Minggu, 31 Agustus 2025

Rezeki Akhir Pekan

Karya : Gutamining Saida 
Akhir pekan selalu menjadi momen yang berbeda dari hari-hari biasa. Jika di hari Senin hingga Sabtu pagi saya sudah terbiasa selepas subuh untuk menyiapkan sarapan dan makan siang bagi suami dan anak, maka di hari Minggu saya memilih untuk memanjakan diri dengan sedikit beristirahat. Tidak ada aktivitas masak-memasak di dapur, tidak ada aroma bumbu yang menguar, dan tidak ada kesibukan menyiapkan menu sarapan seperti biasanya. Hari Minggu adalah hari jeda, hari di mana tubuh dan pikiran saya boleh bernafas lebih lega.

Saya memutuskan untuk membeli sarapan dari pasar. Untuk saya dan anak, pilihan jatuh pada nasi pecel. Makanan sederhana yang selalu berhasil menghadirkan rasa hangat dan nostalgia. Sementara untuk suami, saya membelikan nasi campur lengkap dengan lauk yang bervariasi. Rasanya menyenangkan bisa duduk santai menikmati sarapan tanpa harus repot berkutat di dapur sejak pagi.

Ternyata Allah Subhanahu Wata'alla sudah menyiapkan kejutan lain di hari itu. Selepas sarapan, suami saya berangkat ke Sambong bersama jamaah Jamus, sedangkan saya sendiri memiliki agenda arisan di Kandangdoro bersama teman-teman. Masing-masing kami membawa niat baik untuk bersilaturahmi, berkegiatan, dan tentu saja menikmati kebersamaan.

Saat duduk bersama teman-teman, bercengkerama, sambil menyantap hidangan yang begitu nikmat membuat hati terasa penuh syukur. Makanan kecil roti, gethuk putih, ketela rebus, tahu bakso, jeruk, melon. Saya benar-benar merasa bahwa rezeki bisa datang dari arah yang tak pernah kita sangka. Tuan rumah kembali menyuguhkan hidangan istimewa. Kami diberi makan siang dengan menu nasi asem-asem daging yang segar, gurih, sekaligus asam yang menyegarkan lidah. Lauknya semakin lengkap dengan kerupuk putih yang renyah, menambah selera makan. Suasana makan siang bersama itu sungguh hangat, penuh canda tawa, dan menghadirkan rasa kebersamaan yang tulus.

Allah Subhanahu Wata'alla menitipkan rezeki yang tidak terduga melalui tangan-tangan hamba-Nya. Pulang arisan diberi nasi kotak dengan lauk yang begitu lengkap yaitu telur asin, bandeng yang gurih, udang, sambal yang menggugah selera, serta lalapan segar. Tidak hanya itu, masih ada tambahan berupa snack dan minuman. 

Tidak berhenti sampai di situ, seorang teman baik saya di Sidodadi memberikan sesuatu yang sangat khas, yaitu blondo. Blondo adalah ampas kelapa hasil dari pembuatan minyak kelapa, yang rasanya gurih dan bisa dijadikan lauk sederhana. Saya menerimanya dengan hati gembira, karena blondo bukan hanya makanan, tetapi juga membawa kenangan masa kecil. Saat  nenek masih sering memasak minyak kelapa sendiri. Bagi saya, blondo adalah simbol kehangatan dapur tradisional.

Di sisi lain, suami saya juga mendapat limpahan rezeki dari kebersamaannya bersama jamaahnya. Saat pulang ke rumah, beliau membawa oleh-oleh makanan berupa lontong opor yang kuahnya harum dan gurih, nasi jagung yang ditemani sayur lodeh lompong. Menu khas desa yang begitu membumi, serta ikan asin yang selalu cocok menjadi pendamping. Tidak berhenti sampai di situ, ada juga roti sebagai pelengkap. Melihat semua hidangan itu, saya hanya bisa tersenyum dan mengucap Alhamdulillah. Betapa Allah Subhanahu Wata'alla begitu baik, melimpahkan nikmat lewat cara yang tak terduga.

Di hari Minggu yang seharusnya sederhana, meja makan di rumah justru penuh dengan berbagai macam hidangan. Jika dipikirkan, tidak ada satu pun dari makanan itu yang saya masak dengan tangan sendiri, tetapi semuanya datang dengan cara yang indah: lewat sahabat, lewat jamaah, lewat silaturahmi, dan tentu saja lewat kehendak Allah Subhanahu Wata'alla . Saya kembali teringat pada firman-Nya, bahwa rezeki bisa datang dari pintu yang tidak disangka-sangka.

Pengalaman membuat hati saya bergetar. Bagaimana mungkin saya tidak bersyukur ketika Allah Subhanahu Wata'alla telah memberikan lebih dari yang saya bayangkan  Rezeki itu bukan hanya berupa makanan yang lezat, tetapi juga kebahagiaan bisa bersilaturahmi, merasakan perhatian dari orang-orang sekitar, dan menikmati kebersamaan bersama keluarga.

Sering kali kita berpikir bahwa rezeki hanya datang lewat hasil kerja keras kita di dapur, di ladang, atau di tempat kerja. Allah Subhanahu Wata'alla memiliki caranya sendiri untuk memberi kejutan. Terkadang lewat tangan sahabat yang dengan ikhlas berbagi, terkadang lewat jamaah yang saling memberi oleh-oleh, dan terkadang lewat momen kebersamaan yang sederhana. Semua itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Saya pun semakin yakin, jika sudah rezeki, tidak akan pernah tertukar, tidak akan pernah tertahan, dan tidak bisa ditolak. Rezeki itu akan datang sesuai dengan ketentuan-Nya, tepat pada waktunya, dan melalui pintu yang Allah kehendaki.

Momen akhir pekan itu mengajarkan saya untuk tidak selalu merasa khawatir atau cemas tentang apa yang akan dimakan, apa yang akan dimiliki, atau dari mana rezeki akan datang. Tugas kita hanyalah berusaha, berdoa, dan menjaga hati agar selalu lapang. Selebihnya, biarkan Allah Subhanahu Wata'alla yang mengatur dengan kuasa-Nya.

Saya mengingat Minggu pagi, saya tersenyum bahagia. Hari yang awalnya saya niatkan untuk beristirahat, tanpa repot memasak, justru menjadi hari yang penuh dengan keberkahan. Saya mendapat kesempatan menikmati nasi pecel, nasi campur, nasi lauk telur asin dan udang sambal, nasi asem-asem daging dengan kerupuk putih, lontong opor, nasi jagung dengan sayur lodeh lompong, ikan asin, blondo, hingga roti. Semua hidangan itu seperti potongan-potongan nikmat yang Allah Subhanahu Wata'alla kumpulkan untuk saya dan keluarga.

Lebih dari sekadar makanan, saya merasakan cinta, perhatian, dan persahabatan dari orang-orang sekitar. Itulah rezeki yang sesungguhnya: bukan hanya yang masuk ke perut, tetapi juga yang mengisi hati dengan rasa syukur.

Saya belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari kerja keras sendiri. Kadang, dengan menerima pemberian orang lain dan mensyukurinya, kita justru mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar. Karena pada akhirnya, semua itu datang dari Allah Subhanahu Wata'alla, hanya saja perantaranya berbeda.

Di akhir pekan itu, saya benar-benar merasa dimanjakan. Bukan hanya dimanjakan dengan istirahat dari dapur, tetapi juga dimanjakan oleh Allah Subhanahu Wata'alla dengan rezeki yang berlimpah dan kebahagiaan yang sederhana.

Segala puji bagi Allah yang selalu memberikan nikmat, kadang lewat pintu yang tidak kita sangka. Selama kita terus bersyukur, Allah Subhanahu Wata'alla akan menambahkan nikmat-Nya dari jalan-jalan yang tak terduga.
Cepu, 31 Agustus 2025 

Jumat, 29 Agustus 2025

Pulpenku Pulpenmu

 


Karya: Gutamining Saida

Mengajar di kelas 7F selalu menghadirkan sesuatu yang baru, seolah setiap hari ada kejutan kecil yang tak pernah terduga. Kelas ini bukan hanya tempat berbagi ilmu, melainkan juga ruang penuh cerita yang bisa menjadi sumber ide tanpa habis. Saya merasa bersyukur, karena dari keseharian yang sederhana, selalu ada saja hal-hal kecil yang bisa diolah menjadi pengalaman berharga.

Kadang kala ide itu datang tidak menentu. Ada saat-saat ketika saya memiliki waktu luang, duduk dengan tenang, tapi tak satu pun ide melintas di kepala. Seakan semua menguap, pergi entah kemana. Tetapi anehnya, ketika saya benar-benar larut dalam aktivitas mengajar, justru dari sanalah ide bermunculan. Dari gelak tawa siswa, dari celoteh kecil di bangku belakang, dari kebersamaan yang tampak remeh tetapi menyimpan makna.

Hari itu, langkah saya membawa diri ke bangku belakang . Suasana cukup ramai, namun ada tiga siswi yang menarik perhatian saya. Mereka memanggil dengan suara heboh, “Bu… bu, lihat ini, saya bertiga copelan lagi.” Sontak saya menoleh, penasaran dengan apa yang mereka maksud. Ternyata, di tangan mereka bertiga tergenggam pulpen yang sama. Mereka adalah Naila, Calisa, dan Rena.

Saya tersenyum melihat kekompakan mereka. Kemarin saya sempat melihat mereka heboh karena sendok makan yang sama, dan kini mereka bersemangat menunjukkan pulpen yang seragam. Besok entah apa lagi yang akan mereka temukan untuk dijadikan alasan bercanda dan merasa dekat satu sama lain. Ada saja ide mereka untuk menunjukkan kekompakan. Duduk mereka saling berdekatan, seolah jarak tak pernah boleh memisahkan.

Satu bulan setengah bersama, rupanya cukup untuk membuat mereka saling mengenal, memahami, dan merasa cocok. Masa orientasi sudah lewat, masa adaptasi pun terlewati, dan kini mereka menemukan irama kebersamaan yang hangat. Ada rasa bahagia melihat siswa bisa menemukan sahabat sejati di sekolah. Di usia yang masih belia, persahabatan menjadi sesuatu yang sangat berarti.

Saya pun segera merogoh handphone. Rasanya sayang jika momen sederhana seperti ini dilewatkan begitu saja. Saya ingin mengabadikannya, bukan hanya untuk kenangan, tetapi juga untuk membuat mereka tersenyum bahagia. Saya arahkan kamera pada tangan mereka yang memegang pulpen sama. Klik! Tercapture sebuah foto penuh makna.

Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah cara jemari mereka menggenggam pulpen. Walau pulpen yang digunakan sama, namun gaya mereka berbeda. Ada yang menggenggam dengan erat, ada yang santai, ada pula yang kelihatan hati-hati. Perbedaan kecil itu justru menunjukkan bahwa meski mereka tampak kompak dari luar, mereka tetaplah pribadi unik dengan hati dan karakter masing-masing.

Saya tertegun sejenak. Pulpen itu seakan menjadi simbol. Simbol kebersamaan, namun juga simbol perbedaan. Sama-sama memegang benda yang identik, namun setiap orang tetap punya caranya sendiri. Seperti itulah hidup. Kita bisa bersama, saling dekat, saling berbagi, tetapi tetap menjadi diri sendiri dengan cara yang berbeda-beda.

Dari hal kecil itu, saya belajar lagi satu pelajaran baru dari kelas 7F. Bahwa tugas seorang guru bukan hanya mengajar ilmu dari buku teks, tetapi juga menjadi saksi perjalanan siswa dalam tumbuh dan berkembang. Menyaksikan bagaimana mereka menemukan sahabat, bagaimana mereka belajar mengekspresikan diri, bahkan bagaimana mereka menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana.

Saya pun menyadari, sering kali kita terlalu sibuk mencari momen besar untuk diceritakan, padahal momen kecil di kelas justru yang lebih mengena. Senyum riang, celoteh kecil, atau sekadar pulpen yang sama bisa menjadi cerita penuh makna. Ide itu tidak harus datang dari luar, karena sejatinya ide sudah ada di depan mata, di dalam ruang kelas, di wajah-wajah polos siswa yang penuh keceriaan.

Kelas 7F mengajarkan saya bahwa menjadi guru adalah perjalanan belajar tanpa akhir. Belajar sabar menghadapi tingkah mereka, belajar peka terhadap perasaan mereka, dan belajar mensyukuri setiap momen kebersamaan. Apa yang saya lihat hari ini mungkin terlihat sederhana, tetapi kelak bisa menjadi cerita yang menghangatkan hati saat dikenang kembali.

Naila, Calisa, dan Rena dengan pulpen seragam mereka telah memberikan saya ide baru. Ide tentang persahabatan, tentang kebersamaan, tentang perbedaan yang indah. Semoga mereka terus menjaga kekompakan itu, sambil tetap menghargai perbedaan di antara mereka. Karena di situlah letak keindahan persahabatan yang sejati.

Saya bersyukur bisa hadir di tengah mereka, bersyukur bisa belajar dari hal-hal kecil, dan bersyukur karena Allah masih memberi saya kesempatan menjadi bagian dari cerita kehidupan siswa-siswi saya. Ya, kelas 7F memang selalu penuh cerita, dan setiap cerita layak untuk disyukuri.

Cepu, 29 Agustus 2025


Zona Waktu

 




Zona Waktu di Indonesia

Zona Waktu

Singkatan

Selisih dengan GMT/UTC

Daerah yang Termasuk

Waktu Indonesia Barat

WIB

GMT +7

Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan sekitarnya

Waktu Indonesia Tengah

WITA

GMT +8

Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi (seluruhnya)

Waktu Indonesia Timur

WIT

GMT +9

Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat

 

 

Latihan Soal Zona Waktu Indonesia

  1. Indonesia dibagi menjadi berapa zona waktu? Sebutkan!
  2. Daerah manakah yang termasuk Waktu Indonesia Barat (WIB)?
  3. Jika di Jakarta pukul 10.00 WIB, maka di Denpasar (WITA) pukul berapa?
  4. Jika di Surabaya pukul 08.00 WIB, maka di Jayapura (WIT) pukul berapa?
  5. Sebutkan 3 provinsi yang termasuk ke dalam Waktu Indonesia Tengah (WITA)!
  6. Jika di Kupang (NTT) pukul 14.00 WITA, maka di Medan (WIB) pukul berapa?
  7. Kota Manado berada di zona waktu mana?
  8. Jika di Ambon pukul 19.00 WIT, maka di Jakarta pukul berapa WIB?
  9. Apa selisih waktu antara Papua dan Bali?
  10. Mengapa Indonesia dibagi menjadi 3 zona waktu?
Selamat mengerjakan. Semoga sukses

 

Belajar Dari Kehidupan


Karya: Gutamining Saida 

Hidup sesungguhnya adalah sekolah panjang yang tidak pernah berhenti. Setiap hari, kita berada di dalam kelas kehidupan, dengan guru yang berganti-ganti wajah dan peristiwa. Ada kalanya guru itu berbentuk ujian, kadang berbentuk orang yang kita temui, kadang berbentuk kesedihan, kadang pula berbentuk kebahagiaan. Semua hadir untuk mengajari kita sesuatu.

Ketika kita sedang belajar sabar, biasanya Allah  Subhanahu Wata'alla menghadirkan orang-orang yang keras kepala, orang-orang yang tidak mudah sejalan dengan pikiran kita. Mereka datang bukan untuk membuat hidup kita sulit, tetapi agar kita belajar menahan diri, mengendalikan amarah, dan melatih kesabaran yang sebenarnya. Sabar bukan berarti kita pasrah tanpa usaha, melainkan tetap berbuat baik meski hati diganggu oleh emosi. Dari mereka yang keras kepala, kita belajar untuk lebih tenang, lebih bijak, dan lebih memahami bahwa setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda.

Saat kita sedang belajar memaafkan, biasanya kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang menyakiti hati kita. Luka yang ditorehkan orang lain sering kali menjadi pengingat bahwa hati kita tidak sekuat yang kita kira. Justru dari rasa sakit itulah kita menemukan makna maaf yang sejati. Memaafkan bukan hanya demi orang lain, tetapi demi kebebasan hati kita sendiri. Dengan memaafkan, kita tidak lagi menjadi tawanan dari masa lalu, melainkan manusia merdeka yang mampu melangkah dengan hati ringan.

Ketika kita sedang belajar memberi, biasanya kita akan bertemu dengan orang-orang yang kekurangan. Mereka hadir untuk membuka mata kita bahwa apa yang kita miliki bukan hanya untuk kita nikmati sendiri. Ada hak orang lain dalam rezeki yang kita genggam. Memberi bukan membuat kita miskin, sebaliknya justru memperkaya hati kita. Dari orang yang kekurangan, kita belajar rasa syukur, belajar arti kepedulian, dan belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu didapat dari menerima, melainkan dari memberi.

Saat kita belajar rendah hati, Allah Subhanahu Wata'alla menghadirkan orang-orang yang merendahkan diri kita. Mungkin mereka mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, meremehkan usaha kita, atau tidak menghargai keberadaan kita. Dari peristiwa itu kita diuji: apakah kita tetap bisa bersikap rendah hati, atau justru ingin membalas dengan kesombongan. Kerendahan hati adalah cermin kebesaran jiwa. Orang yang rendah hati tidak akan kehilangan apa-apa, sebaliknya ia akan semakin dihargai, meski kadang tidak secara langsung.

Semua peristiwa dalam hidup adalah proses belajar. Tidak ada satupun kejadian yang hadir tanpa makna. Bahkan yang pahit sekalipun, jika kita sikapi dengan iman, akan meninggalkan hikmah yang indah. Kadang kita tidak langsung paham mengapa sesuatu terjadi, tetapi kelak, setelah waktu berjalan, kita akan sadar bahwa ternyata semua itu adalah bagian dari proses menjadikan kita lebih bijaksana.

Hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat sampai tujuan, tetapi siapa yang paling mampu memetik pelajaran dari setiap perjalanan. Menjadi murid kehidupan berarti siap belajar kapan saja, dari siapa saja, dan dalam kondisi apa saja. Terkadang, guru terbaik justru hadir dalam bentuk ujian yang berat. Kesedihan mengajarkan kita arti kesabaran, kehilangan mengajarkan kita arti menghargai, dan kegagalan mengajarkan kita arti berusaha tanpa lelah.

Kunci dari semua itu adalah bersyukur. Bersyukur bukan hanya ketika kita menerima nikmat yang menyenangkan, tetapi juga saat kita diberi ujian yang terasa berat. Karena dalam setiap kesulitan, selalu ada kebaikan yang Allah Subhanahu Wata'alla sisipkan. Bersyukur menjadikan hati kita tenang, menjadikan langkah kita ringan, dan menjadikan kita mampu melihat sisi positif dalam setiap kejadian.

Setiap hari, kita diberi kesempatan untuk memilih: apakah kita mau mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi, atau justru terjebak dalam keluhan dan penyesalan. Orang yang mau belajar dari kehidupan akan semakin dewasa, semakin bijak, dan semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata'alla. Sebaliknya, orang yang menolak belajar akan mudah terpuruk, merasa kecewa, dan kehilangan makna.

Semoga kita semua selalu sehat agar bisa terus belajar. Semoga kita diberi kekuatan untuk bermanfaat, sebab sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Semoga kita istiqamah dalam kebaikan, karena kebaikan itu tidak diukur dari sekali dua kali berbuat, melainkan dari konsistensi hati yang selalu berusaha mendekat kepada Allah Subhanahu Wata'alla.

Hidup memang tidak selalu mudah, tetapi selalu berharga. Setiap peristiwa, entah menyenangkan atau menyedihkan, adalah bagian dari kurikulum Allah Subhanahu Wata'alla untuk menjadikan kita pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih dewasa. Maka, jadilah murid kehidupan. Belajarlah bersyukur setiap hari, ambillah sisi positif dari setiap kejadian, dan percayalah bahwa setiap langkah kita selalu dalam bimbingan Allah Yang Maha Bijaksana.

Cepu, 29 Agustus 2025

Kamis, 28 Agustus 2025

Renungan QS. An-Nahl : 1

Karya: Gutamining Saida

“Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat datangnya.” (Q.S. An-Nahl:1)

Ayat ini adalah pengingat lembut dari Allah Subhanahu Wata'alla bahwa hidup kita berjalan bukan atas kendali kita, tetapi diatur dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaan oleh-Nya. Terkadang kita sebagai manusia begitu ingin tahu akhir dari sebuah kisah. Kita ingin segera menyaksikan hasil dari doa, usaha, atau penantian panjang. Kita ingin cepat sampai pada jawaban, pada kesembuhan, pada rezeki, pada jodoh, pada keberhasilan. Seolah hati kita gelisah jika belum mendapatkan kepastian. Namun, Allah menenangkan kita melalui ayat ini  jangan meminta sesuatu itu disegerakan, karena ketetapan-Nya sudah ditulis, sudah ditentukan, dan akan datang pada saat yang paling tepat.

Bayangkan seorang petani yang baru saja menanam benih. Ia tidak bisa memaksa benih itu langsung berbuah di hari yang sama. Ia tidak bisa terburu-buru meminta panen, sebab tanah, air, sinar matahari, dan waktu adalah bagian dari rahasia proses. Jika dipaksakan, hasilnya tidak akan sempurna. Demikian pula dengan hidup kita. Allah sedang menumbuhkan sesuatu yang terbaik, meskipun kita tidak selalu melihatnya dengan mata telanjang.

Sering kali kita bertanya dalam hati: “Kapan pertolongan Allah datang? Kapan doa saya dijawab? Kapan rasa sakit ini hilang? Kapan saya bisa merasakan bahagia yang saya nantikan?” Pertanyaan-pertanyaan itu wajar, karena kita manusia yang lemah, yang ingin segera keluar dari gelap menuju terang. Ayat ini mengingatkan bahwa ketetapan Allah Subhanahu Wata'alla itu pasti datang. Hanya saja, waktunya bukan ditentukan oleh keinginan kita, melainkan oleh hikmah dan ilmu Allah yang jauh melampaui pengetahuan kita.

Ketika kita memaksa Allah Subhanahu Wata'alla untuk mempercepat sesuatu, sebenarnya kita sedang mengukur kehidupan dengan kacamata sempit kita. Kita merasa tahu apa yang terbaik, padahal Allah-lah yang paling mengetahui isi hati, jalan hidup, dan masa depan kita. Mungkin sesuatu yang kita minta segera ternyata belum pantas untuk kita terima. Mungkin Allah Subhanahu Wata'alla menundanya agar hati kita semakin matang, iman kita semakin kuat, dan kita belajar arti kesabaran.

Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah terlambat. Tidak ada satupun ketetapan-Nya yang keliru. Semua akan hadir tepat pada waktunya, seperti matahari yang selalu terbit sesuai jadwal, seperti bulan yang selalu berganti fase. Bahkan ketika hati kita terasa berat karena menunggu, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'alla sedang melatih kita untuk percaya. Allah ingin kita menyambut setiap takdir bukan dengan tergesa-gesa, melainkan dengan iman, sabar, dan tenang.

Setiap orang memiliki “waktu Allah”-nya sendiri. Ada yang cepat menemukan jawabannya, ada pula yang harus melewati bertahun-tahun penantian. Ada yang diberi jalan lapang segera, ada yang harus meniti jalan terjal dahulu. Tapi semuanya tidak ada yang sia-sia. Dalam setiap detik penantian, Allah Subhanahu Wata'alla menitipkan hikmah yang luar biasa. Ia sedang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan sekadar pada hasil, melainkan pada perjalanan yang ditempuh dengan tawakal.

Cobalah kita renungkan jika semua doa kita langsung dikabulkan seketika, apakah kita masih mau berdoa dengan penuh harap? Jika semua yang kita mau langsung datang tanpa proses, apakah kita masih mau belajar sabar? Bukankah justru karena adanya penundaan itulah hati kita ditempa? Bukankah karena adanya ujian, iman kita bertambah kuat?

Ketetapan Allah Subhanahu Wata'alla bukan untuk disegerakan, tetapi untuk disambut. Disambut dengan lapang dada, dengan keyakinan bahwa yang datang dari Allah Subhanahu Wata'alla selalu baik, meski wujudnya kadang tidak sesuai dengan bayangan kita. Kadang kita meminta hujan, padahal Allah tahu tanah kita butuh matahari. Kadang kita ingin kesenangan segera, padahal Allah Subhanahu Wata'alla tahu jiwa kita sedang ditempa melalui kesulitan.

Hidup bukan sekadar tentang cepat atau lambat, melainkan tentang tepat. Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah salah dalam memilihkan waktu untuk hamba-Nya. Saat kita menunggu dengan sabar, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'alla sedang menyiapkan sesuatu yang indah, bahkan jauh lebih indah dari yang kita doakan.

Maka, berhentilah tergesa-gesa ingin tahu akhir cerita. Percayalah bahwa Allah Subhanahu Wata'alla sedang menulis kisah terbaik. Jika kita beriman kepada ketetapan-Nya, hati kita akan tenang meski jalan masih panjang. Kita akan belajar bersyukur meski doa belum terjawab sepenuhnya. Kita akan tetap optimis meski ujian masih terasa berat.

Ingatlah, doa kita tidak pernah sia-sia. Ia hanya punya tiga kemungkinan: segera dikabulkan, disimpan untuk waktu yang tepat, atau diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Jadi, jangan pernah merasa kecewa jika belum melihat hasilnya sekarang. Karena Allah Subhanahu Wata'alla sudah berjanji: “Ketetapan Allah pasti datang.”

Mari kita sambut setiap takdir dengan iman. Jangan biarkan hati kita goncang hanya karena waktu terasa lama. Biarkan keyakinan menuntun langkah kita, sebab janji Allah Subhanahu Wata'alla itu pasti, dan waktunya selalu tepat.

Cepu, 29 Agustus 2025 

Saat Sulit Menyapa


Karya : Gutamining Saida 
Setiap insan pasti pernah bertanya dalam hatinya, “Kapan kebahagiaan itu akan datang? Kapan hati ini bisa merasakan kelapangan setelah sempitnya ujian hidup?” Pertanyaan semacam ini adalah wajar, karena manusia memiliki fitrah untuk mendambakan ketenangan, kemudahan, dan keberkahan dalam hidup. Sering kali jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada kebahagiaan bukanlah jalan yang lurus tanpa rintangan. Justru, jalan itu penuh dengan tikungan, bebatuan, bahkan jurang yang menguji kesabaran dan keteguhan iman kita.

Islam mengajarkan bahwa di balik setiap kesempitan pasti ada kelapangan. Di balik kesedihan selalu ada kebahagiaan. Di balik kesulitan selalu hadir kemudahan. Inilah janji Allah Subhanahu Wata'alla yang termaktub dalam Al-Qur’an: “Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Ayat ini tidak sekadar menjadi penghibur bagi hati yang resah, tetapi juga menjadi penegasan bahwa setiap ujian yang Allah Subhanahu Wata'alla hadirkan tidak pernah tanpa solusi dan pertolongan. Allah Subhanahu Wata'alla tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya.

Ujian hidup, apapun bentuknya, baik berupa kesempitan rezeki, kehilangan orang tercinta, kegagalan dalam cita-cita, maupun tekanan batin yang tak terlihat bukanlah tanda bahwa Allah Subhanahu Wata'alla meninggalkan kita. Justru ujian adalah bukti kasih sayang Allah 
Subhanahu Wata'alla sebab melalui ujian, Allah Subhanahu Wata'alla menyiapkan ladang pahala, meningkatkan derajat iman, dan membersihkan dosa-dosa hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Barang siapa yang Allah Subhanahu Wata'alla kehendaki kebaikan baginya, maka Allah Subhanahu Wata'alla akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). Artinya, kesulitan bukanlah hukuman, melainkan tanda Allah Subhanahu Wata'alla sedang mendidik hati kita agar semakin dekat kepada-Nya.

Setiap kesempitan akan mengajarkan arti lapang. Saat seseorang berada di titik terendah kehidupannya, di sanalah biasanya ia belajar untuk menggantungkan harapan hanya kepada Allah Subhanahu Wata'alla. Manusia terkadang terlalu percaya diri dengan kekuatan, harta, atau kedudukannya, hingga lupa bahwa semua itu fana. Ujian hadir untuk meluruhkan kesombongan dan mengingatkan bahwa tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu Wata'alla .

Bersabar dalam menghadapi ujian bukanlah perkara mudah, tetapi juga bukan mustahil. Kesabaran tidak berarti pasrah tanpa usaha. Kesabaran sejati adalah ketika hati tetap tegar, lisan tetap basah dengan doa, dan tubuh tetap berusaha menapaki jalan kebaikan meski penuh aral. Bersabar adalah tetap berdiri ketika banyak yang terjatuh, tetap yakin ketika banyak yang meragukan, dan tetap berharap meski keadaan tampak menutup segala pintu.

Harapan kepada Allah Subhanahu Wata'alla harus selalu dijaga. Jangan pernah merasa lelah untuk berharap, karena Allah tidak akan mengecewakan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Pertolongan Allah memang sering datang pada waktu yang tidak kita sangka, bahkan seringkali datang di saat-saat terakhir ketika kita merasa sudah tidak ada jalan keluar. Namun itulah bukti kebesaran Allah Subhanahu Wata'alla , agar kita benar-benar menyadari bahwa semua yang terjadi bukan karena kekuatan kita, melainkan karena kasih sayang dan kuasa-Nya.

Coba bayangkan, jika semua doa kita langsung terkabul tanpa ada penundaan, apakah kita akan benar-benar belajar arti sabar? Jika semua yang kita inginkan segera hadir tanpa hambatan, apakah kita akan benar-benar mengerti makna tawakal? Justru penundaan itu adalah cara Allah Subhanahu Wata'alla mendidik jiwa, agar kita semakin kuat, semakin sabar, dan semakin yakin bahwa segala sesuatu hanya ada dalam genggaman-Nya.

Banyak kisah orang-orang shalih yang diuji dengan kesempitan luar biasa, namun pada akhirnya mendapatkan kelapangan yang tak terduga. Nabi Ayyub diuji dengan penyakit yang berat bertahun-tahun lamanya, tetapi beliau tidak pernah berhenti bersabar dan berdoa. Nabi Yusuf dijebloskan ke dalam sumur, dijual sebagai budak, lalu dipenjara tanpa kesalahan, tetapi justru dari jalan penuh ujian itu Allah Subhanahu Wata'alla memuliakannya menjadi penguasa Mesir. Bahkan Nabi Muhammad ï·º pun tidak luput dari ujian, dihina, disakiti, ditinggalkan oleh sebagian kaumnya, tetapi semua itu hanya menguatkan dakwah beliau hingga cahaya Islam menyinari dunia.

Kisah-kisah tersebut seharusnya menjadi cermin bahwa kesempitan bukanlah akhir dari segalanya. Justru kesempitan adalah awal dari kelapangan yang lebih besar. Kesedihan bukanlah kehancuran, melainkan jalan menuju kebahagiaan. Kesulitan bukanlah kebuntuan, melainkan pintu menuju pertolongan Allah Subhanahu Wata'alla .

Oleh karena itu, jangan pernah menyerah dalam menghadapi ujian hidup. Jangan terburu-buru menilai bahwa hidup ini tidak adil. Sesungguhnya keadilan Allah Subhanahu Wata'alla lebih sempurna dari segala logika manusia. Jika saat ini kita diuji dengan sempit, yakinlah ada lapang menanti. Jika saat ini kita diuji dengan sedih, yakinlah ada bahagia yang akan tiba. Jika saat ini kita diuji dengan sulit, yakinlah ada pertolongan yang telah Allah Subhanahu Wata'alla siapkan.

Kunci utamanya adalah sabar dan tetap berharap. Bersabar bukan hanya menahan diri, tetapi juga menjaga hati agar tidak berprasangka buruk kepada Allah Subhanahu Wata'alla . Berharap bukan hanya sekadar menunggu, tetapi juga memperkuat doa dan usaha. Semakin kita sabar, semakin besar pahala yang Allah Subhanahu Wata'alla siapkan. Semakin kita berharap, semakin dekat pertolongan Allah Subhanahu Wata'alla menghampiri.

Maka, jangan biarkan ujian melemahkan langkah kita. Jadikan ujian sebagai penguat iman, penyuci hati, dan jalan menuju rahmat Allah. Ingatlah selalu, pertolongan Allah Subhanahu Wata'alla itu nyata, dan akan datang pada waktu yang paling tepat yaitu tidak lebih cepat, tidak lebih lambat. Karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Cepu, 28 Agustus 2025 

Rabu, 27 Agustus 2025

Karya Siswa Kelas 7G Esmega




Karya: Gutamining Saida

Kamis pagi, udara di sekolah masih terasa segar. Burung-burung kecil terdengar berkicau di pepohonan halaman sekolah, sementara anak-anak kelas 7 sudah mulai bergerak menuju ruang kelas masing-masing. Hari itu adalah hari yang selalu saya tunggu, hari Kamis. Bukan hanya karena ada agenda piket yang membuat saya bisa berkeliling dan berinteraksi dengan banyak siswa, tetapi juga karena saya punya kesempatan khusus untuk lebih dekat dengan kelas 7G. Kelas yang selalu memberi warna berbeda dalam perjalanan saya sebagai guru.

Kelas 7G adalah kelas yang istimewa. Mereka mungkin bukan kelas yang paling mudah diatur, bahkan bisa dibilang paling menantang. Ada anak yang sangat sulit diatur, ada yang banyak bicara dan tak pernah kehabisan topik, ada pula yang begitu pendiam hingga seolah-olah menutup diri. Semua sifat dan karakter itu bercampur menjadi satu, seperti mozaik kehidupan yang indah meski tak selalu rapi. Saya paham, mereka masih berada dalam masa penyesuaian. Peralihan dari sekolah dasar ke sekolah menengah bukanlah hal yang ringan. Ada yang cepat beradaptasi, ada pula yang butuh waktu lebih lama.

Ketika saya sedang berjalan menyusuri lorong-lorong, tiba-tiba saya berpapasan dengan beberapa siswa yang keluar kelas sambil membawa scrabbook dan pensil. Dengan penasaran saya menghentikan langkah.

“Eh, mau ke mana ini?” tanya saya sambil tersenyum.

“Mau menggambar, Bu,” jawab salah satu dari mereka dengan penuh semangat.

“Oh begitu, coba mana gambarmu? Ibu ingin lihat,” pinta saya.

Ada yang dengan percaya diri langsung memperlihatkan gambar mereka. Wajah mereka tampak berbinar, seakan-akan karya itu adalah bagian dari diri mereka yang ingin dibanggakan. Dia adalah sang ketua kelas yang biasa disapa Jason Namun ada pula yang menunduk malu, menutup lembarannya dengan cepat karena merasa gambar mereka belum sempurna.

“Tidak apa-apa kalau masih kurang bagus,” saya menenangkan mereka. “Menggambar itu butuh latihan. Semakin sering kalian mencoba, semakin indah hasilnya. Semangat, ya!”

Mendengar itu, sebagian dari mereka tersenyum malu-malu, sebagian lagi tampak semakin bersemangat. Saya lalu meminta izin untuk mengambil foto. “Ibu boleh foto kamu dengan gambarmu? Bagus sekali, lho,” ujar saya. Mereka mengangguk, dan momen itu menjadi kenangan kecil yang berharga.

Saya kemudian melangkah mencari siswa lain. Ternyata ada yang memilih menggambar di sisi lapangan. Mereka duduk bersila di bawah rindangnya pohon, sambil sesekali bercanda dengan temannya. Ada juga yang duduk di dekat taman sekolah, tampak serius menorehkan pensil di atas kertas putih, sesekali berhenti untuk mengamati bunga dan pepohonan sebagai objek inspirasinya. Suasana begitu hidup, penuh dengan energi khas remaja yang tak bisa dipaksa diam terlalu lama.

Di kelas 7G, saya mengenal satu per satu siswanya dengan ciri khas mereka masing-masing. Ada Farel, yang hampir selalu jadi pusat perhatian. Posturnya tegap, suaranya lantang, dan tingkahnya sering membuat kelas heboh. Kadang ulahnya membuat saya harus menegur, tapi dalam hati saya tahu, tanpa Farel suasana kelas akan terasa hambar. Ia adalah “mesin penggerak” keceriaan kelas.

Lalu ada Alvino, siswa berpostur kecil tapi punya semangat besar. Meski tubuhnya mungil dibandingkan teman-teman lain, keberaniannya untuk mengutarakan pendapat  patut diacungi jempol. Alvino sering tampak tidak serius mendengarkan, tapi di balik itu ia juga punya selera humor yang bisa mencairkan suasana.

Ada juga anak yang cerewet, selalu punya cerita baru untuk dibagikan. Kadang cerita itu tak ada hubungannya dengan pelajaran, tapi justru dari situlah keakraban di kelas terjalin. Suaranya yang riang seolah menjadi latar musik di ruang kelas.

Sementara itu, anak yang suka menggambar punya dunia sendiri. Ia bisa duduk berjam-jam dengan pensil dan buku gambar, tenggelam dalam coretan dan imajinasi. Saat hasil gambarnya saya lihat, ada kebanggaan terselip di wajahnya meski terkadang ia berusaha menutupi dengan malu-malu. Saya selalu bilang padanya, “Teruslah menggambar. Itu adalah bakat kalian .”

Ada pula siswa-siswa pendiam. Mereka lebih banyak diam, duduk di pojok kelas, sesekali mencatat dengan rapi. Meski tidak banyak bicara, saya percaya dalam diam mereka ada ide dan perasaan yang dalam. Tugas saya adalah memberi ruang agar mereka berani mengungkapkan diri.

Beberapa siswa mendekati saya hari itu, sambil tersenyum nakal. “Bu, nanti tolong tulis cerita tentang kelas kami ya. Kami pengen ada cerita khusus tentang 7G.”

Saya tertegun sejenak, hati saya hangat mendengar permintaan itu. Betapa polos namun penuh makna. Mereka ingin dikenang, ingin diakui keberadaannya. Saat itulah saya semakin yakin bahwa kelas 7G bukan sekadar kelas dengan segala tantangan, tetapi juga kelas yang menjadi penyemangat saya untuk terus berkarya.

Mengajar memang bukan hanya soal menyampaikan materi. Ada nilai lain yang lebih besar, yaitu memahami jiwa anak-anak yang sedang bertumbuh. Saya sering melihat wajah-wajah mereka saat jam pelajaran dimulai. Ada yang masih mengantuk, ada yang penuh semangat, ada yang kebingungan. Setiap tatapan mata menyimpan cerita berbeda. Tugas sayalah sebagai guru sekaligus wali kelas untuk menjembatani cerita itu agar bisa bertemu dalam satu ruang pembelajaran yang bermakna.

Di balik kenakalan mereka, saya tahu ada keinginan untuk dihargai. Di balik canda mereka, ada kebutuhan untuk didengar. Bahkan di balik diam mereka, ada harapan agar ada yang mau mengerti tanpa harus banyak kata.

Kamis ini saya belajar sesuatu dari 7G. Bahwa kreativitas bisa tumbuh di mana saja, bahkan di sela-sela obrolan ringan di bawah pohon atau di taman sekolah. Bahwa rasa percaya diri butuh dibangun dengan apresiasi sederhana, seperti pujian tulus atau sekadar mengambil foto karya mereka. Yang terpenting, bahwa sebuah kelas bukan hanya kumpulan siswa, melainkan keluarga kecil yang sedang belajar tumbuh bersama.

Ketika bel pergantian jam berbunyi, anak-anak berhamburan. Ada yang masih sibuk menyelesaikan gambarnya, ada yang segera berlari ke kelas. Saya tersenyum melihat mereka. Meski lelah, ada kebahagiaan tersendiri setiap kali berinteraksi dengan mereka. Saya merasa 7G adalah cermin semangat saya sebagai guru: penuh warna, penuh tantangan, tetapi selalu memberi alasan untuk tetap berjuang.

Cepu, 28 Agustus 2025

Kehebohan di Kelas 7A Esmega

 


Karya: Gutamining Saida

Suasana kelas 7A terasa begitu cerah ceria. Udara pagi yang masuk melalui jendela membuat semangat anak-anak semakin bertambah. Saya memasuki kelas dengan membawa semangat serta beberapa gambar yang sudah saya siapkan sebagai media pembelajaran. Seperti biasa, saya menyapa mereka dengan senyum, lalu mengucapkan salam. Sontak mereka menjawab dengan kompak, meskipun ada beberapa yang suaranya lebih nyaring dibanding yang lain.

Materi hari itu adalah Lambang Negara Indonesia. Saya mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Anak-anak, tahukah kalian, apa lambang negara kita?” Hampir semua mengangkat tangan. Beberapa dengan lantang menjawab, “Garuda Pancasila, Bu!” Saya mengangguk sambil tersenyum, lalu berkata, “Betul sekali. Hari ini kita akan belajar lebih dalam tentang makna Garuda Pancasila.”

Saya tunjukkan gambar besar lambang negara Indonesia di depan kelas. Mata anak-anak tertuju pada burung garuda berwarna emas yang gagah, memegang pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Saya menjelaskan bahwa Garuda adalah burung yang melambangkan kekuatan, kejayaan, dan kebesaran. Warna emas melambangkan kemuliaan.

Kemudian saya bertanya, “Siapa yang tahu arti tulisan yang ada di pita itu?” Ada yang menjawab ragu-ragu, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, Bu.” Saya tersenyum puas, “Benar sekali. Itulah semboyan bangsa kita. Meskipun berbeda suku, agama, budaya, kita tetap satu, yaitu bangsa Indonesia.”

Setelah itu, saya mengajak mereka memperhatikan perisai di dada burung garuda. “Lihatlah perisai ini, anak-anak. Inilah simbol Pancasila, dasar negara kita.”

Saya uraikan satu per satu maknanya.

  • Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Lambangnya bintang emas di tengah perisai berlatar belakang hitam. Saya jelaskan bahwa bintang berwarna emas melambangkan cahaya Tuhan, dan warna hitam berarti keabadian. Anak-anak tampak mengangguk-angguk. Sudut Bintang ada lima menunjukkan agama yang ada di Indonesia
  • Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Simbolnya rantai emas dengan latar belakang merah. “Rantai ini tersusun dari mata rantai berbentuk persegi dan lingkaran, melambangkan laki-laki dan perempuan yang saling terhubung. Artinya, kita harus saling menghargai sebagai sesama manusia.”
  • Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Gambar pohon beringin dengan latar putih. Saya menerangkan bahwa pohon beringin melambangkan persatuan dan tempat berlindung bagi semua, sementara warna putih berarti kesucian niat. Pohon yang kuat memiliki akar yang menghirup udara dan air bisa tumbuh dan hidup lama.
  • Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lambangnya kepala banteng berlatar merah. Saya jelaskan bahwa banteng adalah hewan yang suka berkumpul, suka tolong menolong melambangkan musyawarah.
  • Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Simbolnya padi dan kapas dengan latar hijau. Saya terangkan bahwa padi melambangkan pangan negara Indonesia bercorak agraris, kapas melambangkan sandang, kebutuhan pokok semua orang. Warna hijau berarti kemakmuran.

Saya juga menjelaskan bahwa perisai berbentuk hati yang digaris tebal hitam melambangkan pertahanan bangsa. Jumlah bulu di sayap garuda pun bukan secara  kebetulan. 17 helai di setiap sayap, 8 helai di ekor, 19 helai di bawah perisai, dan 45 helai di leher, yang jika dirangkai menjadi 17 Agustus 1945, tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.

Anak-anak tampak kagum. Ada yang berbisik ke temannya, “Ooh… ternyata jumlah bulu juga ada artinya ya.” Saya tersenyum melihat rasa ingin tahu mereka.

Untuk menambah semangat, saya memberi mereka tugas menggambar burung garuda. “Sekarang, keluarkan kertas gambar kalian. Kita akan membuat karya masing-masing.” Begitu saya selesai bicara, kelas seketika menjadi heboh. Ada yang langsung sigap mengambil pensil dan penggaris, ada yang masih bingung harus mulai dari mana.

“Bu, saya belum pernah menggambar Garuda sebelumnya. Susah nggak, ya?” tanya seorang siswa. Saya menenangkan, “Tidak apa-apa, Nak. Mulailah dari bentuk sayapnya, nanti tinggal ditambahkan perisainya.” Ada juga yang berseru, “Asik! Saya sudah pernah menggambar ini waktu SD, Bu. Jadi lebih gampang.” Anak-anak yang sudah terbiasa tampak membantu teman di sebelahnya.

Suasana kelas menjadi hidup. Terdengar suara pensil yang menggores kertas, sesekali disertai tawa kecil ketika hasil gambar ada yang tidak sesuai. “Waduh, kepala garudanya jadi mirip bebek, Bu!” kata seorang siswa sambil tertawa, membuat teman-temannya ikut tergelak. Saya pun ikut tersenyum, “Namanya juga proses belajar, nanti bisa diperbaiki.”

Ada juga siswa yang sangat serius, wajahnya menunduk tanpa banyak bicara. Ia sibuk menambahkan detail perisai dengan warna yang sesuai. “Wah, rapinya. Kamu pasti suka menggambar, ya?” Saya memuji. Ia hanya tersenyum malu-malu.

Setelah beberapa saat, satu per satu mereka menunjukkan hasil karyanya. Ada yang sudah berwarna lengkap dengan detail pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Ada juga yang baru selesai bentuk kasar burungnya saja. Saya apresiasi semuanya, karena usaha mereka adalah yang terpenting.

Menjelang akhir pelajaran, saya minta beberapa anak maju untuk menunjukkan hasil gambar mereka ke depan kelas. Anak-anak lain memberi tepuk tangan meriah. Saya katakan, “Ingatlah, anak-anak, Garuda Pancasila bukan sekadar gambar. Ia adalah lambang persatuan dan jati diri bangsa kita. Dengan memahaminya, kita bisa lebih mencintai Indonesia.”

Sebelum bel berbunyi, saya menutup pelajaran dengan menyimpulkan kembali makna lambang negara dan mengingatkan mereka untuk selalu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Kelas 7A benar-benar terasa hidup. Saya melihat betapa antusias dan hebohnya mereka ketika belajar, apalagi saat menggambar burung garuda. Ada kebanggaan tersendiri dalam hati saya, karena mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengekspresikannya lewat karya. Saya berharap pengalaman ini akan menjadi kenangan indah yang menumbuhkan rasa cinta tanah air di hati mereka sejak dini.

Cepu, 28 Agustus 2025

 

Senin, 25 Agustus 2025

Tiga "S" di kelas 8F

Karya: Gutamining Saida

Hari ini saya mendapat jadwal mengajar IPS di kelas 8F pada jam terakhir. Seperti biasa, saya sudah menyiapkan materi dengan matang, yaitu tentang iklim dan cuaca. Materi ini sebenarnya sudah pernah mereka dengar di kelas sebelumnya, tetapi kali ini saya ingin memperdalam pemahaman mereka tentang perbedaan, faktor, dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat saya masuk ke kelas, suasana masih cukup segar. Anak-anak menyambut dengan salam dan senyum, lalu duduk rapi menyiapkan buku. Saya membuka pelajaran dengan tanya jawab singkat tentang perbedaan cuaca dan iklim. Ada beberapa siswa yang menjawab dengan tepat, ada juga yang masih keliru sehingga menjadi kesempatan saya untuk meluruskan.

Pelajaran berjalan lancar, saya menjelaskan bahwa cuaca adalah keadaan udara pada waktu singkat  dan tempat tertentu, sedangkan iklim adalah rata-rata cuaca dalam jangka waktu lama dan tempat yang luas. Saya beri contoh bahwa pagi hari bisa cerah, siang mendung, sore hujan, itulah cuaca. Tetapi Indonesia secara umum memiliki iklim tropis karena terletak di sekitar garis khatulistiwa.

Awalnya mereka memperhatikan dengan baik. Namun seiring waktu, apalagi karena ini jam terakhir, saya mulai melihat tanda-tanda kelelahan. Ada yang merebahkan tubuh di meja, ada yang bersandar sambil meletakkan kepala di atas tangan, bahkan ada yang terang-terangan berkata, “Bu, saya sudah mulai ngantuk…” Saya tersenyum melihat tingkah mereka, maklum, jam terakhir memang sering membuat siswa kurang bersemangat.

Tiba-tiba Rifki sang ketua kelas, mengangkat tangan dan memanggil saya, “Bu, bu… kita ice breaking dulu biar nggak ngantuk.” Saya berhenti sejenak, menatap kelas, lalu tersenyum. “Ada benarnya juga ya,” jawab saya. Sontak beberapa siswa langsung bersorak kecil, seolah sudah menantikan permainan yang bisa menyegarkan suasana.

Saya kemudian berkata, “Oke, kita lakukan ice breaking 3 S.” Rifki dengan semangat menyahut, “Iya bu… 3 S itu Salam, Sapa, Salim, kan?” Anak-anak lain tertawa mendengar jawabannya. Saya menggeleng dan menjawab singkat, “Tidak, bukan itu.” Mereka semakin penasaran.

Saya pun menjelaskan, “S pertama yaitu Sikut. Kalian pegang sikut teman di sebelah kalian.” Spontan mereka bergerak, ada yang langsung meraih sikut temannya dengan cepat, ada yang bingung karena duduk sendirian, sampai-sampai pindah kursi demi bisa ikut. Suasana kelas langsung ramai dengan tawa dan kegembiraan.

Kemudian saya lanjutkan, “S kedua yaitu Sakit. Kalian pegang perut seakan-akan sakit perut.” Hampir seluruh siswa menunduk sambil meringis pura-pura kesakitan. Ada yang bahkan sampai menambah suara, “Aduh, aduh, perutku sakit sekali, Bu…” Kelas pun pecah dengan gelak tawa. Di tengah keriuhan, Monica tiba-tiba mengangkat suara, “Bu, bu… pegang kepala aja sambil geleng-geleng, kayak orang pusing.” Saya pun tertawa dan berkata, “Ooo boleh, usul diterima ya Monica.” Anak-anak bertepuk tangan setuju.

Lalu saya menutup dengan instruksi terakhir, “S ketiga yaitu Sikat. Kalian ambil pulpen di meja masing-masing, lalu berebut dengan teman di sebelah kalian.” Dengan semangat mereka mengacungkan pulpen masing-masing. Ada yang cepat sekali merebut, ada yang sengaja pura-pura kalah, ada yang penggarisnya patah menjadi dua dan ada pula yang tertawa terpingkal-pingkal karena terjatuh pulpen dari tangannya.

“Ya, Bu…” jawab mereka kompak, tanda siap mengikuti aturan permainan. Saya memastikan semua sudah paham, lalu memulai putaran pertama. Dengan wajah penuh senyum, mereka mengikuti setiap instruksi. Saya lihat tidak ada yang keliru, karena mereka khawatir jika salah akan saya suruh maju ke depan. Saya sengaja memberi sedikit tantangan itu agar mereka fokus dan benar-benar konsentrasi.

Permainan saya ulang untuk putaran kedua. Hasilnya tetap sama yaitu semua siswa mengikuti dengan baik, tidak ada yang salah. Mereka tampak puas dan senang. Suasana kelas yang tadinya lesu kini berubah menjadi cerah dan penuh semangat. Saya pun merasa bahagia melihat perubahan itu.

Setelah selesai dua putaran, saya katakan, “Cukup ya, sekarang kita kembali belajar.” Mereka menjawab dengan serempak, “Siap, Bu!” Saya kemudian melanjutkan materi tentang manfaat iklim dalam kehidupan. Saya jelaskan bagaimana iklim tropis di Indonesia membuat petani bisa menanam padi dua sampai tiga kali setahun, bagaimana iklim memengaruhi jenis tanaman, perikanan, hingga kegiatan pariwisata.

Anak-anak mendengarkan dengan lebih fokus. Beberapa bahkan mengajukan pertanyaan. Ada yang bertanya tentang dampak perubahan iklim, ada juga yang mengaitkan dengan pengalaman di rumah masing-masing. Saya merasa pembelajaran jadi lebih hidup setelah adanya ice breaking tadi.

Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat. Tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara yaitu siswa diminta untuk mengambil jatah MBG (Makan Bergizi Gratis). Suara itu menandakan bahwa pelajaran kami sudah hampir selesai. Saya pun segera menutup pembahasan dengan kesimpulan, lalu mengajak siswa mengucapkan salam penutup.

Mereka menjawab dengan kompak, kemudian petugas segera bersiap untuk keluar kelas mengambil jatah MBG. Saya tersenyum puas. Meski sempat lesu di jam terakhir, akhirnya pelajaran bisa berjalan menyenangkan. Saya pun belajar bahwa terkadang hal sederhana seperti ice breaking bisa mengembalikan energi siswa dan membuat pembelajaran lebih bermakna.

Saya yakin anak-anak tidak hanya belajar tentang cuaca dan iklim, tetapi juga mengalami sendiri bagaimana suasana kelas bisa berubah menjadi lebih semangat hanya dengan sedikit permainan. Itu adalah pengalaman berharga, baik bagi saya sebagai guru maupun bagi mereka sebagai siswa.

Cepu, 24 Agustus 2025

 


 

Minggu, 24 Agustus 2025

Interaksi Antar Ruang





Pengertian Interaksi Antar Ruang
Interaksi antar ruang adalah hubungan timbal balik antara dua wilayah atau lebih yang saling memengaruhi. Hal ini terjadi karena setiap wilayah memiliki potensi, keunggulan, dan kebutuhan yang berbeda, sehingga mendorong adanya hubungan saling melengkapi.

Bentuk Interaksi Antar Ruang
1. Mobilitas Penduduk → perpindahan orang antarwilayah, misalnya urbanisasi, transmigrasi, dan pariwisata.
2. Perdagangan → pertukaran barang dan jasa antarwilayah, misalnya desa menjual hasil pertanian ke kota.
3. Komunikasi dan Informasi → pertukaran data, berita, atau pengetahuan, misalnya lewat internet, media sosial, atau surat kabar.
4. Transportasi → pergerakan manusia dan barang melalui darat, laut, atau udara.
5. Kerja Sama Sosial dan Budaya → pertukaran budaya, pendidikan, atau kegiatan sosial, misalnya pertukaran pelajar atau festival budaya.


Penyebab Terjadinya Interaksi Antar Ruang
1. Perbedaan Potensi Wilayah → setiap daerah memiliki sumber daya berbeda, misalnya pegunungan untuk perkebunan, pantai untuk perikanan.
2. Perbedaan Kebutuhan → tidak ada wilayah yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, misalnya desa butuh barang industri dari kota, kota butuh hasil pertanian dari desa.
3. Sarana dan Prasarana → transportasi, komunikasi, dan teknologi mempermudah interaksi.
4. Kondisi Geografis → letak, iklim, dan topografi memengaruhi jenis dan intensitas interaksi antar ruang.


Tiga Faktor Utama Interaksi Antar Ruang menurut Edward Ullman
1. Komplementaritas (Saling Melengkapi) : 
    Interaksi terjadi jika ada dua wilayah atau lebih yang saling                                                                       membutuhkan.
   Contoh: desa menghasilkan beras, kota membutuhkannya; 
                 kota menghasilkan barang industri, desa membutuhkannya
2. Kesempatan Antara (Intervening Opportunity): 
    Interaksi akan terjadi jika tidak ada wilayah lain yang                                                                                lebih dekat atau lebih mudah diakses untuk memenuhi                                                                                kebutuhan.
    Contoh: masyarakat lebih memilih pasar terdekat daripada harus pergi ke kota jauh.
3. Kemudahan Transfer (Transferability) : 
    Interaksi terjadi jika ada sarana transportasi dan komunikasi                                                                        yang memudahkan pertukaran barang, jasa, atau informasi.
    Contoh: jalan raya, kereta api, pelabuhan, bandara, internet, dan telepon.

Cepu, 25 Agustus 2025 

Tugas : 
  1. Jelaskan arti urbanisasi, transmigrasi dan beri contohnya
  2. Apa saja akibat buruk urbanisasi di desa dan di kota!
  3. Mengapa terjadi arus urbanisasi setelah paska hari raya!
  4. Bagaimana peran masyarakat desa saat melihat keluarganya pergi merantau ke kota!

Kebahagiaan di Kelas 7F

Karya : Gutamining Saida 
Saya mendapat jadwal mengajar di kelas 7F. Seperti biasanya, saya mempersiapkan diri lebih awal sebelum masuk kelas. Materi yang saya bawa kali ini adalah tentang cuaca dan iklim. Topik ini penting karena berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa. Saya ingin mereka tidak hanya menghafal definisi, tetapi juga memahami makna dan manfaatnya.

Ketika saya masuk ke kelas, suasana cukup kondusif. Siswa-siswa sudah menyiapkan buku pelajaran dan tampak siap untuk menerima materi. Saya awali dengan salam dan menanyakan kabar mereka. Beberapa siswa menjawab dengan semangat, sementara yang lain masih agak malu-malu. Saya mencoba mencairkan suasana dengan bertanya, “Siapa yang tadi pagi berangkat sekolah sambil merasakan udara panas?” Spontan sebagian siswa mengangkat tangan, sebagian lagi menjawab bahwa mereka merasa sejuk karena berangkat pagi sekali. Dari jawaban itu saya masuk ke materi tentang perbedaan kondisi cuaca dari waktu ke waktu.

Saya jelaskan bahwa cuaca adalah keadaan udara pada waktu tertentu dan wilayah tertentu, sedangkan iklim adalah rata-rata cuaca dalam jangka waktu lama. Saya beri contoh nyata yaitu cuaca hari ini bisa mendung, cerah, atau hujan, tetapi iklim di Indonesia secara umum adalah tropis. Anak-anak mulai mengangguk paham.

Saya sadar, di tengah-tengah penjelasan, wajah beberapa siswa mulai menunjukkan tanda-tanda jenuh. Beberapa terlihat menguap, ada juga yang mulai menunduk sambil memainkan bolpoin. Saya tidak ingin mereka kehilangan semangat. Maka saya putuskan untuk melakukan sebuah ice breaking.

Saya perkenalkan pada mereka permainan sederhana yang saya sebut Tiga S. Saya katakan kepada seluruh siswa, “Sekarang kita akan bermain sebentar, untuk menyegarkan pikiran sebelum lanjut ke materi berikutnya.” Wajah-wajah yang semula lesu berubah menjadi penasaran.

Saya mulai dengan S yang pertama yaitu Sikut. Saya mengucapkannya dengan lantang, lalu berkata, “Semua siswa pegang sikut teman di sebelahnya ya!” Seketika mereka saling meraih sikut, ada yang tertawa karena kesulitan menjangkau, ada yang kaget karena teman di sampingnya langsung meraih dengan cepat. Suasana kelas jadi riuh dengan tawa.

Lanjut ke S yang kedua yaitu  Sakit. Saya berkata, “Semua siswa sekarang pura-pura merasa sakit perut!” Mereka pun serentak memegang perut sambil meringis. Beberapa siswa begitu menghayati sampai terdengar suara “aduh perutku sakit…”. Kelas semakin penuh canda, saya ikut tertawa melihat kekompakan mereka.

Kemudian saya masuk ke S yang ketiga yaitu Semua berebut pulpen. Saya berikan instruksi, “Ambil pulpen di meja kalian, siapa cepat dia dapat!” Seketika mereka langsung berebut pulpen masing-masing. Ada yang cepat sekali mengangkatnya, ada juga yang terlambat dan hanya bisa tertawa melihat temannya lebih sigap.

Permainan itu saya ulang hingga dua putaran. Tidak perlu lama-lama, karena tujuan saya hanya untuk menyegarkan pikiran. Setelah dua kali, saya katakan, “Sudah cukup, kita lanjut belajar lagi.” Anak-anak kembali duduk tenang, namun wajah mereka jauh lebih ceria dibanding sebelum permainan dimulai. Saya merasa berhasil mengembalikan semangat belajar mereka.

Setelah itu saya kembali ke inti materi, yaitu manfaat iklim dalam kehidupan. Saya jelaskan bahwa iklim sangat berpengaruh terhadap kegiatan manusia, terutama di bidang pertanian, perikanan, transportasi, bahkan pariwisata. Saya beri contoh, “Petani di daerah tropis seperti Indonesia bisa menanam padi dua sampai tiga kali dalam setahun karena iklimnya mendukung. Berbeda dengan negara yang beriklim subtropis, yang hanya bisa menanam pada musim tertentu.”

Saya lihat beberapa siswa mulai mengangkat tangan untuk bertanya. Salah satu siswa bertanya, “Bu, kalau iklim berubah jadi ekstrem, misalnya terlalu panas atau terlalu sering hujan, apa pengaruhnya?” Saya jelaskan bahwa perubahan iklim memang berdampak besar, bisa menyebabkan gagal panen, banjir, atau kekeringan. Karena itu, manusia harus menjaga lingkungan agar perubahan iklim tidak semakin parah.

Diskusi berjalan cukup hangat. Beberapa siswa lain menambahkan pengalaman mereka, misalnya saat musim hujan jalan di depan rumahnya sering banjir, atau saat kemarau panjang sawah di kampung kakeknya menjadi kering. Saya senang sekali karena mereka mulai mengaitkan materi dengan pengalaman nyata.

Waktu terasa cepat sekali berlalu. Tanpa disadari, bel tanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Saya pun menutup pembelajaran hari itu dengan sebuah kesimpulan yaitu cuaca dan iklim bukan hanya ilmu yang dipelajari di kelas, melainkan hal nyata yang memengaruhi kehidupan manusia. Saya juga mengingatkan mereka untuk tetap semangat belajar meski kadang jenuh, karena ilmu yang dipelajari hari ini akan berguna di masa depan.

Akhirnya saya mengucapkan salam penutup. Siswa menjawab dengan serempak dan penuh semangat. Saat saya keluar kelas, ada rasa puas tersendiri karena berhasil menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Bagi saya, keberhasilan seorang guru bukan hanya pada seberapa banyak materi tersampaikan, tetapi juga pada bagaimana siswa merasa senang dan termotivasi saat belajar. Hari itu, dengan bantuan permainan sederhana “Tiga S”, saya merasa berhasil menghadirkan kebahagiaan sekaligus ilmu yang bermanfaat di kelas 7F.
Cepu, 25 Agustus 2025 

Kualitas Manusia Indonesia


Kualitas manusia Indonesia dapat diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Dari sisi jumlah, Indonesia memiliki bonus demografi dengan mayoritas penduduk usia produktif. Ini adalah potensi besar.

Dari sisi kualitas, masih ada tantangan:

Tingkat pendidikan yang belum merata, terutama di daerah pelosok.

Akses layanan kesehatan yang belum optimal.

Masih ada kesenjangan ekonomi dan pengangguran.

Tantangan karakter: kedisiplinan, integritas, dan etos kerja masih perlu ditingkatkan.

Artinya, kualitas manusia Indonesia cukup baik dan terus meningkat, namun belum maksimal bila dibandingkan dengan negara maju.

2.Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan yaitu 

✅ Bidang Pendidikan

Memperluas akses pendidikan hingga ke pelosok.

Meningkatkan mutu guru dan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman (literasi digital, karakter, keterampilan abad 21).

Mendorong budaya membaca, riset, dan inovasi.


✅ Bidang Kesehatan

Perbaikan gizi masyarakat, terutama untuk menekan angka stunting.

Pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga medis.

Meningkatkan kesadaran hidup sehat (olahraga, pola makan, kebersihan lingkungan).


✅ Bidang Ekonomi & Keterampilan

Mencetak tenaga kerja yang kompeten melalui pelatihan vokasi.

Mengembangkan UMKM dan wirausaha kreatif.

Pemanfaatan teknologi dan digitalisasi ekonomi.


✅ Bidang Karakter & Moral

Menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Meningkatkan disiplin, tanggung jawab, dan kerja sama.

Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kepedulian sosial.


✨ Kesimpulan:
Kualitas manusia Indonesia terus berkembang, namun masih menghadapi tantangan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan karakter. Upaya perbaikannya harus dilakukan bersama-sama oleh pemerintah yang cerdas, sehat, produktif, dan berakhlak mulia.
Cepu, 25 Agustus 2025 

Sabtu, 23 Agustus 2025

Tersesat Yang Mengelitik

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu, 24 Agustus 2025, menjadi hari yang cukup istimewa bagi warga RW 006. Sesuai dengan pengumuman sebelumnya, pagi itu dijadwalkan acara jalan sehat sebagai bagian dari kegiatan memeriahkan bulan kemerdekaan. Panitia sudah menyusun rundown acara dengan rapi. Dimulai pukul 06.00 WIB, warga yang hadir terlebih dahulu diajak untuk mengikuti senam pagi bersama Mbak Titik, seorang instruktur senam yang cukup dikenal di lingkungan sekitar karena gerakannya yang lincah dan selalu bersemangat.

Setelah senam, tepat pukul 06.40 WIB , acara berlanjut dengan pembukaan resmi. Seluruh peserta berdiri rapi menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai bentuk penghormatan terhadap tanah air. Setelah itu, acara ditutup dengan doa bersama agar kegiatan berjalan lancar tanpa halangan.

Sehari sebelumnya, Pak RT sudah membagikan kupon jalan sehat kepada semua warga. Kupon dibagikan sesuai jumlah anggota keluarga yang tercatat di Kartu Keluarga. Kupon ini nantinya akan digunakan untuk mengikuti undian doorprize yang sudah disiapkan panitia. Pengumuman penting yang disampaikan adalah bahwa kupon tidak boleh diwakilkan. Artinya, setiap peserta hanya boleh memasukkan satu kupon atas nama dirinya sendiri, kecuali bagi mereka yang menjadi donatur. Selain itu, kupon juga wajib ditulis dengan nama serta asal RT agar panitia tidak bingung saat pengundian.

Meskipun sudah disiapkan dengan cukup matang, saya dan keluarga memang sejak awal tidak berencana mengikuti seluruh rangkaian acara. Kami memilih untuk tidak ikut senam, hanya sekadar berjalan santai tanpa niat menunggu pengundian hadiah. Kupon sudah dipegang, tetapi arah rute jalan sama sekali tidak kami ketahui.

Pagi itu, kami sekeluarga keluar rumah dan berjalan kaki menuju gang 6. Dari kejauhan terlihat barisan peserta jalan sehat yang mulai melintas. Saya memperhatikan wajah-wajah peserta yang lewat, tapi anehnya tidak ada satu pun yang saya kenal. Dalam hati saya bergumam, mungkin mereka berasal dari RT lain, tapi masih satu RW.

Tak lama kemudian, rasa bingung saya terobati ketika melihat seorang tetangga yang saya kenal berjalan mendekat. Ternyata itu adalah Bu Jimbron, tetangga saya sendiri yang juga ikut serta dalam acara jalan sehat.

“Gimana Bu, sudah selesai senamnya?” tanya saya membuka percakapan.
“Belum Bu,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Ayo kita jalan dulu,” lanjutnya.

Kami pun berjalan bersama. Rasa penasaran masih tersisa, sehingga saya kembali bertanya, “Nanti rutenya lewat mana ya, Bu?”
“Entah ya, saya juga nggak begitu paham,” jawab Bu Jimbron sambil terkekeh.

Tanpa pikir panjang, kami akhirnya sepakat untuk mengikuti arus jalan saja. Bu Jimbron sempat menunjukkan kupon miliknya yang dimasukkan dalam sedotan warna pink. Melihat itu, saya penasaran dan bertanya, “Minta di mana sedotannya, Bu?”
“Di titik kumpul panitia, Bu,” jawabnya singkat.

Kami pun terus berjalan. Dalam hati, saya dan keluarga memang tidak ada niatan untuk menunggu undian hadiah, jadi sekadar ikut berjalan saja sudah cukup. Begitu sampai di luar gang 6, langkah kami sempat terhenti karena kebingungan. Barisan peserta yang tadi kami ikuti ternyata berbelok ke arah yang tidak kami sangka.

“Kok arahnya ke Janar?” tanya suami saya dengan nada heran.
“Ya sudah, ikuti saja lah,” sahut anak saya sambil santai.

Akhirnya kami berempat melanjutkan perjalanan, mengikuti rombongan sampai ke gang 9. Di sebuah sudut, kami melihat dua orang remaja perempuan yang membawa toples berisi sedotan. Spontan anak saya berkomentar, “Lho, kok warnanya beda?”

Mendengar itu, salah satu remaja menjawab, “Lha, lha… beda RT, Bu.”

Kami sekeluarga pun spontan tertawa. Rupanya kami salah mengikuti rombongan peserta jalan sehat dari RT lain yang kebetulan juga sedang berjalan di jalur yang sama. Rasa bingung bercampur geli karena baru sadar bahwa kami sekeluarga sedang tersesat dalam acara jalan sehat.

Untungnya, tidak lama kemudian kami bertemu dengan Pak Agus ketua RT 005. Dengan ramah beliau menyarankan agar kami menunggu di jalur utama, karena sebentar lagi peserta dari RT kami akan lewat. Mendengar saran itu, kami akhirnya berhenti sejenak, menanti barisan yang benar-benar berasal dari RW sendiri.

Tak berapa lama, benar saja, rombongan besar dari RW kami pun melintas. Kami segera bergabung, merasa lega akhirnya bisa ikut serta dengan jalur yang tepat. Walaupun sempat tersesat, pengalaman pagi itu terasa begitu menyenangkan.

Perasaan canggung, bingung, dan akhirnya tertawa bersama menjadi bumbu manis dalam cerita jalan sehat kali ini. Alhamdulillah, pada akhirnya kami bisa ikut bergabung dengan peserta lainnya, merasakan kebersamaan warga satu RW, meski awalnya sempat keliru mengikuti jalur.

Bagi saya pribadi, pengalaman itu menjadi cerita unik yang tak terlupakan. Kadang kala, dalam sebuah kegiatan kebersamaan, yang paling berkesan justru bukanlah hadiah atau doorprize yang didapat, melainkan momen-momen kecil yang sederhana, lucu, dan penuh kekeluargaan.

Jalan sehat RW 006 tahun 2025 akhirnya meninggalkan kenangan indah tersendiri bagi saya dan keluarga.
Cepu, 24 Agustus 2025 

Sabtu Ceria di Kelas 7G

 



Karya: Gutamining Saida

Hari Sabtu selalu menjadi hari yang dinanti oleh banyak orang. Bagi Sebagian orang, Sabtu adalah waktu beristirahat, berkumpul bersama keluarga, atau sekadar melepas penat setelah lima hari penuh aktivitas. Bagi saya sebagai seorang guru, Sabtu memiliki makna yang berbeda. Hari itu adalah kesempatan terakhir di akhir pekan untuk menanamkan ilmu, menyemai nilai, sekaligus menutup minggu dengan suasana belajar yang menyenangkan bersama para siswa.

Siang itu, langit mendung tipis menyelimuti Kecamatan Cepu. Semangat saya tidak surut. Justru saya ingin memastikan bahwa meskipun Sabtu adalah akhir pekan. Anak-anak di kelas 7G tetap bisa menikmati pelajaran dengan hati yang gembira. Jadwal saya mengajar jatuh di jam terakhir, sebuah waktu yang biasanya penuh tantangan. Pada jam-jam seperti itu, anak-anak sering merasa lelah, pikirannya sudah berandai-andai pulang, atau sekadar ingin bermain bersama teman.

Saya melangkah ke kelas dengan sebuah tekad yaitu bagaimana pun juga, pelajaran hari ini harus meninggalkan kesan positif. Ketika saya memasuki kelas, para siswa tampak duduk dengan beragam ekspresi. Ada yang masih bersemangat, ada yang terlihat menguap, bahkan ada yang sibuk menggambar di buku catatannya. Saya tersenyum, lalu menyapa mereka dengan suara hangat.

“Assalamualaikum, anak-anak! Hari ini hari apa?” tanya saya.

“Sabtu, Buuu!” jawab mereka serempak.

“Nah, Sabtu itu istimewa. Kita belajar sambil berbahagia, ya. Kalian siap?”

“Siap, Buuuuu!” teriak mereka riuh, meski sebagian masih tampak setengah hati.

Hari itu saya mengajar mata pelajaran IPS. Bagi mereka, IPS adalah sesuatu yang baru. Saya pun menjelaskan dengan sederhana. “Anak-anak, hari ini saya membicarakan tentang iklim, cuaca. Mulai dari pengertian, faktor penyebab, dampak iklim terhadap kehidupan manusia dan manfaat iklim. Beserta contoh di kehidupan sehari-hari.

Mereka mendengarkan, beberapa tampak manggut-manggut, meski ada yang sudah mulai gelisah. Saya tahu, di jam terakhir materi sepadat apa pun tidak akan sepenuhnya masuk ke dalam kepala mereka. Maka saya sudah menyiapkan cara untuk menjaga semangat mereka. Sebuah ice breaking sederhana yang saya beri nama Tiga Cinta.

Saya berdiri di depan kelas dengan ekspresi penuh rahasia, lalu berkata, “Anak-anak, sekarang kita akan bermain sebentar. Namanya permainan Tiga Cinta.”

Begitu mendengar kata cinta, ruangan langsung riuh. Beberapa siswa berteriak, sebagian saling pandang dan tertawa geli, ada juga yang bersiul nakal.

“Eeeee… jangan ge-er dulu,” saya menimpali sambil terkekeh. “Tiga Cinta ini bukan untuk pacar. Cinta kita yang paling penting itu ada tiga yaitu cinta untuk teman, cinta untuk orang tua, dan cinta untuk Tuhan.”

Kelas mendadak hening sejenak, lalu terdengar suara, “Ooooh…” bercampur tawa kecil. Saya tahu, mereka mulai penasaran.

“Caranya begini,” saya lanjutkan sambil memberi contoh. “Kalau saya bilang cinta kecil, kalian buat tanda saranghae dengan jari tangan. Kalau saya bilang cinta sedang, kalian gunakan kedua tangan membentuk lambang cinta untuk orang tua. Dan kalau saya bilang cinta besar, kalian harus berpasangan dengan teman sebelah lalu bersama-sama membentuk tanda cinta besar. Mengerti?”

“Ngertiiii, Buuuu!” jawab mereka penuh semangat.

Permainan pun dimulai. Saya berteriak, “Cinta kecil!” dan serentak mereka membuat simbol saranghae dengan jari. Ada yang benar, ada yang salah arah, sehingga kelas pun pecah dengan tawa.

Kemudian saya mengubah perintah, “Cinta sedang!” Anak-anak buru-buru membentuk tanda cinta dengan kedua tangan. Beberapa tampak masih kikuk, ada yang kebablasan masih menggunakan jari kecil, hingga kembali terdengar gelak tawa.

Saat saya berteriak, “Cinta besar!” suasana semakin riuh. Mereka saling berebut mencari pasangan, lalu berpose membentuk tanda cinta besar. Ada yang berhasil, ada yang terlambat, bahkan ada yang saling dorong karena berebut teman sebangku.

Salah seorang siswa salah kaprah, ketika saya berkata “cinta kecil” malah membuat tanda “cinta besar” dengan temannya. Spontan kelas meledak tertawa. Saya pun ikut tertawa, lalu berkata, “Nah, kalau salah begitu, tandanya kalian masih butuh latihan cinta!”

Tawa mereka pecah, lepas tanpa beban. Saya melihat wajah-wajah polos itu begitu ceria, jauh dari rasa kantuk atau jenuh. Di momen itu saya merasa berhasil. Anak-anak bisa menikmati pelajaran tanpa tekanan, meski jam terakhir di hari Sabtu.

Setelah beberapa putaran permainan, saya menutup dengan refleksi. “Anak-anak, permainan tadi sederhana, tapi ada maknanya. Cinta kecil untuk teman artinya kita harus selalu menyayangi sesama, saling menolong, dan tidak boleh iri. Cinta sedang untuk orang tua artinya kita harus berbakti, mendengarkan nasihat, dan membuat mereka bahagia. Dan cinta besar untuk Tuhan artinya kita harus selalu bersyukur, taat beribadah, dan menjaga hati.”

Mereka mendengarkan dengan serius, meski masih menyeka air mata karena terlalu banyak tertawa. Saya bisa melihat bahwa pesan itu tersampaikan dengan cara yang menyenangkan.

Waktu hampir habis, saya pun menutup pelajaran dengan senyum. “Sabtu ini kita sudah belajar IPS dengan bahagia. Ingat, ilmu itu bukan hanya untuk dihafal, tapi juga untuk dihidupi. Dan jangan lupa, tiga cinta tadi harus kalian bawa ke rumah.”

Mereka bertepuk tangan, beberapa masih bercanda tentang siapa yang salah saat permainan tadi. Di balik canda itu, saya yakin ada nilai yang tertanam di hati mereka.

Bagi saya, hari itu adalah bukti bahwa belajar bisa menyenangkan, bahkan di jam terakhir sekalipun, asalkan kita mampu mengemasnya dengan hati. Anak-anak bukan hanya butuh ilmu, tetapi juga butuh pengalaman belajar yang membuat mereka tersenyum. Saya bahagia bisa menjadi bagian dari senyum itu. Semoga menginspirasi pembaca.

Cepu, 23 Agustus 2025