Karya : Gutamining Saida
Mentari pagi terasa hangat dan menenangkan. Udara desa Balun begitu bersahabat, menyambut langkah-langkah para jamaah istiqomah yang perlahan berdatangan ke rumah Bapak Haji Gatot. Rumah sederhana namun lapang itu sudah ditata rapi, karpet dibentangkan, duduk lesehan di ruang tamu. Aroma sirup manis berwarna hijau dan kue-kue tradisional menyambut para tamu dengan ramah. Kacang godok, lopis, dadar gulung, jeruk, salak dan masih banyak lagi.
Pertemuan jamaah istiqomah kali ini terasa istimewa. Selain sebagai ajang silaturahmi, pertemuan ini menjadi ruang renungan bersama tentang hakikat panggilan Allah pada manusia. Setelah semua duduk dengan khidmat, pembawa acara membuka majelis dengan basmalah dan sambutan singkat dari tuan rumah, Bapak Haji Gatot diwakili oleh ibu. Ia mengucapkan terima kasih atas kehadiran para jamaah dan berharap semoga pertemuan ini membawa keberkahan.
Tema kajian hari itu adalah "Tiga Panggilan Allah kepada Manusia". Disampaikan dengan penuh kelembutan dan kesungguhan, topik ini membuka mata dan hati banyak yang hadir.
Panggilan Pertama yaitu Salat
Panggilan pertama, kata pembicara, adalah salat. Lima kali sehari, azan dikumandangkan, menyeru manusia untuk menghadap Sang Khalik. Namun panggilan ini, ternyata sering dianggap sepele. Banyak yang menjawab, "Nanti saja, masih sibuk," atau "Belum istirahat, habis capek bekerja." Panggilan ini bisa ditunda oleh manusia, meski sejatinya bukan untuk ditawar. Betapa seringnya kita mengabaikan waktu salat demi urusan dunia, padahal justru salatlah yang menjaga kita dari keburukan dunia itu sendiri.
Panggilan Kedua yaitu Haji
Panggilan kedua adalah panggilan untuk menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Namun lagi-lagi, manusia punya sejuta alasan. “Uang masih dibutuhkan untuk biaya sekolah anak,” kata sebagian orang. “Masih untuk membangun rumah, belum cukup modal usaha,” kata yang lain. Alasan-alasan duniawi ini membuat panggilan ke Baitullah tertunda. Padahal, tidak ada jaminan umur, tidak ada jaminan esok masih ada waktu untuk berhaji.
Panggilan Ketiga yaitu Kematian
Dan tibalah pada panggilan ketiga, panggilan yang tak bisa ditolak atau ditunda yaitu kematian. Ini adalah panggilan yang pasti, tanpa kompromi. Tak peduli sedang sehat atau sakit, sedang muda atau tua, jika waktu telah tiba, maka malaikat Izrail datang menjemput. Tidak ada alasan sibuk, tidak bisa berkata "nanti". Inilah panggilan yang memisahkan jasad dari ruh, yang menyudahi semua urusan dunia, dan memulai perjalanan panjang menuju akhirat.
Para jamaah terdiam. Mata mereka menerawang jauh, seolah merenungi kehidupan masing-masing. Beberapa tampak mengangguk-angguk pelan. Pesan itu menghujam dalam.
Setelah sesi kajian tersebut, acara dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin dan tahlil, dipimpin oleh Bapak Samsudin. Bacaan demi bacaan menggema di ruang tamu yang telah disulap menjadi majelis dzikir. Suara para jamaah menyatu, seakan ikut mengirimkan doa-doa untuk para leluhur dan arwah keluarga mereka yang telah berpulang.
Ibu Eny mengambil alih untuk memimpin pembacaan Asmaul Husna. Dengan suara lembut, ia memandu jamaah menyebut nama-nama Allah yang indah, satu per satu, 99 nama yang penuh makna. Lantunan Asmaul Husna menghadirkan suasana damai dan getar keimanan di hati.
Acara dilanjutkan dengan tausiah yang disampaikan oleh Bapak Sodiq. Beliau menekankan pentingnya sodaqoh, baik untuk diri sendiri maupun untuk para ahli kubur. “Sodaqoh bukan hanya untuk yang kaya,” ujarnya. “Bahkan dalam keadaan sempit pun, bersedekah akan membuka pintu rezeki.”
Beliau mengingatkan bahwa amal jariyah adalah harta yang tidak akan pernah habis, bahkan setelah kita meninggal dunia. Memberi kepada sesama adalah bentuk syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla Kebaikan yang dilakukan kepada orang lain, apalagi kepada fakir miskin dan anak yatim, akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk berkah yang tak terduga.
Dalam tausiah tersebut, Bapak Sodiq juga menekankan bahwa bersedekah bukan harus menunggu waktu lapang. Kadang justru saat kita merasa kekurangan, lalu tetap memberi, di situlah letak keberkahan sejati. “Berbuat baiklah kapan saja, kepada siapa saja. Jangan tunggu nanti,” tuturnya. “Karena tidak ada jaminan bahwa nanti itu akan datang.”
Setelah doa bersama, acara ditutup dengan makan siang bersama. Menu sederhana tapi menggugah selera disajikan nasi bungkus yang dipesan dari warung bu Pos. Nasi hangat menu campur , mie kuning, daging sapi, telur asin, sambal goreng kentang, dan sambal. Jamaah duduk melingkar, menyantap hidangan dengan obrolan ringan dan tawa-tawa kecil. Kelelahan hilang, diganti rasa syukur dan persaudaraan yang tulus.
Saat ini , bukan sekadar pertemuan rutin, tapi menjadi pengingat akan panggilan-panggilan Allah Subhanahu Wata'alla yang seringkali kita abaikan. Sebuah pelajaran hidup bahwa kita harus lebih peka terhadap waktu, terhadap perintah-Nya, dan terhadap sesama.
Saat para jamaah berpamitan satu per satu, masing-masing membawa pulang satu Kesadaran yaitu bahwa hidup ini sementara, dan panggilan yang pasti datang adalah kematian. Maka selagi masih diberi waktu, mari gunakan sebaik mungkin untuk kebaikan.
Cepu, 4 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar