Suasana komunitas belajar di ruang pertemuan SMPN 1 Kedungtuban terasa berbeda dari biasanya. Kami, para guru dari berbagai latar belakang mata pelajaran dan pengalaman, berkumpul untuk mengikuti kegiatan kombel yaitu komunitas belajar yang rutin diselenggarakan sebagai ruang tumbuh bersama. Tema hari itu cukup unik dan memantik semangat yaitu MENYUSUN PUISI DENGAN MEMADUKAN DUA METODE
Materi dibawakan dengan segar oleh narasumber yaitu ibu Aprista P, S.Pd, dan moderatornya ibu Ragil Anggi N, S. Pd adalah sosok yang familiar sekaligus bersahabat. Dengan senyum khasnya yang ramah dan gaya bicara yang hangat namun tegas, ia memandu jalannya sesi demi sesi dengan lancar. Saat memasuki sesi praktik, suasana berubah menjadi lebih hidup. Moderator mengumumkan bahwa setiap peserta akan diberi tantangan untuk membuat puisi dengan menggunakan dua metode inspiratif yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Saya yang duduk di deretan tengah sempat terdiam. Jujur saja, walau saya menyukai dunia menulis, tantangan mendadak seperti ini tetap membuat jantung saya berdegup lebih kencang. Saat saya sedang merenung, tiba-tiba nama saya disebut oleh Bu Anggi. Sapaan itu terdengar seperti cahaya sorotan lampu ke arah panggung: mengejutkan, membuat saya merasa diperhatikan sekaligus... ditantang.
“Bu Saida, ayo ya... nanti juga ikut baca ya,” katanya sambil tersenyum dan menatap penuh semangat.
Saya tersenyum canggung dan mengangguk. Dalam hati, saya bergulat dengan rasa takut dan harap. Empat peserta pertama sudah tampil membacakan puisinya. Masing-masing dengan gaya dan warna yang berbeda ada yang penuh semangat, ada yang penuh perasaan, dan ada yang begitu menyentuh. Saya merasa semakin kecil. Apakah saya bisa?
Saya mencoba menenangkan diri. Saya tarik napas dalam-dalam, menatap lembar kertas di depan saya, dan mencoba menyelam ke dalam hati sendiri. Kata demi kata mulai terangkai, seolah tangan saya digerakkan oleh kenangan, rasa, dan cinta yang lama saya pendam. Akhirnya, saya temukan satu kata yang mengandung segalanya: Kedungtuban. Tempat yang bukan hanya menjadi lokasi kegiatan ini, tetapi juga ruang perjalanan hidup saya selama bertahun-tahun.
Dengan degup yang belum juga reda, saya mencatat bait demi bait. Judul sudah ada, irama mulai terbentuk. Tidak sempurna, tapi saya merasa ini datang dari hati. Saat tiba giliran terakhir, saya maju ke depan. Semua mata tertuju pada saya, dan saya bisa merasakan getar di dada. Tapi saya ingat, ini bukan soal sempurna atau tidak. Ini soal keberanian melangkah.
Saya mulai membaca:
Kedungtuban
Karya: Gutamining Saida
Langkahku kini menapak pasti
Tanah teduh yang kau beri
Peluh dan doaku menyatu dalam detik panjang
Ukiran hidupku tak pernah hilang
Setiap sudutmu ada kenangan
Langkah suara harapku perlahan
Kau bukan sekedar tempat singgah
Kau rumah bagi yang pernah lelah
Jika langkahku harus menjauh
Akan kutinggalkan hati sebagai pelabuh
Selama nafasku masih tertawan
Aku terus bersama di Kedungtuban
Kini kudatang sebagai tamu
Kau peluk hangat
tanpa ragu
Hari berputar menjadi bulan
Tumbuh runutkan tujuan
Kedungtuban, 8 Mei 2025
Suasana ruangan menjadi hening. Saya tidak tahu apakah bait-bait saya mampu menyentuh, tetapi saya tahu satu hal yaitu saya telah mencoba. Setelah selesai membaca, saya dengan rasa lega yang luar biasa. Bu Anggi tersenyum dan memberikan apresiasi, begitu pula beberapa teman di sekeliling saya.
Alhamdulillah, puisi itu bisa saya bacakan meski belum sempurna. Namun dari pengalaman ini, saya belajar bahwa yang terpenting bukan hanya hasil akhirnya, melainkan keberanian untuk menerima tantangan, menggali rasa, dan mengekspresikannya. Saya pulang bukan hanya membawa selembar puisi, tetapi juga segenggam keberanian baru. Terima kasih, Kedungtuban. Terima kasih, kombel. Dan terima kasih Bu Anggi, atas tantangannya.
Cepu, 9 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar