Rabu, 06 Agustus 2025

Bahan Bakar Kereta Api

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu udara Cepu terasa hangat dan cerah. Saya mengikuti Walking Tour yang diselenggarakan komunitas sejarah lokal. Tujuan kali ini adalah menyusuri area sekitar Stasiun Cepu.  Setiap perjalanan menawarkan kejutan dan pengetahuan baru.

Setibanya di lokasi, kami langsung diajak mendekati Depo stasiun. Seorang pemandu menjelaskan bahwa area tersebut bukan hanya sekadar jalur parkir lokomotif atau kereta api, tapi juga merupakan tempat pengisian bahan bakar untuk kereta. Di sanalah saya mulai penasaran. Apa sebenarnya bahan bakar kereta api di masa kini? Bagaimana proses pengisiannya? Apakah semua stasiun memiliki fasilitas seperti ini?

Jenis Bahan Bakar Kereta Api
Kereta api di Indonesia, terutama yang digunakan oleh PT KAI, sebagian besar menggunakan bahan bakar solar (High Speed Diesel atau HSD). Khususnya untuk kereta lokomotif diesel yang mendominasi layanan perjalanan antarkota maupun barang. Meski ada kereta listrik seperti KRL di Jakarta dan sekitarnya, namun untuk wilayah-wilayah luar Pulau Jawa, kereta diesel masih sangat dominan.

Solar ini disimpan dalam tangki besar di lokomotif, dan akan diisi ulang pada stasiun-stasiun tertentu yang memiliki Depo Pengisian Bahan Bakar Minyak (DPBBM). Proses pengisiannya hampir seperti mengisi bahan bakar kendaraan besar, hanya saja dilakukan dengan protokol keselamatan tinggi, mengingat ukuran tangki kereta bisa sangat besar.

Berapa Konsumsi BBM Kereta per Kilometer?
Salah satu peserta walking tour yang tampak paham dunia perkeretaapian menyela dengan data menarik  konsumsi solar untuk satu lokomotif diesel sekitar 2 hingga 3 liter per kilometer tergantung beban muatan dan kondisi lintasan. Jika kereta membawa banyak gerbong, maka konsumsi bisa naik, bahkan mencapai lebih dari 4 liter per kilometer.

Sebagai ilustrasi, rute Cepu-Semarang yang berjarak sekitar 180 km bisa menghabiskan sekitar 500 liter lebih solar hanya dalam satu perjalanan. Bayangkan jika kereta bolak-balik dalam sehari, maka kebutuhan bahan bakarnya bisa mendekati 1000 liter.

Tak heran jika pengisian BBM dilakukan secara berkala dan terjadwal, demi efisiensi dan menghindari keterlambatan perjalanan.

Stasiun Mana yang Menyediakan Bahan Bakar?
Saya bertanya kepada pemandu, "Lalu, apakah semua stasiun seperti Cepu ini memiliki fasilitas pengisian bahan bakar?"

Pemandu menjelaskan bahwa tidak semua stasiun memiliki DPBBM. Hanya stasiun tertentu yang ditunjuk sebagai lokasi pengisian BBM. Biasanya, stasiun tersebut berada di titik strategis yang dekat dengan depo, jalur utama, atau memiliki kapasitas teknis untuk penanganan logistik bahan bakar.

Beberapa contoh stasiun yang memiliki fasilitas ini selain Stasiun Cepu antara lain yaitu 
Stasiun Balapan Solo
Stasiun Kertapati (Palembang)
Stasiun Jatinegara (Jakarta)
Stasiun Tanah Abang
Stasiun Tanjungkarang (Lampung)
Stasiun Sidotopo (Surabaya)

Stasiun Cepu sendiri menjadi penting karena lokasinya di jalur lintas utara Pulau Jawa dan dekat dengan kilang minyak tua yang menjadi sejarah panjang kota ini sebagai pusat perminyakan sejak masa kolonial. Dulu, minyak bumi yang ditambang dari sekitaran Blora dan Cepu juga dikirim melalui jalur kereta api.

Mengapa Tidak Semua Stasiun Menyediakan BBM?
Pertanyaan ini dijawab dengan cukup masuk akal. Tidak semua stasiun memiliki kapasitas dan kebutuhan yang sama. Penyediaan bahan bakar memerlukan:
1. Infrastruktur khusus seperti tangki penyimpanan, pompa, dan jalur pengisian aman.
2. Keamanan tinggi, karena BBM tergolong bahan mudah terbakar.
3. Efisiensi rute, karena kereta dirancang agar bisa menempuh ratusan kilometer tanpa harus sering mengisi ulang.

Pengisian bahan bakar dilakukan di titik-titik tertentu yang sudah dihitung secara teknis, bukan seperti kendaraan pribadi yang bisa berhenti di SPBU mana saja. Hal ini membuat perjalanan kereta lebih terstruktur dan aman.

Setelah penjelasan panjang itu, kami diajak mendekati rel dan melihat jejak jalur pengisian bahan bakar. Ada selang besar, tangki di bawah tanah, dan area yang dipagari untuk mencegah akses sembarangan. Meskipun tidak bisa masuk terlalu dekat, namun cukup membuatku kagum akan bagaimana sistem kereta bekerja dengan sangat terencana.

Stasiun Cepu yang selama ini tampak tenang ternyata menyimpan peran penting sebagai pusat energi untuk kereta-kereta yang melintas. 

Kereta yang bergerak di kejauhan, bertenaga dari solar yang tak terlihat, namun memutar roda sejarah dan kehidupan dari satu stasiun ke stasiun lain.
Cepu, 7 Agustus 2025 

Senin, 04 Agustus 2025

Gardu Listrik Aniem Di Lorong Depo - Cepu

Karya :Gutamining Saida 
Matahari baru saja bergeser ke barat ketika rombongan Walking Tour siang itu tiba di sebuah titik menarik yaitu  sebuah bangunan kecil, sederhana namun kokoh, berdiri tenang di sisi jalan masuk lorong Depo, Cepu. Bangunan itu adalah gardu listrik peninggalan masa kolonial, yang dahulu dikenal sebagai gardu listrik Aniem. Meski banyak yang lalu-lalang melewatinya setiap hari, tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini menyimpan kisah panjang tentang sejarah listrik di Indonesia, khususnya di Cepu.

Pada masa Hindia Belanda, sekitar tahun 1902, keberadaan listrik di Indonesia masih tergolong sangat langka dan mewah. Belum semua daerah memiliki penerangan listrik, bahkan di kota besar sekalipun. Di saat itulah, Belanda melalui perusahaan listriknya yang bernama ANIEM singkatan dari Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij mulai membangun infrastruktur kelistrikan di berbagai wilayah penting, termasuk Cepu. Cepu dipilih karena wilayah ini memiliki peran penting sebagai pusat industri minyak dan perkeretaapian pada masa itu.

Fungsi gardu listrik kala itu sangat vital. Gardu listrik berperan sebagai pusat distribusi dan pengatur tegangan arus listrik yang dihasilkan oleh pembangkit. Listrik yang dihasilkan oleh turbin uap atau diesel generator dialirkan melalui jaringan kabel ke gardu-gardu seperti ini, sebelum disalurkan ke rumah-rumah, kantor pemerintahan, stasiun, rumah sakit, atau bangunan penting lainnya. Dalam konteks masa itu, gardu listrik tidak hanya menyediakan penerangan, tetapi juga menjadi simbol kemajuan dan modernitas.

Di masa awal abad ke-20, hanya tempat-tempat strategis yang memiliki gardu listrik. Gardu di lorong Depo ini merupakan salah satu dari sedikit gardu yang dibangun di Cepu kala itu. Posisinya di dekat jalan dan tak jauh dari stasiun, menjadikannya bagian penting dari sistem kelistrikan yang mendukung aktivitas perkeretaapian dan industri migas. Selain itu, gardu ini juga melayani penerangan bagi rumah-rumah dinas pegawai Belanda dan warga elit pada masa kolonial.

Mengapa dinamakan Aniem? Nama ini berasal dari perusahaan Belanda yang berperan besar dalam elektrifikasi wilayah Hindia Belanda. Didirikan pada tahun 1909 di Amsterdam, ANIEM menjadi salah satu perusahaan listrik terbesar yang mengoperasikan sistem kelistrikan di banyak kota kolonial, termasuk Batavia (Jakarta), Surabaya, Semarang, hingga kota-kota kecil seperti Cepu.

Selain memasok listrik, Aniem juga membangun pembangkit dan jaringan distribusi, lengkap dengan infrastruktur seperti gardu, tiang listrik, bahkan rumah-rumah pegawainya. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat setempat lebih mengenal sistem kelistrikan pada masa itu dengan sebutan “listrik Aniem”.

Dalam catatan sejarah, Aniem beroperasi di Indonesia hingga masa kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, seluruh aset perusahaan listrik milik Belanda, termasuk gardu-gardu dan pembangkitnya, diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan menjadi bagian dari cikal bakal berdirinya Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 1945.

Gardu listrik peninggalan Aniem di lorong Depo tidak lagi digunakan untuk distribusi listrik. Meski telah berhenti beroperasi, bangunan ini tetap berdiri sebagai saksi bisu dari geliat modernisasi pada awal abad ke-20. Banyak warga yang tidak menyadari nilai historis dari bangunan kecil ini, padahal ia adalah warisan masa lalu yang patut dijaga dan dilestarikan.

Selama Walking Tour, pemandu menjelaskan bahwa gardu ini dulunya memiliki peralatan seperti trafo besar, panel saklar manual, dan meter analog yang menunjukkan arus listrik yang masuk dan keluar. Suasana menjadi hening sejenak ketika peserta membayangkan bagaimana gardu ini dulu bekerja keras menyalurkan listrik ke berbagai penjuru kota, membawa cahaya di tengah malam gelap yang tak tersentuh lampu.

Bagi warga Cepu, mengenal kembali sejarah gardu Aniem adalah upaya untuk memahami bahwa modernitas yang kita nikmati hari ini bukan datang dalam sekejap. Ada proses panjang yang dimulai dari percikan-percikan kecil, seperti nyala lampu pijar dari gardu tua di pojok lorong Depo ini.

Sebagai bagian dari rute Walking Tour Cepu, gardu listrik peninggalan Aniem menjadi ruang edukasi dan refleksi. Dindingnya yang tua mengajarkan kita tentang pentingnya energi, kemajuan, dan keberlanjutan. Sementara keberadaannya mengingatkan kita bahwa di balik tiap lampu yang menyala, tersimpan sejarah panjang perjuangan teknologi dan kolonialisme.

Semoga, dengan semakin banyaknya warga dan generasi muda yang mengenal kisah ini, gardu tua itu tak hanya berdiri dalam sunyi, tetapi juga dalam ingatan kolektif kita sebagai warisan budaya dan sejarah bangsa.
Cepu, 5 Agustus 2025 

Melawan Rasa Kantuk di Jam Ips

Karya :Gutamining Saida 
Matahari bersinar terik di atas langit Cepu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.35 WIB. Di SMPN 3 Cepu, jam keenam dan ketujuh waktu paling rawan kantuk bagi siswa-siswi. Hari sudah siang, angin dari kipas  yang berputar malas-malasan menyapu wajah para siswa, membuat suasana kelas 8F terasa tenang... bahkan terlalu tenang.

Saya masuk ke kelas dengan materi pembelajaran Keragaman Budaya di Indonesia. Seperti biasa, saya menyapa para siswa yang tampak lesu. Sebagian duduk diam, memegang bolpoin namun matanya tampak sayu. Sebagian lain malah bersandar di meja, mungkin mencoba mencuri waktu untuk memejamkan mata barang sebentar.
Saya sudah bersiap dengan tantangan mengajar di jam siang bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga mempertahankan energi kelas agar tetap hidup.

Saya mulai pembelajaran dengan memantik rasa ingin tahu mereka. “Anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan salah satu tarian daerah yang berasal dari Pulau Sumatera?”

Tanpa perlu waktu lama, Rifki langsung mengangkat tangan. Wajahnya cerah, penuh semangat.

“Tari Piring dari Sumatera Barat, Bu!” katanya lantang.

“Bagus sekali, Rifki!” jawab saya. “Ada yang tahu rumah adat dari daerah?”

Rifki lagi-lagi angkat tangan, tapi saya memberi kesempatan kepada yang lain.

Laras pun ikut bersuara, “rumah panggung, joglo, gadang, Bu.”

“Hebat! Nah, sekarang kita pindah ke makanan khas. Siapa yang tahu makanan khas dari Jawa Tengah?”

Laras masih semangat menjawab, “Gudeg, soto, sate Bu!”

Saya tersenyum. “Wah, kamu pasti lapar ya, sebentar lagi MBG”

Kelas pun tertawa kecil. Lalu Azka menyusul, menjawab dengan menyebutkan beberapa bahasa daerah yang ada di Indonesia. "Saya tulis di papan ya bu!" ujar Azka. Dia menulis dari bahasa Sunda, Batak, hingga Bugis. Ia juga menambahkan contoh upacara adat seperti Ngaben dari Bali dan Sekaten dari Yogyakarta dan sedekah bumi.

Tidak ingin tertinggal, Galuh ikut angkat tangan. Namun kali ini jawabannya agak menyimpang. “Bu, jenis agama yang diciptakan manusia itu seperti Konghucu atau Budha ya?”

Saya langsung meluruskan, “Nah, Galuh, kita perlu hati-hati ya dalam menyebutkan agama. Semua agama besar di Indonesia diakui oleh negara dan memiliki sejarahnya masing-masing. Tidak diciptakan manusia, tapi dibawa oleh para tokoh dan pemuka agama untuk disebarkan. Yang penting, kita saling menghormati.”

Galuh mengangguk, dan saya senang dia berani bertanya. Ini adalah bentuk keaktifan yang perlu diapresiasi. Saya sadar, di antara anak-anak yang aktif menjawab, banyak bangku kosong. Rupanya beberapa siswa sedang latihan karnaval, sehingga ruang kelas tampak agak sepi dan suasananya semakin merayap sepi. Beberapa siswa mulai kembali bersandar. Satu-dua terlihat hampir tertidur.

Saat itulah saya mengambil langkah taktis. Saya menepuk tangan dan berkata, “Baik, sepertinya Ibu harus undang kalian untuk bangun dan bersenang-senang sebentar.”

Mereka menoleh dengan mata agak mengantuk.

“Kita lakukan tepuk anti ngantuk! Siap?”

“Siap, Buuu...” jawab mereka, meski belum seratus persen semangat.

“Aturannya yaitu kalau Ibu bilang satu, kalian bilang wuuuus sambil tangan ditiupkan dekat mulut. Kalau dua, tangan mengepal dan bilang yes. Kalau tiga, tangan disendekapkan di dada sambil bilang coool. Yang salah, maju ke depan dan menyanyi atau menghapal ayat pendek. Siap?”

Tiba-tiba suasana kelas berubah. Wajah mereka mulai ceria. Saya mulai memimpin,

“Satu!”

“Wuuuuss...” terdengar serempak.

“Dua!”

“Yes!”

“Tiga!”

“Cooool...” sambil tangan disendekapkan di dada.

Saya putar lagi perintahnya dengan cepat. Kali ini saya sengaja mempercepat ritmenya. Beberapa siswa mulai bingung, ada yang bilang “yes” padahal perintahnya “tiga”, ada yang bingung antara tangan di mulut atau mengepal. Suasana kelas meledak tawa.

“Monika salah!” teriak teman-temannya.
Saya tunjuk Monika, “Ayo ke depan!”
Monika tersenyum malu. “Nyanyi atau hapalan?”
“Nyanyi aja deh, Bu,” katanya, lalu menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dengan suara lirih tapi jelas. Teman-temannya memberi tepuk tangan meriah.

Kami lanjut lagi. Kali ini perintah saya campur aduk: “Dua! Tiga! Satu! Dua! Tiga!”

Kelas penuh tawa, dan yang salah makin banyak. Ada yang dengan senang hati maju dan menyanyikan lagu daerah, ada pula yang menghapal ayat pendek dengan percaya diri. Saya melihat mata-mata yang tadi sayu kini berbinar. Setelah lima menit ice breaking, saya kembali ke materi. “Nah, setelah segar, sekarang kita lanjutkan diskusi. Kalian sudah paham tentang budaya apa saja yang ada di Indonesia. Sekarang, coba sebutkan manfaat dari keragaman budaya di Indonesia!”

Beberapa tangan langsung terangkat. Rifki menjawab bahwa keragaman membuat Indonesia kaya akan seni dan tradisi. Azka menambahkan bahwa kita bisa belajar saling toleransi dan menghargai. Laras menyebut bahwa budaya juga bisa menjadi daya tarik wisata. Saya tersenyum puas. Meski awalnya lesu, kini mereka penuh energi dan antusias belajar.

Jam ke-7 pun berakhir. Saya tutup pelajaran dengan satu pertanyaan reflektif, “Apa pelajaran yang kalian dapat hari ini?” Satriya menjawab sambil tersenyum, “Kalau ngantuk, lebih baik tepuk anti ngantuk daripada tidur, Bu!” Semua tertawa.        
Cepu, 4 Agustus 2025 


Minggu, 03 Agustus 2025

Petualangan di Depo KAI

 


Karya: Gutamining Saida

Hari Minggu saya tidak hanya berada di rumah mendengar deru dan peluit kereta api dari kejauhan. Kali ini, saya mendapat kesempatan langka yaitu  masuk ke Depo KAI. Sebuah tempat yang selama ini hanya bisa saya pandangi dari balik pagar stasiun. Lokasinya memang tidak jauh dari rumah saya, namun untuk benar-benar bisa melangkah masuk ke dalamnya, mustahil rasanya bila tanpa alasan yang jelas.

Kesempatan ini datang melalui kegiatan bernama Walking Tour, sebuah program wisata edukatif yang memungkinkan masyarakat umum menjelajahi tempat-tempat yang biasanya tertutup untuk publik. Salah satunya adalah Depo KAI. Saat menerima informasi tentang kegiatan ini, tanpa ragu saya langsung mendaftarkan diri. Rasa penasaran yang selama ini tersimpan di benak saya seolah akan menemukan jalannya menuju jawaban.

Kami Bersama rombongan peserta walking tour berkumpul di pelataran stasiun. Ada yang membawa kamera, buku catatan, dan banyak yang wajahnya tampak antusias. Pemandu kami hari itu adalah seorang pegawai senior dari KAI Bernama bapak Joko, yang dengan ramah dan penuh semangat menyambut kami. Sebelum masuk, kami dibekali pengarahan singkat yaitu harus mengenakan helm keselamatan dan mematuhi aturan keselamatan yang berlaku di lingkungan depo.

Depo KAI, atau yang biasa disebut balai yasa, adalah tempat khusus yang digunakan untuk merawat, memperbaiki, dan memeriksa kereta api. Di sinilah gerbong dan lokomotif yang sehari-hari melaju di atas rel mendapatkan perhatian penuh. Mulai dari pemeriksaan roda, pengecekan sistem rem, pengelasan bagian-bagian penting, hingga pengecatan ulang badan kereta, semuanya dilakukan di sini. Depo bukan sekadar tempat parkir kereta, tapi seperti rumah sakit sekaligus bengkel raksasa bagi armada kereta api.

Pak Joko sebagai Pemandu mengajak kami memperhatikan lantai. “Perhatikan warna-warna ini,” ujarnya. “Warna lantai di depo bukan sekadar hiasan. Warna merah menunjukkan area bahaya jangan pernah berdiri di situ saat ada kereta melintas. Warna hijau menunjukkan zona aman, tempat di mana kalian bisa berdiri atau berjalan dengan aman.” Penjelasan ini membuat saya terkesan. Bahkan warna lantai pun punya arti penting demi keselamatan kerja.

Kemudian, perhatian kami diarahkan pada helm yang dikenakan para pekerja. Ada yang memakai helm merah, hijau, dan putih. Ternyata, warna helm ini menandakan fungsi dan jabatan seseorang di lingkungan kerja.

  • Helm Merah digunakan oleh pengawas atau petugas keselamatan kerja. Mereka bertanggung jawab memastikan semua prosedur keselamatan dipatuhi dan siap mengambil tindakan jika terjadi keadaan darurat.
  • Helm Hijau dikenakan oleh teknisi atau pekerja operasional. Mereka inilah yang sehari-hari bekerja langsung dengan peralatan dan kereta api, mulai dari pemeriksaan teknis hingga perbaikan.
  • Helm Putih biasanya dikenakan oleh manajer, insinyur senior, atau tamu penting. Dalam kasus kami, para peserta tur pun diberi helm putih sebagai tanda tamu.

Semakin dalam kami diajak menjelajahi area depo, semakin banyak hal yang membuka wawasan saya. Kami ditunjukkan sebuah ruang kontrol kecil, tempat di mana jadwal perawatan kereta diatur dan dicatat dengan teliti. Pengalaman ini benar-benar membuka mata saya. Tak hanya soal teknis, tetapi juga soal tanggung jawab dan sistem kerja yang rapi. Depo bukan sekadar tempat perbaikan, tapi juga simbol dari kesungguhan dan kedisiplinan.

Salah satu petugas bercerita bahwa setiap kereta yang beroperasi harus melalui pemeriksaan berkala. “Kalau kita lengah sedikit saja, bisa membahayakan banyak nyawa,” katanya serius. Ucapan itu membuat saya tersadar, bahwa di balik perjalanan kereta yang nyaman, ada kerja keras dan ketelitian luar biasa dari orang-orang yang bekerja di balik layar.

Sebelum walking tour berakhir, kami diberi waktu untuk mengambil foto, tentu saja dengan tetap mematuhi jalur aman berwarna hijau. Saya bersama rombongan menyempatkan diri berfoto di depan tulisan DEPO LOKOMOTIF CEPU. Bukan karena narsis, tapi sebagai pengingat, bahwa hari ini saya telah menginjakkan kaki di tempat yang sebelumnya hanya bisa saya lihat dari jauh.

Cepu, 3 Agustus 2025

 

Wingko Legendaris



Karya :Gutamining Saida 
Setelah menyusuri jejak-jejak sejarah di Komplek Spoorweg Tjepoe 1902, melihat rumah-rumah tua peninggalan PJKA, dan menapaki lorong waktu melalui cerita-cerita masa lalu, rombongan kami dari kegiatan Cepu Walking Tour akhirnya sampai pada destinasi terakhir siang ini yaitu pusat oleh-oleh wingko khas Cepu, produksi legendaris, Wingko Cap Spoor Lokomotif.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Kami berjalan menyusuri Jalan Depo sebuah kawasan yang ternyata punya ciri khas tersendiri. Hampir di sepanjang jalan ini, rumah-rumah tampak sederhana dari luar, namun jika diperhatikan lebih saksama, sebagian besar adalah dapur-dapur penghasil wingko. Wingko menjadi oleh-oleh khas yang tak bisa dipisahkan dari identitas Cepu. Meski bentuk dan cita rasanya mirip dengan wingko dari daerah lain seperti Babat, Semarang, wingko Cepu punya kekhasannya sendiri. Salah satunya, yang kami kunjungi hari ini, adalah Wingko Cap Spoor Lokomotif, sebuah nama yang erat dengan sejarah perkeretaapian kota ini.

Begitu tiba di depan tempat produksi wingko tersebut, saya langsung menangkap kesan tradisional. Plang dengan tulisan "Wingko Spoor Lokomotif" menyambut kami dengan nuansa jadul yang khas. Meski tak sedang berproduksi hari itu, pemilik rumah tetap menyambut kami dengan ramah. Kami dipersilakan masuk untuk melihat dapur tempat wingko diproduksi setiap harinya.

Kami melewati ruang depan yang sudah disulap menjadi etalase produk. Di meja, tertata rapi tumpukan wingko yang siap dibeli dan dibawa pulang. Aroma legit khas kelapa dan ketan menyambut kami meski dapurnya tak sedang beroperasi. Saya bisa membayangkan betapa semerbaknya ruangan ini saat produksi sedang berlangsung.

Menurut sang pemilik usaha, yang dengan hangat menyapa dan berbagi cerita, wingko Cap Spoor Lokomotif ini sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan diwariskan secara turun-temurun. Keistimewaan wingko mereka terletak pada pemilihan bahan baku utama, yaitu tepung ketan, yang tidak sembarangan. Tidak seperti produsen wingko lain yang umumnya membeli tepung ketan jadi, wingko Spoor Lokomotif justru menggunakan ketan baru yang digiling sendiri. Proses selep dilakukan secara mandiri agar kualitasnya tetap terjaga. Hal inilah yang membuat tekstur wingko mereka terasa lebih lembut, padat, namun tetap kenyal ketika dimakan. Ditambah lagi penggunaan kelapa segar parutan sendiri yang dipilih dengan cermat.

“Kalau ketan sudah jadi, kadang kita tidak tahu kualitasnya. Bisa sudah lama, bisa sudah kena air. Tapi kalau selep sendiri, kita tahu dari awal ketan itu seperti apa,” ujar si pemilik sambil menunjukkan tempat penyimpanan bahan baku di sisi dapur.

Kami diajak masuk ke ruang produksi dan penuh peralatan khas rumahan. Ada tungku satu dan tungku dua istilah mereka untuk dua titik pemanggangan wingko yang berbeda. Tungku-tungku tersebut masih berbahan bakar kayu bakar, menjaga rasa otentik wingko agar tidak terkontaminasi bau gas. Selain itu, kami juga melihat oven besar (open) yang digunakan untuk memanggang secara bersamaan dalam jumlah lebih banyak.

Sayangnya, hari itu tidak ada aktivitas pembuatan wingko. “Biasanya produksi pagi hari. Kalau sudah siang, ya tinggal bungkus-bungkus dan sortir,” jelas sang pemilik. Meski tidak melihat langsung proses mencetak adonan dan memanggang, kami tetap merasa antusias. Melihat alat-alat tradisional dan mendengar penjelasan langsung tentang proses pembuatannya membuat kami lebih menghargai setiap gigitan wingko yang manis dan lembut itu.

Kami sempat duduk di ruang tengah dan dipersilakan mencicipi wingko yang sudah matang. Saya mengambil sepotong wingko hangat yang masih tersisa dari produksi pagi. Ketika menggigitnya, terasa sekali perbedaan dari wingko-wingko yang biasa saya temui di toko oleh-oleh. Rasanya gurih, tidak terlalu manis, dan yang paling menonjol adalah tekstur padat yang lembut di lidah. Bukan wingko yang rapuh atau terlalu keras, tapi pas. Wajar saja banyak orang yang memilih wingko Cap Spoor Lokomotif sebagai oleh-oleh andalan dari Cepu.

Sambil menikmati wingko, saya berbincang dengan beberapa peserta tour lain. Mereka mengakui pengalaman ini sungguh istimewa. Dari sejarah, arsitektur, sampai makanan tradisional semuanya menjadi satu paket yang memperkaya wawasan dan cinta terhadap kota sendiri.
Saya tahu cerita di balik makanan ini. Bukan sekadar jajanan pasar, tapi simbol kerja keras, warisan turun-temurun, dan komitmen menjaga kualitas dalam kesederhanaan.

Tour hari itu ditutup dengan foto bersama di depan rumah produksi. Di balik kehangatan wingko yang kami nikmati, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan dan kesetiaan pada tradisi. Saya pulang dengan hati penuh rasa bangga. Cepu bukan hanya punya sejarah besar di masa lalu, tapi juga punya warisan kuliner.

Loji 10 Saksi Sejarah

Karya :Gutamining Saida 
Suasana pagi di Cepu cerah. Saya dan peserta lainnya sudah berkumpul di titik awal Walking Tour yang kali ini mengangkat tema sejarah perkeretaapian, dengan lokasi utama di Komplek Spoorweg Tjepoe 1902. Dari awal saya sudah merasa antusias, namun ternyata pengalaman ini jauh lebih memukau dari yang saya bayangkan. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Loji 10, sebuah komplek perumahan kuno peninggalan PJKA kini dikenal sebagai PT KAI.

Mengapa disebut Loji 10? Menurut penjelasan dari narasumber lokal yang sudah lama mengamati sejarah kawasan ini, penamaan “Loji” diambil dari bahasa Belanda logie yang berarti rumah penginapan atau asrama, dan angka 10 mengacu pada nomor urut rumah dalam deretan komplek yang luas itu. Loji 10 dulunya digunakan sebagai tempat tinggal para pegawai PJKA, termasuk masinis, petugas sinyal, dan staf lainnya yang bekerja di sekitar rel kereta api. Kawasan ini merupakan bagian penting dari sistem perumahan dinas pada zaman kolonial, yang dibangun untuk mendukung operasional kereta api di wilayah Cepu.

Begitu sampai di depan Loji 10, saya langsung terpukau. Meski telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, rumah ini masih tampak kokoh dan terawat. Temboknya tebal, catnya memang sudah mulai memudar di beberapa bagian, tapi tak sedikit pun terlihat retak. Gentengnya masih asli, berwarna merah tua, khas genteng buatan zaman dulu yang tidak mudah lapuk. Bangunannya tampak sederhana dari luar, namun menyimpan banyak cerita dan nilai arsitektur yang tinggi.

Narasumber kami menjelaskan bahwa di komplek ini, secara umum ada tiga tipe rumah. Masing-masing tipe memiliki model dan ukuran berbeda, menyesuaikan dengan jabatan atau fungsi pegawai yang menempatinya. Loji 10 sendiri tergolong tipe menengah cukup luas, namun bukan yang paling besar. Yang khas dari semua tipe rumah ini adalah adanya lorong penghubung antara rumah utama dengan bangunan belakang.

Lorong ini bukan sekadar koridor biasa. Di masa lalu, lorong ini digunakan untuk menghubungkan ruang utama tempat para pegawai dan keluarganya tinggal dengan bagian belakang yang difungsikan sebagai gudang dan dapur. Dalam beberapa rumah, lorong ini juga menjadi jalur aktivitas pelayan atau pembantu rumah tangga agar tidak mengganggu tamu atau penghuni rumah yang sedang berada di ruang depan. Saat saya melewati lorong itu, suasananya sunyi, dingin, dan memancarkan aura sejarah yang begitu kuat.

Memasuki ruang utama Loji 10, saya semakin kagum. Ruang tamunya luas dengan ventilasi yang baik. Yang menarik perhatian saya adalah dua kamar utama yang terletak di sisi kanan dan kiri ruang utama. Letaknya simetris dan menunjukkan perencanaan yang cermat dari para arsitek zaman kolonial. Kamar-kamar ini memiliki jendela yang besar dan tinggi, memungkinkan cahaya alami masuk dengan maksimal. Ventilasinya luar biasa.

Jendelanya istimewa. Terdiri dari dua lapis, bagian dalam menggunakan kaca bening, sementara bagian luar menggunakan semacam kisi-kisi yang biasa disebut angin-angin sebuah elemen bangunan tradisional yang fungsional sekaligus estetis. Ketika saya berdiri di dekat jendela, saya bisa merasakan betapa cermatnya orang zaman dulu membangun rumah  memperhatikan arah angin, sinar matahari, serta menjaga sirkulasi udara tetap baik agar penghuni tetap nyaman meski tanpa pendingin udara.

Loji 10 tidak hanya bicara soal fisik bangunan. Ia juga menyimpan kisah manusia. Bayangkan saja, di tahun 1902 saat rumah ini pertama kali dibangun, para pekerja kereta api dari berbagai daerah datang dan menetap di sini. Mereka hidup berdampingan, bekerja keras menjaga ketepatan jadwal kereta, memastikan jalur tetap aman, dan menjalankan roda transportasi di masa penjajahan. Rumah ini menjadi saksi bisu segala tawa, tangis, perpisahan, dan perjuangan mereka.

Di sela-sela penjelasan, beberapa warga sekitar ikut bercerita. Salah satu ibu bercerita bahwa dulu ayahnya adalah masinis dan tinggal di Loji yang tak jauh dari Loji 10. Ia masih ingat bagaimana suara peluit kereta menjadi musik pagi hari, dan bagaimana para anak-anak kecil bermain di pekarangan sambil melihat lokomotif tua lewat dengan gagahnya.

Kini, meski fungsinya telah berubah, keberadaan Loji 10 tetap menjadi magnet bagi mereka yang ingin belajar sejarah. Rumah ini menjadi simbol ketahanan, bukti bahwa bangunan yang dibuat dengan perhitungan matang akan terus berdiri melawan waktu. Beberapa bagian rumah memang telah diperbaiki, namun keaslian struktur utama tetap dipertahankan. Bahkan gentengnya masih sama seperti saat pertama kali dipasang lebih dari satu abad lalu.

Walking tour ini benar-benar membuka mata saya. Sebagai warga Cepu, saya merasa terharu sekaligus bangga. Ternyata kota kecil ini menyimpan sejarah besar, dan salah satunya hidup dalam sunyi di balik tembok tua seperti Loji 10. Saya berharap, rumah-rumah bersejarah seperti ini akan terus dirawat dan dijaga, bukan hanya sebagai bangunan fisik, tapi sebagai warisan pengetahuan dan budaya yang tak ternilai.
Cepu, 3 Agustus 2025 

Sabtu, 02 Agustus 2025

Langkah Kecil Menyusuri Jejak Sejarah

Karya : Gutamining Saida 
Empat hari lalu, secara tidak sengaja saya melihat sebuah unggahan di media sosial yang langsung menarik perhatian saya. Judulnya sederhana namun menggugah rasa ingin tahu. Cepu Walking Tour di Komplek Spoorweg Tjepoe 1902. Tidak banyak penjelasan yang disematkan dalam unggahan tersebut, hanya informasi dasar tentang waktu kegiatan, titik kumpul, biaya pendaftaran dan tentunya rute sejarah yang akan ditelusuri bersama. Tapi entah mengapa, hati saya langsung tergerak. Tanpa berpikir panjang, saya memutuskan untuk ikut.

Sebagai warga Cepu yang sudah cukup lama tinggal di sini, saya menyadari ada begitu banyak hal tentang kota ini yang belum saya ketahui. Cepu bukan hanya sekadar tempat tinggal, ia punya sejarah panjang, jejak-jejak kolonial, rel kereta tua, bangunan-bangunan berarsitektur Eropa, dan tentu saja cerita-cerita rakyat yang masih terselip di lorong-lorong waktu. Sayangnya, saya sendiri belum pernah benar-benar menyusurinya secara khusus. Selama ini hanya mendengar sepintas, atau sekadar lewat di depan bangunan-bangunan tua tanpa sempat bertanya, siapa yang membangunnya, apa fungsinya dulu, dan mengapa bisa ada di Cepu?

Dengan tekad yang kuat, saya mendaftarkan diri. Saya tidak peduli akan pergi dengan siapa, apakah saya kenal peserta lain atau tidak. Masa bodoh dengan rasa canggung atau khawatir merasa sendirian. Tujuan saya jelas yaitu menambah wawasan, menyentuh kembali sejarah yang selama ini terasa jauh padahal dekat, dan yang paling penting, menyatu sejenak dengan warisan masa lalu kota yang saya huni.

Titik kumpul kegiatan berada di rumah Mas Janu, yang ternyata menjadi salah satu inisiator kegiatan ini. Alamat rumahnya dikirimkan melalui Google Maps dan langsung saya tandai. Rencana kegiatan dimulai pukul 08.15 pagi, dan saya pun berangkat dari rumah lebih awal. Langit pagi Cepu kala itu cerah, sedikit berawan, seolah mendukung niat baik para peserta yang hendak menyusuri jejak sejarah.

Sesampainya di rumah Mas Janu, saya mendapati sudah ada beberapa orang berkumpul di sana. Sebagian saling mengenal, ada yang membawa kamera, ada juga yang tampak baru pertama kali mengikuti acara serupa. Suasananya santai, penuh senyum, dan yang paling penting yaitu penuh semangat ingin tahu.

Setelah sambutan singkat dan pembagian rute, kami mulai berjalan menyusuri Loji sepuluh lanjut menyusuri kawasan yang dulunya menjadi pusat kehidupan rel kereta di Cepu. Kami diperkenalkan pada Spoorweg Tjepoe 1902, sebuah komplek tua peninggalan masa kolonial Belanda yang masih berdiri gagah walau termakan usia. Di sinilah jalur kereta dulu menghubungkan Cepu dengan kota-kota penting lainnya. Relnya masih ada, beberapa bangunan stasiun kecil, gudang logistik, serta rumah-rumah dinas yang masih menyisakan aura masa lalu.

Pemandu kami menjelaskan dengan penuh antusias. Katanya, Cepu pernah menjadi salah satu pusat penting transportasi dan logistik karena letaknya yang strategis. Apalagi dengan ditemukannya sumber minyak bumi di kawasan ini, peran Cepu semakin vital dalam pergerakan ekonomi pada masa kolonial. Tak heran jika pemerintah Belanda membangun jaringan kereta api untuk mendukung distribusi hasil bumi dan minyak dari sini.

Kami juga melewati rel tua yang sebagian masih digunakan, dan sebagian lainnya sudah menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu. Di beberapa titik, pemandu menunjukkan bekas-bekas pemukiman warga Belanda, kantor administrasi kereta api, serta menara air yang dulunya digunakan untuk mengisi lokomotif uap. Di sepanjang perjalanan, saya merasa seolah sedang melintasi lorong waktu. Suasana hening sesekali diselingi suara burung, atau obrolan ringan para peserta yang terkagum-kagum melihat betapa kayanya sejarah kota ini.

Sepanjang kegiatan, saya merasa seperti kembali menjadi anak sekolah. Rasa ingin tahu saya tumbuh kembali. Saya mencatat, memotret, dan menyimak penjelasan dengan penuh semangat. Betapa tidak, semua informasi ini begitu dekat dengan saya, namun selama ini nyaris terlupakan.

Waktu berjalan begitu cepat. Saat matahari mulai naik, kegiatan pun mendekati akhir. Kami kembali ke titik awal dengan membawa banyak cerita. Di akhir acara, kami sempat berdiskusi ringan dan berfoto bersama. Senyum terpancar dari wajah semua peserta bukan hanya karena telah menyelesaikan rute, tapi juga karena mendapat sesuatu yang lebih dari sekadar berjalan kaki yaitu ilmu dan pengalaman yang membuka mata.

Saya pulang dengan hati yang bahagia. Bahagia karena telah menepati tekad sendiri. Bahagia karena berani keluar dari zona nyaman dan bertemu dengan orang-orang baru. Dan tentu saja, bahagia karena kini saya lebih mengenal kota saya sendiri yaitu Cepu, dengan segala sejarah dan keindahannya.
Cepu, 2 Agustus 2025 

Jumat, 01 Agustus 2025

Jum'at Awal Bulan

Karya :Gutamining Saida 
Hari Jum’at menghadirkan rasa yang berbeda. Tak hanya awal bulan, bagi saya Jum’at adalah hari istimewa hari yang membawa berkah, kejutan, dan rasa syukur yang mendalam. Sebuah hari yang membawa sesuatu membuat hati saya tak berhenti tuk terus bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla. 

Saya pulang dari sekolah dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Pagi tadi cukup padat, dan tubuh rasanya ingin segera direbahkan. Sesampainya di rumah, saya  langsung menuju kamar untuk melepas lelah. Tapi begitu pintu kamar terbuka, langkah saya terhenti. Pandangan saya tertuju pada sesuatu di atas kasur. Sebuah paket rapi  terbungkus plastik warna hitam. Tatapan mata tak bisa lepas darinya. Saya tidak langsung membaca nama pengirim atau alamat tujuan. Tidak perlu. Hati saya sudah yakin ini pasti untuk saya.

Beberapa hari sebelumnya, Kak Wayan adalah guru, teman sekaligus orang yang selama ini mendampingi proses saya menulis memasang story di WhatsApp , menampilkan cuplikan halaman dari buku yang sangat saya tulis. Ia menulis, “Segera meluncur ke Jawa Tengah.” Saat itu saya hanya membalas dengan doa dan rasa harap. Kini, doa itu benar-benar sampai ke pangkuan saya.

Tanpa pikir panjang, saya ambil gunting dan duduk di tepi kasur. Tangan saya sedikit gemetar saat mulai membuka plastiknya. Saya tahu benar apa yang ada di dalam paket ini. Rasanya seperti membuka hadiah paling indah dari semesta.

Ketika lapisan pelindung terakhir saya buka, mata saya langsung berkaca-kaca. Di dalamnya, tergeletak dengan anggun, lima buah buku. Tapi bukan sembarang buku. Itu adalah buku kisah yang saya tulis sendiri setiap hari, selama berbulan-bulan sebagai catatan harian.

Buku itu memuat potongan-potongan perasaan, pengalaman, dan refleksi yang saya tuangkan setiap malam sebelum tidur. Ia lahir dari kejujuran, dari rasa lelah yang ingin diceritakan, dari kebahagiaan kecil yang tak ingin saya lupakan. Kini, semua kisah itu tak lagi sekadar catatan lepas di ponsel atau kertas-kertas buram semuanya telah berubah menjadi buku sungguhan yaitu buku saya.

Saya membalik-balik halamannya pelan-pelan. Di setiap kata, saya melihat kembali diri saya yang pernah menangis, tertawa, marah, dan bersyukur. Setiap cerita adalah bagian dari perjalanan saya. Membacanya kembali seperti berbicara dengan versi diri saya yang dulu.

Saya tahu, buku ini bukan buku komersial. Ia belum ada di toko-toko, belum dicetak massal. Tapi bagi saya, buku ini lebih berharga daripada bestseller manapun. Karena ia bukan ditulis untuk populer. Ia ditulis untuk menyembuhkan, untuk menguatkan, untuk mengingatkan saya bahwa saya pernah melalui semuanya dan tetap bertahan.

Saya teringat betapa panjang jalan menuju buku ini. Waktu yang saya curi di antara tugas rumah tangga, jam tidur yang saya kurangi demi menulis satu paragraf lagi, dan biaya yang saya sisihkan perlahan agar bisa mencetaknya dalam bentuk nyata. Semua saya lakukan tanpa target besar. Saya hanya ingin menepati janji kepada diri sendiri bahwa kisah-kisah saya tidak akan hilang begitu saja.

Ketika buku itu berada di tangan saya, semua lelah itu seakan berubah menjadi rasa syukur yang tak terukur. Saya memeluk buku itu erat, seakan sedang memeluk diri saya sendiri yang dulu pernah merasa ragu, tapi tetap memilih untuk melanjutkan menulis.

Saya mencatatkan momen ini di buku kecil yang masih kosong 
"Hari Jum’at saya menerima bukti bahwa usaha kecil jika dijaga konsistensinya, akan sampai juga ke tujuan. Buku ini bukan hanya kisah, tapi cermin perjalanan hati saya. Terima kasih Tuhan, telah memberi saya kekuatan untuk menyelesaikannya.”

Siang itu saya tidak tidur siang seperti biasanya. Saya duduk berlama-lama di kamar, membuka halaman demi halaman buku, membaca ulang kisah-kisah saya sendiri. Saya tertawa sendiri, terharu sendiri. Tak jarang saya meneteskan air mata bahagia.

Hari ini saya belajar satu hal yaitu kebahagiaan tidak harus besar atau mahal. Terkadang, kebahagiaan hadir dalam bentuk sederhana. Ketika kita berhasil menepati janji kepada diri sendiri. Ketika mimpi kecil kita akhirnya menjadi nyata. Dan ketika usaha yang diam-diam kita lakukan, berbuah sesuatu yang dapat kita peluk dan banggakan. Terima kasih untuk buku kisah yang akan terus hidup, meski waktu terus berjalan.
Cepu, 1 Agustus 2025