kegiatan ini
kita belajar bahwa produksi tidak selalu tentang barang yang bisa disentuh.
Mengirim paket, mencuci baju, memotong rambut semuanya termasuk kegiatan
produksi jasa. Orang yang bekerja di bidang ini disebut produsen juga, karena
menghasilkan manfaat bagi orang lain.”
Siswa-siswa mengangguk paham.
Beberapa di antaranya masih menirukan gaya Fahri yang seolah sedang naik motor,
membuat kelas kembali riuh dengan tawa.
Saya menatap mereka satu per satu
wajah-wajah muda yang penuh energi, imajinasi, dan semangat belajar. Di balik
kesederhanaan alat peraga, ada pelajaran besar tentang kreativitas dan kebermaknaan belajar. Hari
itu, di kelas 7F, saya tidak hanya melihat siswa memahami konsep ekonomi, tapi
juga merasakan kebahagiaan yang muncul ketika pembelajaran benar-benar hidup.
Mereka bukan sekadar “bermain
drama”, melainkan sedang berproses menjadi pembelajar sejati yang
mampu mengubah teori menjadi aksi, dan pelajaran menjadi pengalaman.
“Beginilah seharusnya belajar IPS
bukan hanya tentang angka dan istilah, tapi tentang kehidupan yang nyata.” Semoga
bermanfaat.
Cepu, 7 November 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar