Karya : Gutamining Saida
Selepas Magrib, suasana rumah keluarga kecil itu berubah menjadi tenang dan penuh berkah. Di ruang tengah, cahaya lampu menyinari tiga sosok mungil yang duduk bersila di atas karpet. Mereka adalah cucu-cucu kesayangan yang sudah dibiasakan untuk belajar setiap malam setelah shalat Magrib. Walau usia mereka berbeda-beda, semangat untuk ikut duduk bersama dan membuka buku telah menjadi kebiasaan yang mereka nikmati.
Si bungsu, Elmira, yang belum masuk sekolah, tetap ikut bergabung. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membolak-balik buku bergambar, menunjuk-nunjuk hewan dan warna dengan wajah ceria. Kadang ia bertanya, kadang hanya tertawa sendiri melihat kucing atau burung berwarna-warni terbang di atas sawah. Meski belum bisa membaca, Elmira belajar dengan caranya sendiri dengan mata yang penuh rasa kagum dan jari-jemari kecil yang sibuk menelusuri halaman demi halaman.
Di sebelahnya duduk sang kakak tengah, Hamzah yang sekolah di Tk Insaniyah Tegal. Ia tampak serius mencorat-coret buku tulisnya, sesekali menoleh ke Elmira untuk ikut tertawa bersama, lalu kembali menunduk menyelesaikan tugasnya.
Malam itu bukan malam biasa bagi sang kakak sulung, Zaskia. Anak perempuan berusia tujuh tahun itu adalah yang paling rajin dan bertanggung jawab di antara ketiganya. Ia tahu betul bahwa malam ini ia harus lebih siap dari biasanya, karena besok adalah jadwal BTQ (Baca Tulis Qur’an) di sekolah.
Uminya, yang mendampingi mereka belajar setiap malam, sudah membuatkan soal-soal latihan khusus untuk Kak Zaskia. Tujuannya sederhana namun penting yaitu agar Kak Zaskia lebih banyak berlatih, lebih percaya diri, dan tidak gugup saat ujian BTQ besok.
Umi menghampiri dan berkata dengan lembut, “Ayo Kak, belajar dulu ya. Besok jadwal BTQ. Umi sudah siapkan soal-soal untuk latihan malam ini.” Kak Zaskia yang sedang membuka buku mewarnai menoleh pelan dan bertanya singkat, “Apa harus belajar, Mi?”
Pertanyaan yang terdengar sederhana itu membuat Umi tersenyum. Ia tahu, Zaskia bukan sedang malas, hanya ingin tahu apakah belajar itu benar-benar wajib. Mungkin juga ia sedang ingin mendengar penguatan dari orang yang paling ia percayai yaitu Uminya sendiri.
“Iya, ini Umi buatkan soal-soalnya. Yuk dicoba ya. Belajar biar besok bisa mengerjakan dengan tenang,” jawab Umi sambil duduk di samping Zaskia.
Kak Zaskia mengangkat wajahnya yang bulat dan bersih, lalu berkata lagi, “Umi doakan Kakak aja, Mi. Pasti besok Kakak bisa mengerjakan.”
Ucapan itu membuat Umi terdiam sejenak. Lalu ia tersenyum lembut, “Pastilah, Kak. Umi doakan tanpa kau minta. Doa Umi selalu untuk Kakak dan adik-adikmu.”
Kakak Zaskia mengangguk mantap. “Doa Umi pasti dikabulkan Allah Subhanahu Wata'alla,” katanya yakin. Ia teringat ucapan Ustadzah di sekolah yang mengatakan bahwa doa ibu untuk anaknya tak pernah terhalang dan sangat mustajab. Maka malam itu, ia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa walaupun tidak banyak belajar, doa umi akan menjadi jembatan keberhasilannya.
Umi yang mendengar itu merasakan haru di hatinya. Anak perempuannya sedang belajar percaya pada kuasa doa. Sebuah pelajaran kehidupan yang besar untuk anak seusia Zaskia. Tapi sebagai seorang ibu, Umi tahu bahwa selain berdoa, usaha tetap harus ada.
“Betul, Kak. Doa Umi insyaAllah dikabulkan. Tapi belajar itu juga bagian dari ikhtiar. Kita tunjukkan pada Allah Subhanahu Wata'alla kalau kita serius dan sungguh-sungguh, supaya Allah Subhanahu Wata'alla makin sayang. Yuk, Kak, lima soal dulu aja. Nanti Umi bacakan, Kakak jawab.”
Zaskia tampak berpikir. Lalu ia tersenyum kecil. “Baiklah, Mi. Lima soal ya. Habis itu Kakak mau baca buku cerita sebentar, terus tidur.”
Elmira yang sejak tadi mendengar obrolan itu, tiba-tiba berkata, “Aku juga mau belajar lima, Mi!”
Umi tertawa, “Boleh, Elmira belajar lihat gambar ya. Lihat yang ada gambar hewannya. Itu juga belajar loh.”
Zaskia pun mulai membuka lembar soal latihan yang sudah dibuat Uminya. Ia membaca huruf hijaiyah, menebalkan tulisan Arab, dan menjawab pertanyaan sederhana tentang tajwid. Sesekali ia keliru, namun umi tidak pernah memarahinya. Sebaliknya, Umi membimbing dengan penuh kesabaran.
“Ini panjang ya, Mi?” tanya Zaskia sambil menunjuk harakat.
“Iya, Kak. Itu namanya mad thobi’i."ujar Umi
"Panjangnya dua harakat."jawab Zaskia
"Pintar!”puji Uminya
Zaskia tersenyum bangga. Ia merasa dihargai dan dimengerti. Lima soal selesai, dan sesuai janjinya, ia membuka buku cerita dan membaca satu halaman.
Setelah selesai, Zaskia menutup buku cerita dan menoleh pada Umi.
“Mi, terima kasih ya. Doanya dan belajarnya. Kakak siap BTQ besok.”
Umi mengusap kepala Zaskia dengan lembut. “Umi bangga sekali. Kakak sudah berusaha dan berdoa. Allah Subhanahu Wata'alla pasti bantu.”
Malam itu, sebelum tidur, Umi melihat ketiga anak itu tertidur dengan damai.
Umi pun tersenyum dan berdoa dalam hati
"Ya Allah, jadikan mereka anak-anak yang mencintai ilmu, mencintai-Mu, dan selalu dalam lindungan-Mu. Aamiin."
Cepu, 11 Juni 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar