Ingatan Yang Tak Pernah Usang

 Karya: Gutamining Saida

Malam itu, layar ponsel saya menyala. Sebuah pesan masuk lewat WhatsApp. Dari nama pengirimnya, saya langsung tahu yaitu Rafi. Mantan siswa yang dulu pernah mengisi ruang-ruang kelas dengan kenakalannya, kini menjadi bagian dari masa lalu yang kadang muncul kembali dalam bentuk kenangan, dan... curhatan.

"Bu Saida, ternyata enak jadi siswa SMP." Begitu isi pesannya. Singkat. Namun terasa dalam. Saya tak langsung membalas malam itu. Mata sudah berat, dan niat untuk membalas bisa menunggu esok pagi.

Keesokan harinya, selepas Subuh, saya membuka kembali pesan dari Rafi. Saya tersenyum kecil. Kalimat singkatnya itu seolah mengandung sejuta cerita. Saya pun membalas dengan nada gurauan yang khas kami yaitu "Rafi? Ingat kamu tuh sering telat masuk, tidur waktu pelajaran IPS. Tapi tetap nyengir, ya kan?"

Beberapa menit kemudian, centang dua berubah biru. Artinya, dibaca. Tak lama, ia membalas dengan gambar stiker wajah tertawa terpingkal-pingkal. Saya bisa membayangkan senyum jail-nya yang dulu suka bikin guru gemas. Dulu sering tidur saat pelajaran, tapi tetap jadi anak yang dekat di hati, karena di balik kelakuannya, ada rasa hormat dan cinta yang tak pernah pudar.

Hubungan saya dan Rafi, seperti hubungan seorang ibu dengan anak remajanya yang keras kepala namun penyayang. Kadang dia menghilang, lama tak memberi kabar, lalu tiba-tiba muncul lagi dengan sapaan hangat, cerita saat sekolah di SMK, atau sekadar mengirim meme lucu tentang sekolah.

“Bu, kangen sekolah SMP,” tulis Rafi pada suatu siang.

“Kalau kangen, ke sekolah. Ketemu saya, cerita-cerita.”balas saya.

Beberapa minggu setelah chat itu, Rafi benar-benar datang ke sekolah. Ia datang dengan celana seragam sekolah ransel kecil di punggung, dan senyum yang masih sama seperti dulu. Begitu masuk ruang guru, dia langsung mencari saya.

“Bu Saida mana?” tanyanya ke guru lain.

Saya keluar dari ruang saat mendengar namaku disebut. Di depan pintu, berdiri sosok tinggi yang dulu kecil dan suka ribut di kelas.

“Bu...!” sapanya.

“Rafi! Tumben,” jawab saya sambil tertawa.

Kami duduk di bangku teras dekat taman sekolah. Tak ada guru lain di sekitar. Hanya kami berdua, dan obrolan yang membawa kami kembali pada tahun-tahun ketika Rafi masih mengenakan seragam biru putih.

“Bu, saya lihat story guru SMPN 1 Kedungtuban, ada acara pelepasan siswa. Jadi ingat dulu waktu saya di kelas IX.”

 “Dulu kamu juga ikut, kan?”jawab saya.

“Iya bu, tapi kayaknya waktu itu saya biasa saja. Sekarang lihat, jadi kangen banget suasananya.”

Rafi bercerita panjang. Tentang dunia sekolah di SMK, tentang betapa ia merindukan masa-masa tak punya banyak beban, tentang guru-guru yang dulu sering ia goda tapi hormati dalam diam. Ia mengaku, sekarang baru sadar betapa banyak hal berharga yang dulu ia abaikan.

“Saya tuh dulu suka tidur pas pelajaran IPS, tapi sekarang sering baca berita soal politik, ekonomi. Jadi malah mikir, kenapa nggak serius dari dulu ya...”

Saya tertawa pelan. “Namanya juga anak SMP, Raf. Yang penting sekarang kamu sadar dan belajar dari masa lalu.”

Obrolan kami terus mengalir. Kadang serius, kadang diselingi tawa. Ia juga bercerita tentang adiknya yang sekarang duduk di kelas 8, dan sering ia nasihati untuk tidak seperti dirinya dulu.

“Bu, dulu saya bandel ya?” katanya sambil menunduk.

“Kamu tidak bandel. Kamu hanya penuh energi dan butuh lebih banyak arahan. Itu yang penting.”

Ia tersenyum. “Terima kasih, Bu.”

Setelah beberapa saat, Rafi pamit. Sebelum pergi, ia kembali menoleh.

“Bu, doakan saya ya. Saya kalau sudah lulus nanti mau coba daftar kuliah sambil kerja.”

“Insya Allah. Kamu pasti bisa.”

Rafi kembali melangkah keluar gerbang sekolah, seperti dulu saat pertama kali lulus. Tapi kali ini bukan sebagai siswa yang tergesa-gesa ingin keluar dari ruang kelas, melainkan sebagai pemuda yang membawa banyak kenangan dan tekad baru.

Malamnya, saya kembali mendapat chat darinya. Hanya satu kata yaitu “Terima kasih, Bu.” Saya tak membalas dengan panjang. Cukup dengan yaitu “Semoga menjadi anak sholeh, ya.”

Hubungan kami, seperti ribuan kisah guru dan murid lainnya, tidak berhenti di ruang kelas. Ia tetap tumbuh, berdenyut dalam ingatan dan perhatian yang tulus. Karena bagi saya, seorang guru, mantan murid bukanlah masa lalu namun mereka adalah bagian dari perjalanan yang terus hidup, bahkan saat pelajaran sudah usai.

Cepu, 5 Juni 2025

 


Komentar