Karya: Gutamining Saida
Di sebuah pertemuan santai, di bawah rindangnya pohon mangga di halaman rumah seorang teman lama, saya duduk bersama beberapa rekan seperjuangan masa muda. Obrolan kami seperti biasa mengalir begitu saja. Tak butuh waktu lama untuk membuat suasana cair. Tawa dan kenangan lama bergulir begitu hangat.
Saat saya bertemu seseorang yang baru saya kenal, sudah jadi semacam naluri untuk menanyakan, “Tinggal di mana, Bu?” atau “Asalnya dari mana, Bu?” Pertanyaan itu sering jadi pintu masuk percakapan yang lebih akrab. Tak jarang, obrolan yang bermula dari hal-hal sederhana itu menjalar ke topik yang lebih dalam, hingga akhirnya membuka hati.
Ketika saya masih lajang, teman-teman sering bercanda, “Kalau nanti sudah berkeluarga, obrolannya beda. Bukan lagi soal kuliah atau kerja, tapi anakmu berapa? Cucumu berapa?” Saya pun tertawa waktu itu, belum bisa membayangkan betapa benarnya kata-kata itu. Kini, di usia yang sudah lanjut, ternyata percakapan memang sering berputar di seputar keluarga, terutama anak dan cucu.
“Anakmu berapa?” tanya saya pada seorang teman lama yang baru saja datang dengan wajah ceria.
“Alhamdulillah, tiga. Laki-laki semua,” jawabnya sambil menyodorkan keripik singkong buatannya.
Saya tersenyum dan menimpali, “Wah, kompak semua cowok. Nggak nambah satu lagi? Siapa tahu perempuan.”
Saya mengatakannya dengan nada bercanda, seperti biasanya saya menanggapi teman yang punya anak sejenis semua. Tapi saya tak menyangka, jawabannya begitu unik dan dalam.
“Sudah terlanjur,” jawabnya sambil terkekeh pelan. “Anak ketiga saya namanya Darwis.”
Saya sedikit terdiam. Nama itu memang tidak asing. Tapi bagi saya belum pernah tahu kisah di baliknya. Lalu ia melanjutkan penjelasannya, yang membuat saya manggut-manggut memahami.
“Darwis itu kami ambil dari gabungan dua kata. Dar itu dari nama suami saya, Darmin. Wis itu artinya selesai. Jadi Darwis itu bermakna anak laki-laki dari Darmin yang terakhir.”
Saya tak bisa menahan senyum yang melebar. Luar biasa. Sebuah nama yang mungkin terdengar biasa saja, ternyata mengandung makna dalam dan sebuah keputusan besar dalam keluarga mereka.
“Nama itu bukan hanya nama,” lanjut teman saya. “Itu semacam titik akhir, sekaligus penanda bahwa kami bersyukur sudah diberi tiga anak sehat. Kami sepakat untuk berhenti di situ.”
Saya mulai menyadari, betapa pentingnya sebuah nama. Ia bukan sekadar tanda pengenal, tetapi juga harapan, doa, bahkan keputusan penting dalam hidup seseorang.
Cerita itu membuat saya merenung panjang. Dalam banyak keluarga, keputusan untuk memiliki anak selalu membawa konsekuensi. Ada yang memilih banyak anak karena merasa anak adalah rezeki, ada yang membatasi karena pertimbangan ekonomi atau kesehatan, dan ada juga yang seperti teman saya, menyematkan filosofi dalam nama anak sebagai pernyataan sikap hidup.
Tiga anak laki-laki mereka sudah cukup merasa lengkap. Bahkan, sejak menamai anak ketiga dengan Darwis, mereka berpegang teguh pada makna itu. Tidak pernah ada lagi diskusi soal menambah anak. Mereka jalani hidup dengan menerima dan mensyukuri apa yang sudah diberikan.
“Kadang ada keluarga yang punya anak banyak, tapi tidak sempat benar-benar membesarkan dan mendampingi mereka satu per satu,” kata teman saya lagi. “Buat kami, tiga anak adalah jumlah yang bisa kami peluk dengan penuh. Bisa kami doakan satu per satu, bisa kami dampingi tumbuh dengan sungguh-sungguh.”
Saya terkesan. Apalagi ketika ia bercerita bagaimana anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik dan saling mendukung. Si sulung kini sudah bekerja di luar kota, anak kedua sedang kuliah di universitas negeri, dan Darwis, si bungsu, masih SMA dan aktif dalam kegiatan sosial.
“Darwis memang anak terakhir, tapi dia sangat dewasa. Kadang seperti yang paling tua,” cerita teman saya sambil tertawa kecil. “Mungkin karena dia tahu, dia penutup yang bermakna.”
Percakapan kami siang itu begitu berkesan. Dari pertanyaan ringan tentang jumlah anak, kami sampai pada cerita tentang keputusan, rasa syukur, dan makna hidup. Saya semakin percaya bahwa setiap orang punya cara sendiri dalam merancang hidupnya. Ada yang menyelipkan makna dalam nama, ada yang menulisnya dalam cerita, dan ada juga yang hidup tanpa banyak kata tapi penuh makna.
Darwis, bukan hanya nama. Ia adalah titik akhir yang penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla dan keteguhan. Satu kata yang merangkum cinta, kesepakatan, dan keutuhan dalam sebuah keluarga.
Cepu, 7 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar