Senyum Zeneta


Karya : Gutamining Saida 
Senin pagi, saya selesai memarkir motor, berjalan melewati koridor sekolah menuju ruang guru. Udara Senin terasa segar dan tenang, menyambut semangat baru setelah akhir pekan yang cukup menenangkan. Langkah saya  ringan, meski tumpukan pekerjaan sudah menanti. Di dekat tempat parkir menuju ruang guru, mata saya  menangkap sosok siswi yang sedang berjalan sendirian, dengan langkah pelan dan kepala tertunduk. Itu Zeneta, siswi kelas 7A.

Saya mempercepat langkah dan menyapanya lebih dulu, "Assalamualaikum, Zeneta!"
Ia mendongakkan kepala dan tersenyum tipis, lalu menyapa balik, “Bu Saida…” suaranya pelan, agak tertahan.
"Semangaaaat!" jawab saya  ceria, mencoba menyuntikkan energi positif di pagi yang masih muda itu. Tapi ia tidak melanjutkan langkahnya. Ia berhenti dan menatap saya  sebentar, lalu berkata lirih, “Saya sedih, Bu.”
Saya ikut berhenti, memperhatikan ekspresi wajahnya yang terlihat murung.
“Kenapa, Net?” tanya saya  lembut.
“Nilai matematika saya dapat sedikit,” ucapnya, masih dengan suara pelan.
Saya mencoba memahami perasaan kecewanya. “Memangnya berapa?”
“Empat puluh lima, Bu,” katanya pelan, seolah malu menyebutkan angka itu.
Refleks saya tertawa kecil dan menjawab spontan, “Merdeka!”

Seketika matanya membelalak, lalu senyum merekah di wajahnya. Lesung pipi di pipinya muncul, dan ia tertawa dengan lepas. Sambil tertawa ia berkata, “Bu Saida aneh…” lalu berlari kecil meninggalkan saya, meninggalkan tawa yang ringan dan menular.

Saya terdiam sejenak, menyadari satu hal yaitu pagi ini saya berhasil membuat Zeneta tersenyum kembali. Padahal beberapa hari lalu, sayalah yang justru membuatnya menangis.

Saat itu, saya memanggilnya ke ruang guru. Ada kesalahan dalam lembar jawab sumatif nya khususnya mata pelajaran IPS ia memberi tanda bukan tanda silang saat mengerjakan. Dengan lembut saya berusaha menjelaskan kesalahannya, tapi mungkin suasana ruang guru yang formal dan suasana tegang membuatnya merasa terpojok.

Ia menangis di hadapan saya. Saya tidak memarahinya, tapi mungkin cara saya memberi tahu belum cukup menenangkan. Zeneta adalah tipe anak yang sensitif. Ia merasa sangat bersalah, terlebih karena tahu nilainya tidak bisa maksimal akibat kesalahan teknis yang seharusnya bisa dihindari.

Saya sempat merasa bersalah juga. Saya terlalu cepat masuk ke mode "menyelesaikan masalah", tanpa cukup waktu menyentuh perasaannya terlebih dahulu. Ia keluar dari ruang guru dengan mata sembab dan langkah pelan.

Pagi ini, ketika saya melihat senyum kembali di wajahnya, hati saya terasa lapang. Momen singkat di lorong sekolah ini seperti hadiah kecil dari Allah Subhanahu Wata'alla sebuah kesempatan kedua untuk merajut kembali kepercayaan dan semangat siswa.

Saya sadar, menjadi guru tidak hanya soal menjelaskan materi atau memberi nilai. Lebih dari itu, guru adalah pengamat jiwa. Guru harus bisa membaca bahasa tubuh, nada suara, dan isyarat kecil yang kadang tak diucapkan. Satu kesalahan teknis memang bisa berdampak pada nilai, tapi bisa jadi dampaknya lebih besar pada semangat dan rasa percaya diri siswa.

Itulah sebabnya, ketika Zeneta berkata nilainya jelek, saya tidak ingin menambah beban dengan nasihat panjang. Saya ingin ia tahu bahwa kegagalan bukan akhir segalanya. Maka, satu kata spontan “Merdeka!” justru menjadi jembatan penyemangat yang sederhana namun mengena.

Saya masuk ke ruang guru dengan hati hangat. Senyum Zeneta masih terbayang di benak. Di antara tugas menumpuk, rapat, dan urusan administratif, momen kecil ini memberi makna besar. Zeneta tidak hanya belajar matematika dia belajar tentang kesalahan, kesedihan, dan bangkit kembali.

Saya pagi ini belajar satu hal penting yaitu kadang, satu kata tulus bisa menjadi pelipur lara yang lebih dalam dari seribu penjelasan.
Cepu, 2 Juni 2025 

Komentar

  1. woww kerenn buu🤭🫰🏻

    BalasHapus
  2. keren bangett dan menentuh hati ihh cerita yang disampaikain ini buu😽🫰🏻🫰🏻

    BalasHapus
  3. BAGUSSS BANGETT BU SAIDAA, KERENN BU SAIDAAA🤍🤍🤍

    BalasHapus
  4. Terima kasih semoga kalian semua semakin suksed

    BalasHapus

Posting Komentar