Karya: Gutamining Saida
Langit tampak berwarna jingga lembut, seolah matahari sedang menebar salam perpisahan sebelum tenggelam di balik pepohonan. Angin berhembus pelan membawa aroma tanah yang lembap sehabis gerimis siang tadi. Di teras rumah, saya duduk sambil menikmati minuman hangat yang masih mengepul. Rasanya menenangkan setelah seharian mengajar dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah.
Saya tertegun sejenak, lalu ikut tertawa. Dalam hati saya berpikir, anak-anak zaman sekarang memang kreatif, bahkan kegiatan sederhana seperti jalan-jalan santai saja bisa disingkat menjadi sesuatu yang terdengar lucu dan unik.
Saya tersenyum betapa sederhana pandangan anak saya tentang kebahagiaan. Tak perlu kafe mewah, mall besar, atau perjalanan panjang untuk menemukan senyum. Hanya cuci mata di sekitar rumah pun bisa menjadi sumber kebahagiaan.
Akhirnya saya mengangguk. Kami berdua melangkah keluar rumah. Udara sore terasa sejuk, tidak panas, juga tidak dingin. Jalanan kampung mulai ramai oleh orang-orang yang keluar untuk berolahraga ringan, membeli jajanan, atau sekadar menikmati udara segar sebelum malam tiba.
Saya menatap ke arah yang ditunjuknya. Memang benar, pagar rumah itu kini tampak hidup dengan deretan bunga kertas yang bermekaran cerah. Saya tersenyum. Ternyata naik motor berjalan pelan sambil memperhatikan hal-hal kecil di sekitar bisa menumbuhkan rasa syukur yang sering terlupakan.
Motor kami terus berjalan. Di ujung jalan, terdengar suara anak-anak kecil tertawa sambil bermain sepeda. Ada juga pedagang gorengan yang baru menata dagangannya. Aroma tempe mendoan dan tahu isi menyeruak, menggoda penciuman.
Sambil menunggu gorengan diambilkan, saya memperhatikan suasana sekitar. Ada ibu-ibu yang pulang dari warung sayur, bapak-bapak yang sedang melintas, dan beberapa siswa berseragam yang baru pulang les. Hidup memang berjalan sederhana, tapi di setiap kesederhanaan itu ada cerita dan makna yang dalam.
Kami duduk sebentar di bangku taman kecil di pinggir jalan. Dari situ, pemandangan langit sore semakin memukau. Warna oranye bercampur ungu membentuk gradasi yang indah. Beberapa burung terbang rendah, seolah hendak pulang ke sarangnya.
Saya terdiam, lalu mengangguk pelan. Betul juga. Selama ini, saya sering mengira bahwa untuk merasa bahagia, harus punya waktu liburan panjang atau tempat istimewa untuk dikunjungi. Padahal kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk yang sederhana dengan berjalan santai dengan anak sendiri, menatap langit sore, menikmati gorengan hangat sambil berbagi cerita.
Kami melanjutkan langkah pelan menuju rumah. Di sepanjang perjalanan, kami berbagi cerita ringan tentang teman-teman sekolahnya, tentang mimpi masa depannya, bahkan tentang resep baru yang ingin dicoba di akhir pekan nanti. Saya menikmati setiap detik kebersamaan itu.
Saat tiba di rumah, langit sudah mulai gelap. Adzan Magrib berkumandang dari kejauhan, mengingatkan kami untuk segera bersiap shalat. Saya menatap wajah anak yang tampak tenang dan bahagia. Dalam hati saya bersyukur, ternyata sore ini bukan sekadar “cuci mata”, tapi juga cuci hati.
Saya tersenyum sambil bergumam, “Ternyata ‘cumat’ itu bukan cuma singkatan dari cuci mata, tapi juga cara sederhana untuk mencuci lelah dan menyiram kebahagiaan.”
Anak saya tertawa kecil mendengar kalimat itu. “Iya, Mi, cumat bareng Umi paling seru!” katanya sambil memeluk sebelum masuk rumah. Dan di bawah langit senja yang semakin gelap, saya merasakan sesuatu yang hangat di dada. Sebuah rasa syukur karena masih bisa menikmati momen sederhana namun penuh makna bersama sang anak.
Cumat sore itu akhirnya menjadi kenangan manis. Tak perlu pergi jauh, tak perlu menunggu akhir pekan. Hanya beberapa menit naik motor di sekitar rumah sudah cukup membuat hati kembali segar, seperti daun yang tersiram hujan setelah lama kering.
Cepu, 7 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar