Sabtu, 03 Mei 2025

Petualangan di Goa Terawang

Karya : Gutamining Saida 
Langit Todanan terlihat cerah, seolah mengajak siapa pun untuk keluar dan bertualang. Kami memutuskan mengunjungi Goa Terawang, destinasi wisata alam di Kabupaten Blora yang tak hanya menawarkan keindahan goa, tapi juga wahana permainan yang lengkap dan seru. Goa ini memang istimewa bukan hanya karena sinar matahari yang masuk dari celah goa dan menciptakan pemandangan menawan, tetapi juga karena kawasan ini sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata kekinian.

Setibanya di lokasi, anak-anak langsung berhamburan ke area permainan. Ada kolam renang yang jernih, pelangi raksasa atau "rainbow" untuk berswafoto, wahana APV, kereta mini yang mengelilingi area taman, hingga jeep adventure yang menjadi daya tarik bagi para pengunjung dewasa. Di dekat pintu masuk, tampak fasilitas musala dan kamar mandi yang cukup bersih —
yaitu pertanda bahwa pengelola wisata cukup memperhatikan kenyamanan pengunjung.

Saya memilih mencoba wahana jeep. Rasa penasaran dan semangat petualangan bercampur jadi satu. Mobil jeep terbuka itu bisa menampung enam orang. Satu penumpang duduk di samping sopir, sementara lima lainnya berdiri di bagian belakang. Kami semua wajib mengenakan helm kuning cerah sebagai perlindungan yaitu warnanya menyala kontras dengan hijau hutan di sekitar.

Hari itu, di sela-sela perjalanan yang kami rencanakan penuh semangat, Saya menatap wajah ibu yang telah berusia 73 tahun. Dalam benak saya, ada sedikit keraguan. "Bu, Ibu berani naik jeep?" tanya saya hati-hati, mencoba memastikan. Saya kira beliau akan berpikir dua kali, atau mungkin menolak halus, mengingat jalan yang akan kami tempuh bukanlah jalan biasa yaitu terjal, menanjak, dan penuh tantangan. Tapi jawabannya mengejutkanku.

"Naik gitu kok gak berani kenapa?" ucapnya santai, dengan sorot mata penuh percaya diri. Jawaban itu membuat saya diam sejenak. Mungkin selama ini saya terlalu mengkhawatirkan ketahanan fisik beliau, tanpa menyadari bahwa semangatnya jauh lebih muda dari usianya.

Saya kira beliau sudah tahu seperti apa rute jeep wisata ini yaitu liar, berbatu, berkelok tajam. Tapi ternyata, keberaniannya lahir dari ketidaktahuan. Beliau hanya melihat jeep sebagai kendaraan biasa, bukan alat pemacu adrenalin.

Akhirnya, saya memintanya duduk di depan, tepat di samping sopir. Posisi terbaik agar ia bisa duduk dengan nyaman, sementara saya dan teman-teman lain memilih berdiri di belakang, bergelantungan menikmati guncangan dan sensasi petualangan.

Mesin jeep menderu, membawa kami masuk ke jalur penuh tantangan. Tanah licin, tanjakan curam, dan tikungan tajam satu per satu kami lewati. Dari belakang, aku sesekali melirik ke depan. Kulihat ibu memegangi besi pegangan erat-erat, tubuhnya sedikit condong ke depan, mata lurus menatap jalan, bibirnya bergetar perlahan.

Entah apa yang beliau pikirkan saat itu. Mungkin doa demi doa sedang dilantunkan dalam hati. Doa keselamatan, doa kekuatan, atau bahkan mungkin doa agar perjalanan cepat selesai. Tapi tidak ada keluhan keluar dari mulutnya. Tidak ada "berhenti" atau "turunkan saya". Hanya keheningan yang bersahabat, seolah sedang berdialog langsung dengan Sang Pencipta di tengah deru mesin dan debu jalanan.

Perjalanan yang awalnya penuh kecemasan, justru berubah menjadi pelajaran tentang keberanian dan tawakal. Ibuku bukan hanya sedang mencoba naik jeep beliau sedang mengajarkanku bahwa usia bukan batas bagi petualangan, bahwa keyakinan bisa melampaui rasa takut, dan bahwa pegangan paling kuat bukan hanya besi di sisi kursi, tapi doa yang tak putus kepada Tuhan.

Sesampainya di lokasi, kami turun dan menatap pemandangan indah di hadapan. Dan di antara tawa serta decak kagum teman-teman, saya menatap ibu dengan bangga. Wajahnya tenang, matanya berbinar, dan ada senyum kecil yang tak bisa  saya sebutkan dengan kata selain yaitu syukur.

Hari itu, bukan hanya kami yang menaklukkan jalur ekstrem. Tapi ibu saya, dengan segala kesederhanaannya, telah menaklukkan rasa takut sendiri. Saat mesin jeep menyala dan mulai bergerak, suasana mendadak berubah. Kami melintasi jalanan yang awalnya rata, namun perlahan menanjak dan mulai berliku tajam. Tanah merah bergelombang di kiri kanan memberi tanda bahwa ini bukan sekadar jalan biasa yaitu jalur petualangan.

“Pegangan ya!” seru sopir kami, seorang pria muda berkaos merah bata dan topi hitam yang tampak santai namun cekatan. Kami pun mulai menjerit bercampur tawa ketika jeep masuk ke kawasan hutan yang lebih dalam. Jalanan semakin terjal, batu-batu besar menyembul dari permukaan tanah, dan akar pepohonan menjalar di bawah roda. Daun-daun rimbun jambu monyet  menyapu wajah kami. Jeep bergetar keras setiap kali melewati tanjakan atau turunan curam, dan kami harus benar-benar kuat berpegangan pada jeruji besi di bagian belakang.

Di tengah perjalanan, kami melewati Goa Macan. Nama yang cukup menegangkan. Saya sempat menoleh ke kiri, melihat mulut goa yang gelap dan dalam. Walaupun hanya melintas, suasananya cukup memicu adrenalin. Belum habis rasa takjub dan deg-degan itu, kami kembali berteriak saat jeep menanjak tajam dan berbelok tajam seperti roller coaster.

“Ya Allah... Bismillah... Astaghfirullah...” suara doa pun terdengar dari berbagai arah, bergantian dengan tawa lepas. Emosi kami seperti dicampur dalam satu gelas besar yaitu bahagia, kaget, takut, seru. Semua jadi satu, tak bisa dipisahkan. Beberapa saat kemudian, kami melewati Goa Bebek. Entah kenapa dinamai seperti itu, mungkin karena bentuk mulut goanya yang mirip paruh bebek. Kali ini sopir memperlambat laju jeep, memberi kami kesempatan mengintip ke dalam goa dari kejauhan. Ada kesunyian yang menenangkan, berbeda dengan suara gemuruh tawa kami sepanjang perjalanan.

Tak lama setelah melewati Goa Bebek, jeep kembali melaju cepat di jalur menurun. Salah satu penumpang di belakang saya berteriak keras, lalu tertawa panjang, seperti melepaskan seluruh rasa takut dan stres yang selama ini menumpuk. Saya pun ikut tertawa, perasaan hangat menjalar di dada. Ternyata, keseruan semacam ini tak bisa digantikan oleh layar ponsel atau tontonan video.

Kami kembali ke area utama Goa Terawang dengan badan berkeringat, tapi hati penuh bahagia. Petualangan singkat itu memberi pengalaman luar biasa. Wajah bu Wiwik, Abid, Faiz tampak ceria beberapa bahkan langsung ingin mengulang perjalanan, walau napas masih ngos-ngosan.

Di bawah pohon besar dekat musala, kami duduk sejenak untuk menenangkan jantung yang masih berdebar. Seorang ibu dari rombongan lain berkata, “Wah, ini bukan jeep wisata, ini jeep zikir!” Semua yang mendengar pun tertawa. Ya, memang benar. Rasanya seperti mengingat Tuhan sepanjang jalan, karena setiap detik menantang dan tak terduga.

Goa Terawang bukan hanya tempat untuk melihat keindahan goa dan pelangi buatan. Ia juga menyuguhkan ruang untuk melepaskan penat, berseru, bersenang-senang, dan merasakan kembali detak hidup yang nyata. Petualangan jeep itu mungkin hanya berlangsung sekitar 30 menit, tapi kenangan dan sensasinya akan tinggal jauh lebih lama di dalam hati. Di situlah letak keindahan perjalanan yaitu bukan seberapa jauh atau lamanya, tapi seberapa dalam ia membekas.
Cepu, 3 Mei 2025 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar