Pertemuan Yang Membawa Rindu

Karya : Gutamining Saida 
Saat saya keluar dari ruang guru dengan daftar kegiatan yang sudah menanti dalam kepala. Langit tampak cerah, dan semilir angin pagi menyegarkan langkah-langkah kecil saya menyusuri lorong sekolah. Baru saja melangkah beberapa meter, saya berpapasan dengan empat siswi kelas 7B. Mereka adalah Bening, Nova, Nayara, dan Zeneta.

Wajah mereka cerah dan penuh senyum. Tanpa menunggu aba-aba, mereka langsung menghampiri saya sambil mengulurkan tangan, menyapa penuh antusias.

“Assalamu’alaikum, Bu Saida!” seru mereka hampir serempak, berlomba ingin lebih dulu menyentuh tangan saya. 

Saya menyambut mereka dengan senyum hangat. Sapaan mereka selalu menjadi penyegar semangat, seperti bunga-bunga pagi yang bermekaran di taman. Ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan saat melihat anak-anak ini begitu ceria dan penuh respek.

Satu per satu dari mereka mulai bercerita, seperti berlomba ingin menjadi yang pertama mendapat perhatian saya

Nayara dengan mata berbinar berkata, “Bu, kemarin saya lihat Ibu di jalan…”

Saya sedikit terkejut. “Iya? Kok saya nggak tahu ya?” jawab saya  singkat, mencoba mengingat-ingat.

“Iya, Bu. Saya mau manggil, tapi malu,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Saya ikut tertawa. Nayara memang tipe anak yang manis dan sedikit pemalu. Ia pandai menyimpan rasa, tapi selalu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya.

Nova, yang berdiri di sebelah Nayara, hanya tersenyum sambil membuat isyarat bentuk hati dengan kedua tangannya. Nova adalah tipe anak yang pendiam, tapi ekspresinya selalu tulus. Ia jarang bicara, namun sikapnya penuh kasih dan selalu mampu membuat hati ini hangat.

Lalu Zeneta si banyak bicara langsung menyambung, “Bu, tadi pagi saya sarapan buru-buru karena takut telat. Tapi sempat lihat langit pagi lo, Bu, warnanya bagus!”

Zeneta memang tak pernah kehabisan topik untuk diceritakan. Mulai dari kejadian di rumah, cerita jalan ke sekolah, hingga warna langit pun tak luput dari perhatiannya. Ia seperti radio yang tak pernah padam, dan saya tak pernah bosan mendengarnya.

Dan akhirnya, Bening mendekat, dengan langkah tenang dan wajah serius.

“Bu… bu… kemarin malam kita ketemu ya!” ucapnya datar.

Saya terdiam sebentar, mencoba mengingat. “Dimana, Ning?”

Bening masih dengan ekspresi datar menjawab, “Ketemu di alam mimpi, Bu…”

Sekejap, tawa meledak dari kami berlima. Saya tertawa geli, begitu juga ketiga temannya. Bening tetap tak menunjukkan ekspresi lucu, justru itulah yang membuat jawabannya makin menggelikan. Ia seperti tahu bagaimana cara menebar humor tanpa perlu banyak gerak atau suara.

Itulah mereka empat siswi kelas 7B yang selalu berhasil mewarnai hari-hari saya dengan keunikan karakter mereka masing-masing. Nayara dengan ceritanya yang malu-malu, Nova yang lebih senang bicara dengan isyarat cinta, Zeneta yang penuh semangat berbicara tanpa henti, dan Bening yang kalem namun jenaka.

Sehari saja tidak berjumpa dengan mereka, rasanya seperti ada ruang kosong yang tidak terisi. Mereka bukan hanya siswa-siswi yang  saya temui di kelas. Mereka adalah bagian dari kisah hidup saya di sekolah. Kadang saya berpikir, dalam usia mereka yang masih belia, mereka sudah begitu pandai mengisi hati orang lain dengan cara mereka sendiri.

Saya sering merasa bahwa anak-anaklah yang justru menjadi guru kehidupan bagi saya. Mereka mengajarkan arti kesabaran, ketulusan, dan spontanitas. Melalui celoteh mereka yang tampak sederhana, saya menemukan hikmah yang mendalam. Kadang, satu kata dari mereka bisa menjadi bahan renungan hingga malam.

Maka, ketika pagi ini saya  melihat mereka datang bersamaan dengan langkah ringan dan sapaan hangat, saya tahu ini bukan sekadar kebetulan. Tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua pertemuan adalah bagian dari skenario Tuhan yang indah dan tepat waktu. Termasuk pertemuan saya dengan anak-anak ini.

Saya bersyukur pada Allah Subhanahu Wata'alla, yang mempertemukan  dengan siswa-siswi yang baik, sopan, dan penuh semangat. Mereka adalah potongan-potongan cerita kecil yang akan selalu hidup dalam ingatan. Bukan karena mereka pintar menjawab soal, bukan karena nilai tinggi yang mereka dapat, tapi karena kehadiran mereka yang tulus dan membekas.

Jika suatu saat nanti saya menua dan tak lagi berada di ruang kelas, mungkin saya tak akan ingat semua soal yang pernah saya ajarkan, tapi saya yakin akan tetap mengingat tawa Bening, isyarat cinta Nova, cerita pagi Zeneta, dan malu-malu Nayara. Karena dari merekalah saya belajar, bahwa menjadi guru adalah tentang mencintai, bukan hanya mengajar.

Saya kembali melangkah dengan hati penuh syukur, sembari menyimpan satu keyakinan yaitu semua ini bukan kebetulan. Semua ini adalah skenario Tuhan, dan saya bersyukur menjadi salah satu pemeran di dalamnya.
Cepu, 2 Juni 2025 


-

Komentar

  1. SUKAA BANGET SAMAA CERITANYA BUU♥︎

    BalasHapus
  2. Semoga bisa menginspirasi. Dan kalian sebagai penyemangat saya terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar