Senin, 02 Juni 2025

Canda Tawa Pagi


Karya: Gutamining Saida 

Sasana sekolah masih sepi. Jam dinding di ruang guru menunjukkan pukul 06.35 WIB. Seperti biasa, saya sudah duduk di pojok ruangan,  menyiapkan bahan pembelajaran untuk jam pertama.  Suasana pagi terasa akrab.

AC di ruang guru sedikit  menyapa pelan. Di luar, terdengar langkah-langkah siswa mulai berdatangan, sebagian masih bercengkerama di halaman. Di ruang guru,  masih beberapa guru menikmati waktu tenang sebelum bel berbunyi.

Tiba-tiba pintu ruang guru terdengar dibuka. Saya menoleh, penasaran siapa yang datang. Dari kejauhan tampak sosok perempuan dengan senyum lebar yang sudah tak asing lagi yaitu Bu Ning, guru mata pelajaran Pendidikan  Olahraga. Dengan seragam olahraga lengkap dan sepatu kets putihnya yang khas, ia melangkah ringan mendekati saya.

"Assalamu’alaikum," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Wa’alaikumsalam, Bu Ning," balas saya sambil tersenyum dan menyambut tangannya hangat.

Tanpa duduk terlebih dahulu, Bu Ning langsung membuka percakapan dengan gaya cerianya. "Kemarin saya ketemu Pak Anas, Bu!" katanya antusias.

"Oh ya? Di mana ketemunya?" saya menanggapi sambil menyimpan catatan rencana pembelajaran ke dalam map.

"Di depan Bank Jateng, lho!" jawabnya cepat, matanya berbinar. Ia pun duduk di kursi seberang saya, membetulkan jilbabnya sebentar sebelum melanjutkan.

Saya tertawa kecil. “Lho, kok gak pangling dengan Pak Anas? Kan kadang kita ketemu orang yang mirip tapi ternyata bukan.”

Bu Ning menepuk pundak kirinya sendiri sambil berkata penuh percaya diri, “Pastilah tahu, Bu! Wong saya ini pengamat wajah!” candanya.

Saya ikut tertawa. “Terus, ngobrol apa sama Pak Anas?”tanya saya sedikit kepo. 
"Biasa masalah kegiatan pensiunan."jawabnya singkat

"Cerita dengan bu Saida tidak," ucap bu Ning
“Cerita, dan tanya-tanya. Beliau sempat nanya rumah bu Ning di mana. Saya jawab, ‘Cepu selatan, bu Ning."

“Katakan pak Anas ya, ‘Saya ini orang DPR!’ katanya sambil nyengir lebar.”

Saya terkejut. “Orang DPR? Maksudnya Dewan Perwakilan Rakyat?” saya menebak spontan.

Bu Ning tertawa keras sambil  bergaya“Bukan, Bu! DPR itu singkatan dari Deretan Pinggir Rel kereta api!”

Saya sontak tertawa keras, terpingkal-pingkal. “Waduh, DPR yang itu tho!”

Kami berdua tertawa lepas. Suara tawa kami mungkin sampai terdengar keluar ruangan, karena beberapa guru yang baru masuk sempat ikut tersenyum melihat kami terpingkal-pingkal.

Canda sederhana itu membuat pagi terasa sangat ringan. Tidak ada beban, tidak ada kecemasan soal tugas, administrasi, atau jadwal padat. Hanya dua guru yang saling berbagi cerita ringan dan mengawali hari dengan kebahagiaan.

Saya melanjutkan, “Saya pikir beneran DPR, lho.  Memang rumah beliau dekat rel kereta api, jadi cocok juga sih!

“Iya dong! Saya ini asli Cepu. Dulu rumah saya deket rel juga. Tapi nggak ada gerbong yang mau mampir!” katanya sambil berkedip.

Tawa kami pecah lagi. Kali ini lebih panjang. Rasanya menyenangkan bisa tertawa bersama di pagi hari. Tidak setiap hari ada momen seperti ini.

“Kadang hal kecil seperti ini ya yang bisa bikin hari kita jadi lebih ringan,” gumam saya sambil menatap langit-langit ruangan.

Bu Ning mengangguk setuju. “Betul. Kadang kita terlalu sibuk sampai lupa bahwa bahagia itu bisa datang dari hal sederhana. Seperti ketemu teman lama, atau… bikin singkatan aneh kayak DPR itu,” ujarnya sambil mengelap matanya yang berair karena tertawa.

Saya menatap wajahnya yang masih tersenyum. Ada ketulusan di sana. Kehangatan seorang sahabat yang membuat hari tak lagi terasa biasa.

Sejenak kami terdiam, menikmati suasana pagi yang mulai ramai. Suara langkah siswa terdengar makin ramai di koridor. Beberapa guru lain mulai memenuhi ruangan, membawa cerita mereka masing-masing. Tapi momen kecil pagi ini terasa istimewa, seperti serpihan cahaya yang singgah sebentar di hati kami.

"Yuk, kita ke kelas. Anak-anak pasti sudah menunggu," ajak saya sambil membereskan buku yang akan dibawa ke kelas. 

Bu Ning berdiri dan mengangguk. “Ayo. Kita bawa tawa ini ke kelas, biar anak-anak juga ikut bahagia.”

Kami pun berjalan bersama menuju ruang kelas masing-masing.  Kami melangkah dengan hati yang ringan. Bukan karena tidak ada beban, tapi karena kami memilih untuk memulai hari dengan tawa dan kebersamaan.

Di ruang guru yang sederhana, kebahagiaan itu ternyata bisa lahir dari hal kecil yaitu sebuah singkatan kocak, pertemuan tak terduga, dan candaan hangat antara dua guru. Kami menyadari bahwa bahagia memang bisa diciptakan… asal hati kita mau terbuka.
Cepu, 3 Juni 2025 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar