Kamis, 06 November 2025

Cumat

Karya: Gutamining Saida

Langit tampak berwarna jingga lembut, seolah matahari sedang menebar salam perpisahan sebelum tenggelam di balik pepohonan. Angin berhembus pelan membawa aroma tanah yang lembap sehabis gerimis siang tadi. Di teras rumah, saya duduk sambil menikmati minuman hangat yang masih mengepul. Rasanya menenangkan setelah seharian mengajar dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah.

Tiba-tiba, anak perempuan saya menghampiri dengan wajah berbinar.
“Mi, yuk kita cumat sore ini,” katanya dengan semangat.

Saya mengerutkan dahi, mencoba memahami kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Cumat? Apa itu?” tanya saya penasaran.

Dia tertawa kecil, matanya memancarkan keceriaan khas remaja.
“Cumat itu, Mi… singkatan dari cuci mata!” jawabnya sambil menahan tawa.

Saya tertegun sejenak, lalu ikut tertawa. Dalam hati saya berpikir, anak-anak zaman sekarang memang kreatif, bahkan kegiatan sederhana seperti jalan-jalan santai saja bisa disingkat menjadi sesuatu yang terdengar lucu dan unik.

“Cuci mata ya? Tapi ke mana? Kan sudah sore,” kata saya sambil memandang wajahnya.
“Ya nggak harus jauh-jauh, Mi. Keliling taman Cepu aja. Lihat bunga, lihat langit, lihat orang jualan sore. Pokoknya refreshing,” jawabnya mantap.

Saya tersenyum betapa sederhana pandangan anak saya tentang kebahagiaan. Tak perlu kafe mewah, mall besar, atau perjalanan panjang untuk menemukan senyum. Hanya cuci mata di sekitar rumah pun bisa menjadi sumber kebahagiaan.

Akhirnya saya mengangguk. Kami berdua melangkah keluar rumah. Udara sore terasa sejuk, tidak panas, juga tidak dingin. Jalanan kampung mulai ramai oleh orang-orang yang keluar untuk berolahraga ringan, membeli jajanan, atau sekadar menikmati udara segar sebelum malam tiba.

Anak perempuan mengambil motor dan saya membonceng dengan berpegangan pinggangnya, tangannya sesekali menunjuk ke arah tertentu.
“Mi, lihat tuh, bunga kertas di halaman rumah Bu Sumi mulai berbunga lagi. Cantik ya warnanya, pink banget!” katanya antusias.

Saya menatap ke arah yang ditunjuknya. Memang benar, pagar rumah itu kini tampak hidup dengan deretan bunga kertas yang bermekaran cerah. Saya tersenyum. Ternyata naik motor berjalan pelan sambil memperhatikan hal-hal kecil di sekitar bisa menumbuhkan rasa syukur yang sering terlupakan.

Motor kami terus berjalan. Di ujung jalan, terdengar suara anak-anak kecil tertawa sambil bermain sepeda. Ada juga pedagang gorengan yang baru menata dagangannya. Aroma tempe mendoan dan tahu isi menyeruak, menggoda penciuman.

“Mi, beli gorengan yuk, sekalian camilan sore,” ajak anak saya.
Saya mengangguk. Kami berhenti di gerobak sederhana yang sudah dikelilingi beberapa pembeli. Pedagang itu tersenyum ramah.
“Mau beli apa?” tanya sang pedagang.
“Tempe mendoan dua, tahu isi dua, sama bakwan dua ya, Pak,” jawab saya.

Sambil menunggu gorengan diambilkan, saya memperhatikan suasana sekitar. Ada ibu-ibu yang pulang dari warung sayur, bapak-bapak yang sedang melintas, dan beberapa siswa berseragam yang baru pulang les. Hidup memang berjalan sederhana, tapi di setiap kesederhanaan itu ada cerita dan makna yang dalam.

“Mi, ternyata ‘cumat’ itu enak ya,” kata anak saya sambil mengunyah gorengan hangat yang baru dibeli.
Saya tertawa. “Iya, ternyata cuma naik motor keliling taman aja udah bisa bikin hati adem.”

Kami duduk sebentar di bangku taman kecil di pinggir jalan. Dari situ, pemandangan langit sore semakin memukau. Warna oranye bercampur ungu membentuk gradasi yang indah. Beberapa burung terbang rendah, seolah hendak pulang ke sarangnya.

“Mi, ‘cumat’ itu nggak cuma lihat-lihat pemandangan deh,” katanya tiba-tiba.
“Lho, maksudnya?” tanya saya.

Dia tersenyum, menatap langit yang perlahan gelap.
“Cumat itu kayak... menyegarkan hati. Kalau seharian capek bekerja, terus keluar rumah sebentar, lihat langit, lihat orang-orang, hati jadi tenang lagi.”

Saya terdiam, lalu mengangguk pelan. Betul juga. Selama ini, saya sering mengira bahwa untuk merasa bahagia, harus punya waktu liburan panjang atau tempat istimewa untuk dikunjungi. Padahal kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk yang sederhana dengan berjalan santai dengan anak sendiri, menatap langit sore, menikmati gorengan hangat sambil berbagi cerita.

Kami melanjutkan langkah pelan menuju rumah. Di sepanjang perjalanan, kami berbagi cerita ringan tentang teman-teman sekolahnya, tentang mimpi masa depannya, bahkan tentang resep baru yang ingin dicoba di akhir pekan nanti. Saya menikmati setiap detik kebersamaan itu.

Saat tiba di rumah, langit sudah mulai gelap. Adzan Magrib berkumandang dari kejauhan, mengingatkan kami untuk segera bersiap shalat. Saya menatap wajah anak yang tampak tenang dan bahagia. Dalam hati saya bersyukur, ternyata sore ini bukan sekadar “cuci mata”, tapi juga cuci hati.

Saya tersenyum sambil bergumam, “Ternyata ‘cumat’ itu bukan cuma singkatan dari cuci mata, tapi juga cara sederhana untuk mencuci lelah dan menyiram kebahagiaan.”

Anak saya tertawa kecil mendengar kalimat itu. “Iya, Mi, cumat bareng Umi paling seru!” katanya sambil memeluk sebelum masuk rumah. Dan di bawah langit senja yang semakin gelap, saya merasakan sesuatu yang hangat di dada. Sebuah rasa syukur karena masih bisa menikmati momen sederhana namun penuh makna bersama sang anak.

Cumat sore itu akhirnya menjadi kenangan manis. Tak perlu pergi jauh, tak perlu menunggu akhir pekan. Hanya beberapa menit naik motor di sekitar rumah sudah cukup membuat hati kembali segar, seperti daun yang tersiram hujan setelah lama kering.

Cepu, 7 November 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar