Bethem



Karya: Gutamining Saida 
Minggu pagi saya mampir ke penjual godok an di pinggir jalan sebelum menuju sekolah. Deretan penjual srabi, bubur dan  ketela rebus, pisang rebus, dan beberapa jajanan tradisional lainnya yang seringkali mengingatkan saya  pada masa kecil. Aroma khas dari ketela yang masih hangat dan manisnya pisang rebus selalu berhasil menggoda, apalagi jika pagi masih berembun.

Ada yang berbeda pagi ini. Di sudut meja kecil, tersusun beberapa plastik bening berisi sesuatu yang tak biasa saya lihat. Warnanya agak gelap kehitaman, bentuknya bulat seperti biji besar yang telah direbus. Saya sempat ragu, apa ini? Penasaranku tak bisa ditahan.

“Bu, ini apa ya?” tanyaku sambil menunjuk ke plastik itu.

“Oh, itu beton,” jawab si ibu penjual sambil tersenyum. “Enak lho, gurih rasanya.”

Beton? Otakku langsung berpikir biji buah nangka. Baru beberapa detik kemudian aku tersadar, oh… mungkin ini makanan yang pernah saya dengar samar-samar di masa kecil. Tapi tak pernah saya temui, apalagi mencicipi.

Karena penasaran dan percaya pada lidah sang ibu penjual yang sering memberikan rekomendasi jajanan enak, akhirnya saya beli juga satu plastik. Harganya murah, tak lebih dari harga sebungkus gorengan. Saya membawa plastik itu ke sekolah sambil berharap teman-teman tahu lebih banyak tentang makanan ini.

Sesampainya di gazebo, saya langsung menyapa beberapa rekan dan mengeluarkan plastik berisi beton itu.

“Ini lho, ada yang tahu ini apa?” tanya saya sambil membuka plastiknya dan mencium aromanya yang lembut. Aroma khas biji rebus, seperti perpaduan antara biji nangka dan ubi jalar.

“Wah, ini beton, ya?” kata seorang teman sambil mengambil satu dan mencicipinya. Ia tampak berpikir sejenak, lalu berkata, “Hmm… tapi kok ini bukan sembarang beton. Rasanya beda.”

Tiba-tiba, Bu Ning guru yang lebih senior ikut mendekat dan memperhatikan lebih saksama.

“Ini namanya bethem, bukan beton biasa,” katanya penuh keyakinan. “Bethem itu biji kluwih yang sudah tua, biasanya yang jatuh sendiri dari pohonnya, lalu diambil bijinya dan direbus. Makanya kulit luarnya hitam karena sudah tua, tapi dalamnya putih bersih dan rasanya gurih banget.”

Mendengar penjelasannya, kami semua terdiam sejenak. Satu demi satu rekan guru mulai mencicipi, menggigit dengan pelan seolah ingin mengenang masa lalu lewat rasa.

“Enak ya,” ujar Bu Rohana  sambil tersenyum, “dalamnya empuk tapi padat. Gurih seperti makan kacang rebus, tapi ada aroma khas yang nggak bisa dibandingkan.”

“Ini makanan zaman dulu banget ya?” tanya Bu Ida sambil mengambil satu lagi. “Kayaknya dulu waktu kecil pernah makan, tapi sekarang sudah sangat jarang lihat.”

Saya mengangguk, dalam hati merasa senang bisa membawa sesuatu yang ternyata membangkitkan kenangan begitu banyak orang. Kami pun melanjutkan obrolan ringan tentang makanan-makanan tempo dulu yang kini makin sulit ditemukan. Ada yang menyebut jenang gempol, ada yang rindu dengan bubur suro asli buatan nenek, bahkan ada yang cerita tentang makan tiwul dan gatot saat kecil karena memang belum kenal nasi putih.

Bethem menjadi bintang pagi di ruang guru. Tak butuh waktu lama, semua bethem habis disantap bersama. Suasana hangat menyelimuti, bukan karena makanan itu mewah atau viral, tapi karena ia membawa kami kembali pada cerita lama  tentang masa kecil, tentang orang tua yang dulu suka memasak sesuatu dari bahan sederhana yang tersedia di alam.

Bethem, siapa sangka, telah menjadi penghubung antar generasi. Bagi kami yang sempat mengenalnya, ia adalah pengingat bahwa ada kebahagiaan dalam kesederhanaan. Bagi generasi sekarang, mungkin tak menarik, karena bentuknya tak estetik dan tak masuk ke dalam daftar makanan kekinian yang bisa dipajang di media sosial. Tapi rasa dan makna yang dibawanya jauh lebih dalam.

Saya pun sempat berpikir, mengapa sekarang makanan-makanan seperti bethem ini nyaris punah? Mungkin karena pohon kluwih sudah jarang ditanam. Mungkin karena orang lebih memilih camilan cepat saji yang serba instan. Atau mungkin karena kita sendiri yang mulai melupakan akar budaya kita sendiri.

Bethem bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita. Ia adalah sejarah kecil yang hidup dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Meskipun sederhana, gurihnya menyisakan rasa syukur dalam hati. Saya belajar, bahwa kadang yang paling membahagiakan bukanlah hal besar, tapi sebiji bethem yang direbus dengan kasih sayang dan dinikmati bersama.
Cepu, 8 Juni 2025 

Komentar