Selasa, 06 Mei 2025

Sapaan Manis Di Kursi Belakang

 Karya: Gutamining Saida

Udara masih segar tadi malam diguyur hujan. Embun belum benar-benar mengering dari dedaunan yang menyambut sang matahari. Saya melangkah ringan memasuki ruang guru, seperti biasa. Rutinitas pagi bukan hanya soal absensi dan cek jadwal.  Ada momen berharga yang selalu kutunggu yaitu berjalan ke kursi belakang. Di sanalah, tempat ibu-ibu guru berkumpul, saling menyapa, bertukar kabar, dan kadang tertawa kecil dengan canda ringan yang menyemangati pagi kami.

Saya berjalan pelan, menyusuri barisan meja. Beberapa guru sudah duduk, sibuk membuka handphone, menata meja, atau sekadar menyeruput teh panas di gelas masing-masing. Saya mendekat ke kursi belakang, tempat yang tak terlalu formal tapi selalu penuh cerita.

"Assalamu’alaikum," sapa saya seperti biasa.  Sembari mulai menyalami satu per satu ibu guru yang ada.

"Wa’alaikumussalam," jawab mereka. Senyum mereka mengembang, menandakan pagi ini dimulai dengan hati yang lapang.

Saya mengulurkan tangan kepada Bu Putri yang duduk di sebelah kanan. Seperti biasa, ia membalas dengan senyum ramahnya yang khas. Di sebelahnya duduk seorang ustadah, sosok yang selalu terlihat anggun dengan balutan seragam sederhana dan kerudung lebar, yang kerap kami panggil dengan sebutan "ustadah cantik." Ia orang yang lembut, tutur katanya halus, dan seringkali menyapa dengan bahasa yang unik. Ibu Debby Suciati Annisa Imami nama lengkapnya.

Saat tanganku menjabat tangannya, tiba-tiba terdengar sapaan yang sedikit berbeda, mengejutkan tapi tidak membuatku marah. Justru membuatku heran bercampur geli.

“Selamat pagi, Umigu,” katanya sembari tersenyum.

Saya tercenung sejenak. "Umigu?"

Spontan Saya menatap wajahnya, ingin memastikan Saya tidak salah dengar. U-mi-gu.

Kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Umi-gu. Seketika pikiranku merangkai potongan-potongan makna. “Umi” adalah sapaan yang sering terdengar di rumah kami, sapaan lembut yang sering dipakai anak-anak saya. Tapi ditambah “gu”? Apakah itu maksudnya singkatan dari “guru”? Jadi, Umi + Gu = Umigu?

Saya menahan senyum, mencoba memahami logika sapaannya. Ternyata tidak salah. Memang terdengar lucu, unik, dan jujur saja, cukup menggelitik.

Teman-teman di sekitar ikut tertawa pelan, termasuk Bu Putri yang duduk di samping depan saya.

“Haha... Umigu! Sapaan baru nih!” kata Bu Putri sambil terkekeh.

Saya tertawa kecil. Tidak tersinggung sama sekali. Justru merasa ada kehangatan dari sapaan baru yang lucu itu. Dalam hati Saya berkata, ’Wah, pagi ini Saya resmi mendapat gelar baru!’

“Terima kasih ya, Bu,” ujarku sambil menatap ustadah cantik itu. “Saya jadi dapat sapaan terbaru pagi ini.”

Beliau tertawa pelan, mungkin tak menyangka sapaan spontan itu langsung menjadi sorotan. “Iya, saya spontan saja tadi. Tapi kok kayaknya pas kalau ditambah 'gu'. Jadi kayak sapaan khas gitu.”

Saya mengangguk-angguk. Memang benar. Sapaan sederhana itu membuat suasana pagi yang tadinya biasa saja menjadi istimewa. Kadang kita tak butuh hal besar untuk merasa bahagia. Hanya dengan sebuah kata sederhana, satu sapaan ringan, bisa membuat hati mekar dan tawa pun mengalir.

Obrolan kami pun berlanjut, dengan sedikit membahas hal-hal ringan seperti jalan-jalan sore hari, alamat rumah, perumahan BRC Cepu. Tapi sapaan “Umigu” itu terus terngiang di kepala  saya. Ada yang mengendap. Sebuah kesadaran kecil bahwa betapa pentingnya suasana hati yang hangat dalam lingkungan kerja.

Seringkali kita lupa, bahwa interaksi kecil antar rekan kerja bisa menjadi penguat untuk menjalani hari yang panjang. Kita terlalu sibuk mengejar target, rapat ini-itu, atau menyelesaikan tumpukan administrasi yang seolah tiada habis. Padahal, dalam senyum dan sapaan pagi, ada energi yang tak bisa digantikan oleh secangkir kopi sekalipun.

Saya jadi lebih bersemangat. Di kelas pun, saya menjadi pengawas PSAJ (Penilaian Sumatif Akhir Jenjang) dengan aura ringan yang menyenangkan. Bahkan ketika melihat ruang masih belum bersih, saya tidak langsung memarahi, tetapi mencoba mendekatinya dengan nada yang lebih bersahabat. Saya meminta tolong untuk disapu.

Saya sempat tersenyum sendiri di ruang PSAJ. Kadang hidup itu sesederhana sapaan baru. Tidak perlu mewah. Tidak perlu panjang. Cukup tulus, cukup menyentuh. Dan pagi itu, sapaan “Umigu” menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal yang paling tak terduga. Siapa sangka, di balik sapaan kecil, tersembunyi tawa dan kehangatan yang besar? Terimakasih ustadah Debby yang cantik.

Cepu, 7 Mei 2025

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar