Minggu, 31 Agustus 2025
Rezeki Akhir Pekan
Jumat, 29 Agustus 2025
Pulpenku Pulpenmu
Karya: Gutamining Saida
Mengajar di kelas 7F selalu menghadirkan sesuatu yang baru, seolah setiap hari ada kejutan kecil yang tak pernah terduga. Kelas ini bukan hanya tempat berbagi ilmu, melainkan juga ruang penuh cerita yang bisa menjadi sumber ide tanpa habis. Saya merasa bersyukur, karena dari keseharian yang sederhana, selalu ada saja hal-hal kecil yang bisa diolah menjadi pengalaman berharga.
Kadang kala ide itu datang tidak menentu. Ada saat-saat ketika saya memiliki waktu luang, duduk dengan tenang, tapi tak satu pun ide melintas di kepala. Seakan semua menguap, pergi entah kemana. Tetapi anehnya, ketika saya benar-benar larut dalam aktivitas mengajar, justru dari sanalah ide bermunculan. Dari gelak tawa siswa, dari celoteh kecil di bangku belakang, dari kebersamaan yang tampak remeh tetapi menyimpan makna.
Hari itu, langkah saya membawa diri ke bangku belakang . Suasana cukup ramai, namun ada tiga siswi yang menarik perhatian saya. Mereka memanggil dengan suara heboh, “Bu… bu, lihat ini, saya bertiga copelan lagi.” Sontak saya menoleh, penasaran dengan apa yang mereka maksud. Ternyata, di tangan mereka bertiga tergenggam pulpen yang sama. Mereka adalah Naila, Calisa, dan Rena.
Saya tersenyum melihat kekompakan mereka. Kemarin saya sempat melihat mereka heboh karena sendok makan yang sama, dan kini mereka bersemangat menunjukkan pulpen yang seragam. Besok entah apa lagi yang akan mereka temukan untuk dijadikan alasan bercanda dan merasa dekat satu sama lain. Ada saja ide mereka untuk menunjukkan kekompakan. Duduk mereka saling berdekatan, seolah jarak tak pernah boleh memisahkan.
Satu bulan setengah bersama, rupanya cukup untuk membuat mereka saling mengenal, memahami, dan merasa cocok. Masa orientasi sudah lewat, masa adaptasi pun terlewati, dan kini mereka menemukan irama kebersamaan yang hangat. Ada rasa bahagia melihat siswa bisa menemukan sahabat sejati di sekolah. Di usia yang masih belia, persahabatan menjadi sesuatu yang sangat berarti.
Saya pun segera merogoh handphone. Rasanya sayang jika momen sederhana seperti ini dilewatkan begitu saja. Saya ingin mengabadikannya, bukan hanya untuk kenangan, tetapi juga untuk membuat mereka tersenyum bahagia. Saya arahkan kamera pada tangan mereka yang memegang pulpen sama. Klik! Tercapture sebuah foto penuh makna.
Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah cara jemari mereka menggenggam pulpen. Walau pulpen yang digunakan sama, namun gaya mereka berbeda. Ada yang menggenggam dengan erat, ada yang santai, ada pula yang kelihatan hati-hati. Perbedaan kecil itu justru menunjukkan bahwa meski mereka tampak kompak dari luar, mereka tetaplah pribadi unik dengan hati dan karakter masing-masing.
Saya tertegun sejenak. Pulpen itu seakan menjadi simbol. Simbol kebersamaan, namun juga simbol perbedaan. Sama-sama memegang benda yang identik, namun setiap orang tetap punya caranya sendiri. Seperti itulah hidup. Kita bisa bersama, saling dekat, saling berbagi, tetapi tetap menjadi diri sendiri dengan cara yang berbeda-beda.
Dari hal kecil itu, saya belajar lagi satu pelajaran baru dari kelas 7F. Bahwa tugas seorang guru bukan hanya mengajar ilmu dari buku teks, tetapi juga menjadi saksi perjalanan siswa dalam tumbuh dan berkembang. Menyaksikan bagaimana mereka menemukan sahabat, bagaimana mereka belajar mengekspresikan diri, bahkan bagaimana mereka menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana.
Saya pun menyadari, sering kali kita terlalu sibuk mencari momen besar untuk diceritakan, padahal momen kecil di kelas justru yang lebih mengena. Senyum riang, celoteh kecil, atau sekadar pulpen yang sama bisa menjadi cerita penuh makna. Ide itu tidak harus datang dari luar, karena sejatinya ide sudah ada di depan mata, di dalam ruang kelas, di wajah-wajah polos siswa yang penuh keceriaan.
Kelas 7F mengajarkan saya bahwa menjadi guru adalah perjalanan belajar tanpa akhir. Belajar sabar menghadapi tingkah mereka, belajar peka terhadap perasaan mereka, dan belajar mensyukuri setiap momen kebersamaan. Apa yang saya lihat hari ini mungkin terlihat sederhana, tetapi kelak bisa menjadi cerita yang menghangatkan hati saat dikenang kembali.
Naila, Calisa, dan Rena dengan pulpen seragam mereka telah memberikan saya ide baru. Ide tentang persahabatan, tentang kebersamaan, tentang perbedaan yang indah. Semoga mereka terus menjaga kekompakan itu, sambil tetap menghargai perbedaan di antara mereka. Karena di situlah letak keindahan persahabatan yang sejati.
Saya bersyukur bisa hadir di tengah mereka, bersyukur bisa belajar dari hal-hal kecil, dan bersyukur karena Allah masih memberi saya kesempatan menjadi bagian dari cerita kehidupan siswa-siswi saya. Ya, kelas 7F memang selalu penuh cerita, dan setiap cerita layak untuk disyukuri.
Cepu, 29 Agustus 2025
Zona Waktu
Zona Waktu di Indonesia
Zona Waktu |
Singkatan |
Selisih dengan GMT/UTC |
Daerah yang Termasuk |
Waktu Indonesia Barat |
WIB |
GMT +7 |
Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
sekitarnya |
Waktu Indonesia Tengah |
WITA |
GMT +8 |
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi
(seluruhnya) |
Waktu Indonesia Timur |
WIT |
GMT +9 |
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat |
Latihan Soal Zona Waktu Indonesia
- Indonesia
dibagi menjadi berapa zona waktu? Sebutkan!
- Daerah
manakah yang termasuk Waktu Indonesia Barat (WIB)?
- Jika
di Jakarta pukul 10.00 WIB, maka di Denpasar (WITA) pukul berapa?
- Jika
di Surabaya pukul 08.00 WIB, maka di Jayapura (WIT) pukul berapa?
- Sebutkan
3 provinsi yang termasuk ke dalam Waktu Indonesia Tengah (WITA)!
- Jika
di Kupang (NTT) pukul 14.00 WITA, maka di Medan (WIB) pukul berapa?
- Kota
Manado berada di zona waktu mana?
- Jika
di Ambon pukul 19.00 WIT, maka di Jakarta pukul berapa WIB?
- Apa
selisih waktu antara Papua dan Bali?
- Mengapa
Indonesia dibagi menjadi 3 zona waktu?
Belajar Dari Kehidupan
Karya: Gutamining Saida
Hidup sesungguhnya adalah sekolah panjang yang tidak pernah berhenti. Setiap hari, kita berada di dalam kelas kehidupan, dengan guru yang berganti-ganti wajah dan peristiwa. Ada kalanya guru itu berbentuk ujian, kadang berbentuk orang yang kita temui, kadang berbentuk kesedihan, kadang pula berbentuk kebahagiaan. Semua hadir untuk mengajari kita sesuatu.
Ketika kita sedang belajar sabar, biasanya Allah Subhanahu Wata'alla menghadirkan orang-orang yang keras kepala, orang-orang yang tidak mudah sejalan dengan pikiran kita. Mereka datang bukan untuk membuat hidup kita sulit, tetapi agar kita belajar menahan diri, mengendalikan amarah, dan melatih kesabaran yang sebenarnya. Sabar bukan berarti kita pasrah tanpa usaha, melainkan tetap berbuat baik meski hati diganggu oleh emosi. Dari mereka yang keras kepala, kita belajar untuk lebih tenang, lebih bijak, dan lebih memahami bahwa setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda.
Saat kita sedang belajar memaafkan, biasanya kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang menyakiti hati kita. Luka yang ditorehkan orang lain sering kali menjadi pengingat bahwa hati kita tidak sekuat yang kita kira. Justru dari rasa sakit itulah kita menemukan makna maaf yang sejati. Memaafkan bukan hanya demi orang lain, tetapi demi kebebasan hati kita sendiri. Dengan memaafkan, kita tidak lagi menjadi tawanan dari masa lalu, melainkan manusia merdeka yang mampu melangkah dengan hati ringan.
Ketika kita sedang belajar memberi, biasanya kita akan bertemu dengan orang-orang yang kekurangan. Mereka hadir untuk membuka mata kita bahwa apa yang kita miliki bukan hanya untuk kita nikmati sendiri. Ada hak orang lain dalam rezeki yang kita genggam. Memberi bukan membuat kita miskin, sebaliknya justru memperkaya hati kita. Dari orang yang kekurangan, kita belajar rasa syukur, belajar arti kepedulian, dan belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu didapat dari menerima, melainkan dari memberi.
Saat kita belajar rendah hati, Allah Subhanahu Wata'alla menghadirkan orang-orang yang merendahkan diri kita. Mungkin mereka mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, meremehkan usaha kita, atau tidak menghargai keberadaan kita. Dari peristiwa itu kita diuji: apakah kita tetap bisa bersikap rendah hati, atau justru ingin membalas dengan kesombongan. Kerendahan hati adalah cermin kebesaran jiwa. Orang yang rendah hati tidak akan kehilangan apa-apa, sebaliknya ia akan semakin dihargai, meski kadang tidak secara langsung.
Semua peristiwa dalam hidup adalah proses belajar. Tidak ada satupun kejadian yang hadir tanpa makna. Bahkan yang pahit sekalipun, jika kita sikapi dengan iman, akan meninggalkan hikmah yang indah. Kadang kita tidak langsung paham mengapa sesuatu terjadi, tetapi kelak, setelah waktu berjalan, kita akan sadar bahwa ternyata semua itu adalah bagian dari proses menjadikan kita lebih bijaksana.
Hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat sampai tujuan, tetapi siapa yang paling mampu memetik pelajaran dari setiap perjalanan. Menjadi murid kehidupan berarti siap belajar kapan saja, dari siapa saja, dan dalam kondisi apa saja. Terkadang, guru terbaik justru hadir dalam bentuk ujian yang berat. Kesedihan mengajarkan kita arti kesabaran, kehilangan mengajarkan kita arti menghargai, dan kegagalan mengajarkan kita arti berusaha tanpa lelah.
Kunci dari semua itu adalah bersyukur. Bersyukur bukan hanya ketika kita menerima nikmat yang menyenangkan, tetapi juga saat kita diberi ujian yang terasa berat. Karena dalam setiap kesulitan, selalu ada kebaikan yang Allah Subhanahu Wata'alla sisipkan. Bersyukur menjadikan hati kita tenang, menjadikan langkah kita ringan, dan menjadikan kita mampu melihat sisi positif dalam setiap kejadian.
Setiap hari, kita diberi kesempatan untuk memilih: apakah kita mau mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi, atau justru terjebak dalam keluhan dan penyesalan. Orang yang mau belajar dari kehidupan akan semakin dewasa, semakin bijak, dan semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata'alla. Sebaliknya, orang yang menolak belajar akan mudah terpuruk, merasa kecewa, dan kehilangan makna.
Semoga kita semua selalu sehat agar bisa terus belajar. Semoga kita diberi kekuatan untuk bermanfaat, sebab sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Semoga kita istiqamah dalam kebaikan, karena kebaikan itu tidak diukur dari sekali dua kali berbuat, melainkan dari konsistensi hati yang selalu berusaha mendekat kepada Allah Subhanahu Wata'alla.
Hidup memang tidak selalu mudah, tetapi selalu berharga. Setiap peristiwa, entah menyenangkan atau menyedihkan, adalah bagian dari kurikulum Allah Subhanahu Wata'alla untuk menjadikan kita pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih dewasa. Maka, jadilah murid kehidupan. Belajarlah bersyukur setiap hari, ambillah sisi positif dari setiap kejadian, dan percayalah bahwa setiap langkah kita selalu dalam bimbingan Allah Yang Maha Bijaksana.
Cepu, 29 Agustus 2025
Kamis, 28 Agustus 2025
Renungan QS. An-Nahl : 1
Karya: Gutamining Saida
“Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat datangnya.” (Q.S. An-Nahl:1)
Ayat ini adalah pengingat lembut dari Allah Subhanahu Wata'alla bahwa hidup kita berjalan bukan atas kendali kita, tetapi diatur dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaan oleh-Nya. Terkadang kita sebagai manusia begitu ingin tahu akhir dari sebuah kisah. Kita ingin segera menyaksikan hasil dari doa, usaha, atau penantian panjang. Kita ingin cepat sampai pada jawaban, pada kesembuhan, pada rezeki, pada jodoh, pada keberhasilan. Seolah hati kita gelisah jika belum mendapatkan kepastian. Namun, Allah menenangkan kita melalui ayat ini jangan meminta sesuatu itu disegerakan, karena ketetapan-Nya sudah ditulis, sudah ditentukan, dan akan datang pada saat yang paling tepat.
Bayangkan seorang petani yang baru saja menanam benih. Ia tidak bisa memaksa benih itu langsung berbuah di hari yang sama. Ia tidak bisa terburu-buru meminta panen, sebab tanah, air, sinar matahari, dan waktu adalah bagian dari rahasia proses. Jika dipaksakan, hasilnya tidak akan sempurna. Demikian pula dengan hidup kita. Allah sedang menumbuhkan sesuatu yang terbaik, meskipun kita tidak selalu melihatnya dengan mata telanjang.
Sering kali kita bertanya dalam hati: “Kapan pertolongan Allah datang? Kapan doa saya dijawab? Kapan rasa sakit ini hilang? Kapan saya bisa merasakan bahagia yang saya nantikan?” Pertanyaan-pertanyaan itu wajar, karena kita manusia yang lemah, yang ingin segera keluar dari gelap menuju terang. Ayat ini mengingatkan bahwa ketetapan Allah Subhanahu Wata'alla itu pasti datang. Hanya saja, waktunya bukan ditentukan oleh keinginan kita, melainkan oleh hikmah dan ilmu Allah yang jauh melampaui pengetahuan kita.
Ketika kita memaksa Allah Subhanahu Wata'alla untuk mempercepat sesuatu, sebenarnya kita sedang mengukur kehidupan dengan kacamata sempit kita. Kita merasa tahu apa yang terbaik, padahal Allah-lah yang paling mengetahui isi hati, jalan hidup, dan masa depan kita. Mungkin sesuatu yang kita minta segera ternyata belum pantas untuk kita terima. Mungkin Allah Subhanahu Wata'alla menundanya agar hati kita semakin matang, iman kita semakin kuat, dan kita belajar arti kesabaran.
Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah terlambat. Tidak ada satupun ketetapan-Nya yang keliru. Semua akan hadir tepat pada waktunya, seperti matahari yang selalu terbit sesuai jadwal, seperti bulan yang selalu berganti fase. Bahkan ketika hati kita terasa berat karena menunggu, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'alla sedang melatih kita untuk percaya. Allah ingin kita menyambut setiap takdir bukan dengan tergesa-gesa, melainkan dengan iman, sabar, dan tenang.
Setiap orang memiliki “waktu Allah”-nya sendiri. Ada yang cepat menemukan jawabannya, ada pula yang harus melewati bertahun-tahun penantian. Ada yang diberi jalan lapang segera, ada yang harus meniti jalan terjal dahulu. Tapi semuanya tidak ada yang sia-sia. Dalam setiap detik penantian, Allah Subhanahu Wata'alla menitipkan hikmah yang luar biasa. Ia sedang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan sekadar pada hasil, melainkan pada perjalanan yang ditempuh dengan tawakal.
Cobalah kita renungkan jika semua doa kita langsung dikabulkan seketika, apakah kita masih mau berdoa dengan penuh harap? Jika semua yang kita mau langsung datang tanpa proses, apakah kita masih mau belajar sabar? Bukankah justru karena adanya penundaan itulah hati kita ditempa? Bukankah karena adanya ujian, iman kita bertambah kuat?
Ketetapan Allah Subhanahu Wata'alla bukan untuk disegerakan, tetapi untuk disambut. Disambut dengan lapang dada, dengan keyakinan bahwa yang datang dari Allah Subhanahu Wata'alla selalu baik, meski wujudnya kadang tidak sesuai dengan bayangan kita. Kadang kita meminta hujan, padahal Allah tahu tanah kita butuh matahari. Kadang kita ingin kesenangan segera, padahal Allah Subhanahu Wata'alla tahu jiwa kita sedang ditempa melalui kesulitan.
Hidup bukan sekadar tentang cepat atau lambat, melainkan tentang tepat. Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah salah dalam memilihkan waktu untuk hamba-Nya. Saat kita menunggu dengan sabar, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'alla sedang menyiapkan sesuatu yang indah, bahkan jauh lebih indah dari yang kita doakan.
Maka, berhentilah tergesa-gesa ingin tahu akhir cerita. Percayalah bahwa Allah Subhanahu Wata'alla sedang menulis kisah terbaik. Jika kita beriman kepada ketetapan-Nya, hati kita akan tenang meski jalan masih panjang. Kita akan belajar bersyukur meski doa belum terjawab sepenuhnya. Kita akan tetap optimis meski ujian masih terasa berat.
Ingatlah, doa kita tidak pernah sia-sia. Ia hanya punya tiga kemungkinan: segera dikabulkan, disimpan untuk waktu yang tepat, atau diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Jadi, jangan pernah merasa kecewa jika belum melihat hasilnya sekarang. Karena Allah Subhanahu Wata'alla sudah berjanji: “Ketetapan Allah pasti datang.”
Mari kita sambut setiap takdir dengan iman. Jangan biarkan hati kita goncang hanya karena waktu terasa lama. Biarkan keyakinan menuntun langkah kita, sebab janji Allah Subhanahu Wata'alla itu pasti, dan waktunya selalu tepat.
Cepu, 29 Agustus 2025
Saat Sulit Menyapa
Rabu, 27 Agustus 2025
Karya Siswa Kelas 7G Esmega
Karya: Gutamining Saida
Kamis pagi, udara di sekolah masih terasa segar. Burung-burung kecil terdengar berkicau di pepohonan halaman sekolah, sementara anak-anak kelas 7 sudah mulai bergerak menuju ruang kelas masing-masing. Hari itu adalah hari yang selalu saya tunggu, hari Kamis. Bukan hanya karena ada agenda piket yang membuat saya bisa berkeliling dan berinteraksi dengan banyak siswa, tetapi juga karena saya punya kesempatan khusus untuk lebih dekat dengan kelas 7G. Kelas yang selalu memberi warna berbeda dalam perjalanan saya sebagai guru.
Kelas 7G adalah kelas yang istimewa. Mereka mungkin bukan kelas yang paling mudah diatur, bahkan bisa dibilang paling menantang. Ada anak yang sangat sulit diatur, ada yang banyak bicara dan tak pernah kehabisan topik, ada pula yang begitu pendiam hingga seolah-olah menutup diri. Semua sifat dan karakter itu bercampur menjadi satu, seperti mozaik kehidupan yang indah meski tak selalu rapi. Saya paham, mereka masih berada dalam masa penyesuaian. Peralihan dari sekolah dasar ke sekolah menengah bukanlah hal yang ringan. Ada yang cepat beradaptasi, ada pula yang butuh waktu lebih lama.
Ketika saya sedang berjalan menyusuri lorong-lorong, tiba-tiba saya berpapasan dengan beberapa siswa yang keluar kelas sambil membawa scrabbook dan pensil. Dengan penasaran saya menghentikan langkah.
“Eh, mau ke mana ini?” tanya saya sambil tersenyum.
“Mau menggambar, Bu,” jawab salah satu dari mereka dengan penuh semangat.
“Oh begitu, coba mana gambarmu? Ibu ingin lihat,” pinta saya.
Ada yang dengan percaya diri langsung memperlihatkan gambar mereka. Wajah mereka tampak berbinar, seakan-akan karya itu adalah bagian dari diri mereka yang ingin dibanggakan. Dia adalah sang ketua kelas yang biasa disapa Jason Namun ada pula yang menunduk malu, menutup lembarannya dengan cepat karena merasa gambar mereka belum sempurna.
“Tidak apa-apa kalau masih kurang bagus,” saya menenangkan mereka. “Menggambar itu butuh latihan. Semakin sering kalian mencoba, semakin indah hasilnya. Semangat, ya!”
Mendengar itu, sebagian dari mereka tersenyum malu-malu, sebagian lagi tampak semakin bersemangat. Saya lalu meminta izin untuk mengambil foto. “Ibu boleh foto kamu dengan gambarmu? Bagus sekali, lho,” ujar saya. Mereka mengangguk, dan momen itu menjadi kenangan kecil yang berharga.
Saya kemudian melangkah mencari siswa lain. Ternyata ada yang memilih menggambar di sisi lapangan. Mereka duduk bersila di bawah rindangnya pohon, sambil sesekali bercanda dengan temannya. Ada juga yang duduk di dekat taman sekolah, tampak serius menorehkan pensil di atas kertas putih, sesekali berhenti untuk mengamati bunga dan pepohonan sebagai objek inspirasinya. Suasana begitu hidup, penuh dengan energi khas remaja yang tak bisa dipaksa diam terlalu lama.
Di kelas 7G, saya mengenal satu per satu siswanya dengan ciri khas mereka masing-masing. Ada Farel, yang hampir selalu jadi pusat perhatian. Posturnya tegap, suaranya lantang, dan tingkahnya sering membuat kelas heboh. Kadang ulahnya membuat saya harus menegur, tapi dalam hati saya tahu, tanpa Farel suasana kelas akan terasa hambar. Ia adalah “mesin penggerak” keceriaan kelas.
Lalu ada Alvino, siswa berpostur kecil tapi punya semangat besar. Meski tubuhnya mungil dibandingkan teman-teman lain, keberaniannya untuk mengutarakan pendapat patut diacungi jempol. Alvino sering tampak tidak serius mendengarkan, tapi di balik itu ia juga punya selera humor yang bisa mencairkan suasana.
Ada juga anak yang cerewet, selalu punya cerita baru untuk dibagikan. Kadang cerita itu tak ada hubungannya dengan pelajaran, tapi justru dari situlah keakraban di kelas terjalin. Suaranya yang riang seolah menjadi latar musik di ruang kelas.
Sementara itu, anak yang suka menggambar punya dunia sendiri. Ia bisa duduk berjam-jam dengan pensil dan buku gambar, tenggelam dalam coretan dan imajinasi. Saat hasil gambarnya saya lihat, ada kebanggaan terselip di wajahnya meski terkadang ia berusaha menutupi dengan malu-malu. Saya selalu bilang padanya, “Teruslah menggambar. Itu adalah bakat kalian .”
Ada pula siswa-siswa pendiam. Mereka lebih banyak diam, duduk di pojok kelas, sesekali mencatat dengan rapi. Meski tidak banyak bicara, saya percaya dalam diam mereka ada ide dan perasaan yang dalam. Tugas saya adalah memberi ruang agar mereka berani mengungkapkan diri.
Beberapa siswa mendekati saya hari itu, sambil tersenyum nakal. “Bu, nanti tolong tulis cerita tentang kelas kami ya. Kami pengen ada cerita khusus tentang 7G.”
Saya tertegun sejenak, hati saya hangat mendengar permintaan itu. Betapa polos namun penuh makna. Mereka ingin dikenang, ingin diakui keberadaannya. Saat itulah saya semakin yakin bahwa kelas 7G bukan sekadar kelas dengan segala tantangan, tetapi juga kelas yang menjadi penyemangat saya untuk terus berkarya.
Mengajar memang bukan hanya soal menyampaikan materi. Ada nilai lain yang lebih besar, yaitu memahami jiwa anak-anak yang sedang bertumbuh. Saya sering melihat wajah-wajah mereka saat jam pelajaran dimulai. Ada yang masih mengantuk, ada yang penuh semangat, ada yang kebingungan. Setiap tatapan mata menyimpan cerita berbeda. Tugas sayalah sebagai guru sekaligus wali kelas untuk menjembatani cerita itu agar bisa bertemu dalam satu ruang pembelajaran yang bermakna.
Di balik kenakalan mereka, saya tahu ada keinginan untuk dihargai. Di balik canda mereka, ada kebutuhan untuk didengar. Bahkan di balik diam mereka, ada harapan agar ada yang mau mengerti tanpa harus banyak kata.
Kamis ini saya belajar sesuatu dari 7G. Bahwa kreativitas bisa tumbuh di mana saja, bahkan di sela-sela obrolan ringan di bawah pohon atau di taman sekolah. Bahwa rasa percaya diri butuh dibangun dengan apresiasi sederhana, seperti pujian tulus atau sekadar mengambil foto karya mereka. Yang terpenting, bahwa sebuah kelas bukan hanya kumpulan siswa, melainkan keluarga kecil yang sedang belajar tumbuh bersama.
Ketika bel pergantian jam berbunyi, anak-anak berhamburan. Ada yang masih sibuk menyelesaikan gambarnya, ada yang segera berlari ke kelas. Saya tersenyum melihat mereka. Meski lelah, ada kebahagiaan tersendiri setiap kali berinteraksi dengan mereka. Saya merasa 7G adalah cermin semangat saya sebagai guru: penuh warna, penuh tantangan, tetapi selalu memberi alasan untuk tetap berjuang.
Cepu, 28 Agustus 2025
Kehebohan di Kelas 7A Esmega
Karya: Gutamining Saida
Suasana kelas 7A terasa begitu cerah ceria. Udara pagi yang masuk melalui jendela membuat semangat anak-anak semakin bertambah. Saya memasuki kelas dengan membawa semangat serta beberapa gambar yang sudah saya siapkan sebagai media pembelajaran. Seperti biasa, saya menyapa mereka dengan senyum, lalu mengucapkan salam. Sontak mereka menjawab dengan kompak, meskipun ada beberapa yang suaranya lebih nyaring dibanding yang lain.
Materi hari itu adalah Lambang
Negara Indonesia. Saya mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana,
“Anak-anak, tahukah kalian, apa lambang negara kita?” Hampir semua mengangkat
tangan. Beberapa dengan lantang menjawab, “Garuda Pancasila, Bu!” Saya
mengangguk sambil tersenyum, lalu berkata, “Betul sekali. Hari ini kita akan
belajar lebih dalam tentang makna Garuda Pancasila.”
Saya tunjukkan gambar besar
lambang negara Indonesia di depan kelas. Mata anak-anak tertuju pada burung
garuda berwarna emas yang gagah, memegang pita bertuliskan Bhinneka Tunggal
Ika. Saya menjelaskan bahwa Garuda adalah burung yang melambangkan
kekuatan, kejayaan, dan kebesaran. Warna emas melambangkan kemuliaan.
Kemudian saya bertanya, “Siapa
yang tahu arti tulisan yang ada di pita itu?” Ada yang menjawab ragu-ragu,
“Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, Bu.” Saya tersenyum puas, “Benar sekali.
Itulah semboyan bangsa kita. Meskipun berbeda suku, agama, budaya, kita tetap
satu, yaitu bangsa Indonesia.”
Setelah itu, saya mengajak mereka
memperhatikan perisai di dada burung garuda. “Lihatlah perisai ini, anak-anak.
Inilah simbol Pancasila, dasar negara kita.”
Saya uraikan satu per satu
maknanya.
- Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lambangnya bintang emas di tengah perisai berlatar belakang hitam. Saya
jelaskan bahwa bintang berwarna emas melambangkan cahaya Tuhan, dan warna
hitam berarti keabadian. Anak-anak tampak mengangguk-angguk. Sudut Bintang
ada lima menunjukkan agama yang ada di Indonesia
- Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Simbolnya rantai emas dengan latar belakang merah. “Rantai ini tersusun
dari mata rantai berbentuk persegi dan lingkaran, melambangkan laki-laki
dan perempuan yang saling terhubung. Artinya, kita harus saling menghargai
sebagai sesama manusia.”
- Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Gambar
pohon beringin dengan latar putih. Saya menerangkan bahwa pohon beringin
melambangkan persatuan dan tempat berlindung bagi semua, sementara warna
putih berarti kesucian niat. Pohon yang kuat memiliki akar yang menghirup
udara dan air bisa tumbuh dan hidup lama.
- Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lambangnya
kepala banteng berlatar merah. Saya jelaskan bahwa banteng adalah hewan
yang suka berkumpul, suka tolong menolong melambangkan musyawarah.
- Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Simbolnya padi dan kapas dengan latar hijau. Saya terangkan
bahwa padi melambangkan pangan negara Indonesia bercorak agraris, kapas
melambangkan sandang, kebutuhan pokok semua orang. Warna hijau berarti
kemakmuran.
Saya juga menjelaskan bahwa
perisai berbentuk hati yang digaris tebal hitam melambangkan pertahanan bangsa.
Jumlah bulu di sayap garuda pun bukan secara kebetulan. 17 helai di setiap sayap, 8 helai
di ekor, 19 helai di bawah perisai, dan 45 helai di leher, yang jika dirangkai
menjadi 17 Agustus 1945, tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.
Anak-anak tampak kagum. Ada yang
berbisik ke temannya, “Ooh… ternyata jumlah bulu juga ada artinya ya.” Saya
tersenyum melihat rasa ingin tahu mereka.
Untuk menambah semangat, saya
memberi mereka tugas menggambar burung garuda. “Sekarang, keluarkan kertas
gambar kalian. Kita akan membuat karya masing-masing.” Begitu saya selesai
bicara, kelas seketika menjadi heboh. Ada yang langsung sigap mengambil pensil
dan penggaris, ada yang masih bingung harus mulai dari mana.
“Bu, saya belum pernah menggambar
Garuda sebelumnya. Susah nggak, ya?” tanya seorang siswa. Saya menenangkan,
“Tidak apa-apa, Nak. Mulailah dari bentuk sayapnya, nanti tinggal ditambahkan
perisainya.” Ada juga yang berseru, “Asik! Saya sudah pernah menggambar ini
waktu SD, Bu. Jadi lebih gampang.” Anak-anak yang sudah terbiasa tampak
membantu teman di sebelahnya.
Suasana kelas menjadi hidup.
Terdengar suara pensil yang menggores kertas, sesekali disertai tawa kecil
ketika hasil gambar ada yang tidak sesuai. “Waduh, kepala garudanya jadi mirip
bebek, Bu!” kata seorang siswa sambil tertawa, membuat teman-temannya ikut
tergelak. Saya pun ikut tersenyum, “Namanya juga proses belajar, nanti bisa
diperbaiki.”
Ada juga siswa yang sangat
serius, wajahnya menunduk tanpa banyak bicara. Ia sibuk menambahkan detail
perisai dengan warna yang sesuai. “Wah, rapinya. Kamu pasti suka menggambar,
ya?” Saya memuji. Ia hanya tersenyum malu-malu.
Setelah beberapa saat, satu per
satu mereka menunjukkan hasil karyanya. Ada yang sudah berwarna lengkap dengan
detail pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Ada juga yang baru selesai
bentuk kasar burungnya saja. Saya apresiasi semuanya, karena usaha mereka
adalah yang terpenting.
Menjelang akhir pelajaran, saya
minta beberapa anak maju untuk menunjukkan hasil gambar mereka ke depan kelas.
Anak-anak lain memberi tepuk tangan meriah. Saya katakan, “Ingatlah, anak-anak,
Garuda Pancasila bukan sekadar gambar. Ia adalah lambang persatuan dan jati
diri bangsa kita. Dengan memahaminya, kita bisa lebih mencintai Indonesia.”
Sebelum bel berbunyi, saya
menutup pelajaran dengan menyimpulkan kembali makna lambang negara dan
mengingatkan mereka untuk selalu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Kelas 7A benar-benar terasa
hidup. Saya melihat betapa antusias dan hebohnya mereka ketika belajar, apalagi
saat menggambar burung garuda. Ada kebanggaan tersendiri dalam hati saya,
karena mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengekspresikannya lewat
karya. Saya berharap pengalaman ini akan menjadi kenangan indah yang
menumbuhkan rasa cinta tanah air di hati mereka sejak dini.
Cepu, 28 Agustus 2025
Senin, 25 Agustus 2025
Tiga "S" di kelas 8F
Hari ini saya mendapat jadwal
mengajar IPS di kelas 8F pada jam terakhir. Seperti biasa, saya sudah
menyiapkan materi dengan matang, yaitu tentang iklim dan cuaca. Materi ini
sebenarnya sudah pernah mereka dengar di kelas sebelumnya, tetapi kali ini saya
ingin memperdalam pemahaman mereka tentang perbedaan, faktor, dan manfaatnya
dalam kehidupan sehari-hari.
Saat saya masuk ke kelas, suasana
masih cukup segar. Anak-anak menyambut dengan salam dan senyum, lalu duduk rapi
menyiapkan buku. Saya membuka pelajaran dengan tanya jawab singkat tentang
perbedaan cuaca dan iklim. Ada beberapa siswa yang menjawab dengan tepat, ada
juga yang masih keliru sehingga menjadi kesempatan saya untuk meluruskan.
Pelajaran berjalan lancar, saya
menjelaskan bahwa cuaca adalah keadaan udara pada waktu singkat dan tempat tertentu, sedangkan iklim adalah
rata-rata cuaca dalam jangka waktu lama dan tempat yang luas. Saya beri contoh
bahwa pagi hari bisa cerah, siang mendung, sore hujan, itulah cuaca. Tetapi
Indonesia secara umum memiliki iklim tropis karena terletak di sekitar garis
khatulistiwa.
Awalnya mereka memperhatikan
dengan baik. Namun seiring waktu, apalagi karena ini jam terakhir, saya mulai
melihat tanda-tanda kelelahan. Ada yang merebahkan tubuh di meja, ada yang
bersandar sambil meletakkan kepala di atas tangan, bahkan ada yang terang-terangan
berkata, “Bu, saya sudah mulai ngantuk…” Saya tersenyum melihat tingkah mereka,
maklum, jam terakhir memang sering membuat siswa kurang bersemangat.
Tiba-tiba Rifki sang ketua kelas,
mengangkat tangan dan memanggil saya, “Bu, bu… kita ice breaking dulu biar
nggak ngantuk.” Saya berhenti sejenak, menatap kelas, lalu tersenyum. “Ada
benarnya juga ya,” jawab saya. Sontak beberapa siswa langsung bersorak kecil,
seolah sudah menantikan permainan yang bisa menyegarkan suasana.
Saya kemudian berkata, “Oke, kita
lakukan ice breaking 3 S.” Rifki dengan semangat menyahut, “Iya bu… 3 S itu
Salam, Sapa, Salim, kan?” Anak-anak lain tertawa mendengar jawabannya. Saya
menggeleng dan menjawab singkat, “Tidak, bukan itu.” Mereka semakin penasaran.
Saya pun menjelaskan, “S pertama
yaitu Sikut. Kalian pegang sikut teman di sebelah kalian.” Spontan
mereka bergerak, ada yang langsung meraih sikut temannya dengan cepat, ada yang
bingung karena duduk sendirian, sampai-sampai pindah kursi demi bisa ikut.
Suasana kelas langsung ramai dengan tawa dan kegembiraan.
Kemudian saya lanjutkan, “S kedua
yaitu Sakit. Kalian pegang perut seakan-akan sakit perut.” Hampir
seluruh siswa menunduk sambil meringis pura-pura kesakitan. Ada yang bahkan
sampai menambah suara, “Aduh, aduh, perutku sakit sekali, Bu…” Kelas pun pecah
dengan gelak tawa. Di tengah keriuhan, Monica tiba-tiba mengangkat suara, “Bu,
bu… pegang kepala aja sambil geleng-geleng, kayak orang pusing.” Saya pun
tertawa dan berkata, “Ooo boleh, usul diterima ya Monica.” Anak-anak bertepuk
tangan setuju.
Lalu saya menutup dengan
instruksi terakhir, “S ketiga yaitu Sikat. Kalian ambil pulpen di meja
masing-masing, lalu berebut dengan teman di sebelah kalian.” Dengan semangat
mereka mengacungkan pulpen masing-masing. Ada yang cepat sekali merebut, ada
yang sengaja pura-pura kalah, ada yang penggarisnya patah menjadi dua dan ada
pula yang tertawa terpingkal-pingkal karena terjatuh pulpen dari tangannya.
“Ya, Bu…” jawab mereka kompak,
tanda siap mengikuti aturan permainan. Saya memastikan semua sudah paham, lalu
memulai putaran pertama. Dengan wajah penuh senyum, mereka mengikuti setiap
instruksi. Saya lihat tidak ada yang keliru, karena mereka khawatir jika salah
akan saya suruh maju ke depan. Saya sengaja memberi sedikit tantangan itu agar
mereka fokus dan benar-benar konsentrasi.
Permainan saya ulang untuk
putaran kedua. Hasilnya tetap sama yaitu semua siswa mengikuti dengan baik,
tidak ada yang salah. Mereka tampak puas dan senang. Suasana kelas yang tadinya
lesu kini berubah menjadi cerah dan penuh semangat. Saya pun merasa bahagia
melihat perubahan itu.
Setelah selesai dua putaran, saya
katakan, “Cukup ya, sekarang kita kembali belajar.” Mereka menjawab dengan
serempak, “Siap, Bu!” Saya kemudian melanjutkan materi tentang manfaat iklim
dalam kehidupan. Saya jelaskan bagaimana iklim tropis di Indonesia membuat
petani bisa menanam padi dua sampai tiga kali setahun, bagaimana iklim
memengaruhi jenis tanaman, perikanan, hingga kegiatan pariwisata.
Anak-anak mendengarkan dengan
lebih fokus. Beberapa bahkan mengajukan pertanyaan. Ada yang bertanya tentang
dampak perubahan iklim, ada juga yang mengaitkan dengan pengalaman di rumah
masing-masing. Saya merasa pembelajaran jadi lebih hidup setelah adanya ice
breaking tadi.
Tidak terasa waktu berlalu dengan
cepat. Tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara yaitu siswa diminta untuk mengambil jatah MBG
(Makan Bergizi Gratis). Suara itu menandakan bahwa pelajaran kami sudah
hampir selesai. Saya pun segera menutup pembahasan dengan kesimpulan, lalu
mengajak siswa mengucapkan salam penutup.
Mereka menjawab dengan kompak,
kemudian petugas segera bersiap untuk keluar kelas mengambil jatah MBG. Saya
tersenyum puas. Meski sempat lesu di jam terakhir, akhirnya pelajaran bisa
berjalan menyenangkan. Saya pun belajar bahwa terkadang hal sederhana seperti
ice breaking bisa mengembalikan energi siswa dan membuat pembelajaran lebih
bermakna.
Saya yakin anak-anak tidak hanya
belajar tentang cuaca dan iklim, tetapi juga mengalami sendiri bagaimana
suasana kelas bisa berubah menjadi lebih semangat hanya dengan sedikit
permainan. Itu adalah pengalaman berharga, baik bagi saya sebagai guru maupun
bagi mereka sebagai siswa.
Cepu, 24 Agustus 2025
Minggu, 24 Agustus 2025
Interaksi Antar Ruang
- Jelaskan arti urbanisasi, transmigrasi dan beri contohnya
- Apa saja akibat buruk urbanisasi di desa dan di kota!
- Mengapa terjadi arus urbanisasi setelah paska hari raya!
- Bagaimana peran masyarakat desa saat melihat keluarganya pergi merantau ke kota!
Kebahagiaan di Kelas 7F
Kualitas Manusia Indonesia
Sabtu, 23 Agustus 2025
Tersesat Yang Mengelitik
Sabtu Ceria di Kelas 7G
Karya: Gutamining Saida
Hari Sabtu selalu menjadi hari
yang dinanti oleh banyak orang. Bagi Sebagian orang, Sabtu adalah waktu
beristirahat, berkumpul bersama keluarga, atau sekadar melepas penat setelah
lima hari penuh aktivitas. Bagi saya sebagai seorang guru, Sabtu memiliki makna
yang berbeda. Hari itu adalah kesempatan terakhir di akhir pekan untuk
menanamkan ilmu, menyemai nilai, sekaligus menutup minggu dengan suasana
belajar yang menyenangkan bersama para siswa.
Siang itu, langit mendung tipis menyelimuti Kecamatan Cepu. Semangat saya tidak surut. Justru saya ingin memastikan bahwa meskipun Sabtu adalah akhir pekan. Anak-anak di kelas 7G tetap bisa menikmati pelajaran dengan hati yang gembira. Jadwal saya mengajar jatuh di jam terakhir, sebuah waktu yang biasanya penuh tantangan. Pada jam-jam seperti itu, anak-anak sering merasa lelah, pikirannya sudah berandai-andai pulang, atau sekadar ingin bermain bersama teman.
Saya melangkah ke kelas dengan
sebuah tekad yaitu bagaimana pun juga, pelajaran hari ini harus meninggalkan
kesan positif. Ketika saya memasuki kelas, para siswa tampak duduk dengan
beragam ekspresi. Ada yang masih bersemangat, ada yang terlihat menguap, bahkan
ada yang sibuk menggambar di buku catatannya. Saya tersenyum, lalu menyapa
mereka dengan suara hangat.
“Assalamualaikum, anak-anak! Hari ini hari apa?” tanya saya.
“Sabtu, Buuu!” jawab mereka
serempak.
“Nah, Sabtu itu istimewa. Kita
belajar sambil berbahagia, ya. Kalian siap?”
“Siap, Buuuuu!” teriak mereka
riuh, meski sebagian masih tampak setengah hati.
Hari itu saya mengajar mata pelajaran IPS. Bagi mereka, IPS adalah sesuatu yang baru. Saya pun menjelaskan dengan sederhana. “Anak-anak, hari ini saya membicarakan tentang iklim, cuaca. Mulai dari pengertian, faktor penyebab, dampak iklim terhadap kehidupan manusia dan manfaat iklim. Beserta contoh di kehidupan sehari-hari.
Mereka mendengarkan, beberapa
tampak manggut-manggut, meski ada yang sudah mulai gelisah. Saya tahu, di jam
terakhir materi sepadat apa pun tidak akan sepenuhnya masuk ke dalam kepala
mereka. Maka saya sudah menyiapkan cara untuk menjaga semangat mereka. Sebuah ice
breaking sederhana yang saya beri nama Tiga Cinta.
Saya berdiri di depan kelas
dengan ekspresi penuh rahasia, lalu berkata, “Anak-anak, sekarang kita akan
bermain sebentar. Namanya permainan Tiga Cinta.”
Begitu mendengar kata cinta,
ruangan langsung riuh. Beberapa siswa berteriak, sebagian saling pandang dan
tertawa geli, ada juga yang bersiul nakal.
“Eeeee… jangan ge-er dulu,” saya
menimpali sambil terkekeh. “Tiga Cinta ini bukan untuk pacar. Cinta kita yang
paling penting itu ada tiga yaitu cinta untuk teman, cinta untuk orang tua, dan
cinta untuk Tuhan.”
Kelas mendadak hening sejenak,
lalu terdengar suara, “Ooooh…” bercampur tawa kecil. Saya tahu, mereka mulai
penasaran.
“Caranya begini,” saya lanjutkan
sambil memberi contoh. “Kalau saya bilang cinta kecil, kalian buat tanda
saranghae dengan jari tangan. Kalau saya bilang cinta sedang,
kalian gunakan kedua tangan membentuk lambang cinta untuk orang tua. Dan kalau
saya bilang cinta besar, kalian harus berpasangan dengan teman sebelah
lalu bersama-sama membentuk tanda cinta besar. Mengerti?”
“Ngertiiii, Buuuu!” jawab mereka
penuh semangat.
Permainan pun dimulai. Saya
berteriak, “Cinta kecil!” dan serentak mereka membuat simbol saranghae dengan
jari. Ada yang benar, ada yang salah arah, sehingga kelas pun pecah dengan
tawa.
Kemudian saya mengubah perintah,
“Cinta sedang!” Anak-anak buru-buru membentuk tanda cinta dengan kedua tangan.
Beberapa tampak masih kikuk, ada yang kebablasan masih menggunakan jari kecil,
hingga kembali terdengar gelak tawa.
Saat saya berteriak, “Cinta
besar!” suasana semakin riuh. Mereka saling berebut mencari pasangan, lalu
berpose membentuk tanda cinta besar. Ada yang berhasil, ada yang terlambat,
bahkan ada yang saling dorong karena berebut teman sebangku.
Salah seorang siswa salah kaprah,
ketika saya berkata “cinta kecil” malah membuat tanda “cinta besar” dengan
temannya. Spontan kelas meledak tertawa. Saya pun ikut tertawa, lalu berkata,
“Nah, kalau salah begitu, tandanya kalian masih butuh latihan cinta!”
Tawa mereka pecah, lepas tanpa
beban. Saya melihat wajah-wajah polos itu begitu ceria, jauh dari rasa kantuk
atau jenuh. Di momen itu saya merasa berhasil. Anak-anak bisa menikmati
pelajaran tanpa tekanan, meski jam terakhir di hari Sabtu.
Setelah beberapa putaran
permainan, saya menutup dengan refleksi. “Anak-anak, permainan tadi sederhana,
tapi ada maknanya. Cinta kecil untuk teman artinya kita harus selalu menyayangi
sesama, saling menolong, dan tidak boleh iri. Cinta sedang untuk orang tua
artinya kita harus berbakti, mendengarkan nasihat, dan membuat mereka bahagia.
Dan cinta besar untuk Tuhan artinya kita harus selalu bersyukur, taat
beribadah, dan menjaga hati.”
Mereka mendengarkan dengan
serius, meski masih menyeka air mata karena terlalu banyak tertawa. Saya bisa
melihat bahwa pesan itu tersampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Waktu hampir habis, saya pun
menutup pelajaran dengan senyum. “Sabtu ini kita sudah belajar IPS dengan
bahagia. Ingat, ilmu itu bukan hanya untuk dihafal, tapi juga untuk dihidupi.
Dan jangan lupa, tiga cinta tadi harus kalian bawa ke rumah.”
Mereka bertepuk tangan, beberapa
masih bercanda tentang siapa yang salah saat permainan tadi. Di balik canda
itu, saya yakin ada nilai yang tertanam di hati mereka.
Bagi saya, hari itu adalah bukti
bahwa belajar bisa menyenangkan, bahkan di jam terakhir sekalipun,
asalkan kita mampu mengemasnya dengan hati. Anak-anak bukan hanya butuh ilmu,
tetapi juga butuh pengalaman belajar yang membuat mereka tersenyum. Saya
bahagia bisa menjadi bagian dari senyum itu. Semoga menginspirasi pembaca.
Cepu, 23 Agustus 2025