Karya: Gutamining Saida
Delapan tahun lalu, di sebuah pelaminan sederhana yang penuh berkah, Bilta mengucapkan janji suci bersama lelaki pilihannya. Kala itu, sebagai seorang umi (ibu) , saya mengusap haru di sudut mata. Rasanya baru kemarin menggandeng tangan kecilnya ke sekolah, dan kini ia sudah menggandeng tangan seorang suami untuk mengarungi bahtera kehidupan. Kota Tegal menjadi pelabuhan cinta dan perjuangan baru bagi Bilta. Jauh dari rumah masa kecilnya, ia memulai peran barunya yaitu sebagai istri, dan kemudian, seorang ibu bagi anak-anaknya
Tak lama setelah pernikahan itu, Allah Subhanahu Wata'alla menitipkan amanah pertama. Seorang anak perempuan mungil yang kemudian disusul oleh anak laki-laki, lalu seorang putri bungsu yang melengkapi pelukan hangat rumah tangganya. Tiga anak dengan usia berdekatan. Masing-masing membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan ketelatenan yang luar biasa. Di sanalah saya menyaksikan keajaiban dari seorang perempuan biasa yang menjelma menjadi ibu luar biasa.
Bilta, anak sulung saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Sebuah pilihan yang tak mudah, terutama di zaman ketika perempuan seringkali diukur dari seberapa tinggi karier mereka di luar rumah. Namun, dia memilih jalan sunyi, penuh kerja senyap tanpa tepuk tangan. Dia merawat anak-anaknya dari fajar hingga malam kembali sunyi. Bukan karena tak mampu berkarier, tapi karena dia tahu betul bahwa perannya di rumah adalah ladang perjuangan yang tak kalah mulia.
Setiap pagi, sebelum mentari benar-benar tinggi, Bilta sudah bangun. Tangan dan hatinya menyambut anak-anak yang mulai menggeliat bangun. Menyiapkan sarapan, mengatur jadwal sekolah, menyuapi yang kecil, mendampingi yang belajar. Kadang dalam satu waktu, tiga anak meminta perhatiannya bersamaan. Ada yang rewel karena susu, ada yang bingung mengerjakan PR, dan ada yang hanya ingin dipeluk karena rindu. Tapi tak pernah saya dengar keluh kesah dari mulutnya.
Di balik layar, saya tahu betapa lelahnya dia. Tapi Bilta memiliki satu kekuatan yang tak kasat mata yaitu keikhlasan. Ia melakukannya karena cinta. Ia menjalaninya karena yakin bahwa inilah ladang ibadahnya. Meskipun tinggal jauh darinya, sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan gelombang letihnya. Kadang saat saya menelepon, terdengar suara anak-anak berlomba bicara, dan dia tetap menjawab dengan suara lembut dan sabar. Bila tak sempat cerita panjang, dia hanya bilang, “Mii, doakan saja aku kuat.” Dan itulah yang selalu saya lakukan adalah mendoakannya dalam setiap sujud.
Tiga anak dengan usia berdekatan adalah tantangan tersendiri. Tak hanya soal tenaga, tapi juga emosi dan mental. Namun, Bilta menjalaninya seperti seorang pejuang. Ia menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, menjadi perawat saat mereka demam, menjadi chef yang berusaha membuat lauk yang disukai semua, menjadi pendengar setia kisah-kisah kecil mereka setiap malam sebelum tidur. Semua peran itu dijalankan dengan satu niat yaitu merawat amanah Allah Subhanahu Wata'alla sebaik mungkin.
Saya salut padanya. Bahkan sering merasa malu karena dulu saat membesarkannya, mungkin saya belum sebijak dia sekarang. Tapi anak-anak memang seperti itu. Mereka bisa jadi lebih baik dari orang tuanya. Dan itulah harapan saya sejak dulu.
Meski saya tak selalu ada di sampingnya, hati says selalu menyertainya. Setiap hari, saya panjatkan doa agar langkahnya dimudahkan, rasa lelahnya dilapangkan dengan syukur, dan tantangannya disiram dengan sabar. Semoga Allah menjadikannya bahagia, bukan karena hidupnya selalu mudah, tapi karena hatinya lapang menerima apa pun takdir dari-Nya.
Semoga, di balik peluh yang jatuh dari wajahnya setiap hari, ada surga yang sedang disiapkan oleh Allah Subhanahu Wata'alla. Karena saya percaya, ibu rumah tangga yang menjalani perannya dengan keikhlasan, sedang meniti jalan sunyi menuju surga yaitu satu langkah demi satu langkah, dengan hati penuh cinta.
Bilta mungkin tak dikenal banyak orang. Namanya tak tertulis di koran atau layar kaca. Tapi bagi saya, dan bagi anak-anaknya, dia adalah pahlawan. Dia adalah cahaya di rumah kecil di Mejasem kota Tegal. Cahaya yang tak pernah padam meski angin ujian terus datang. Sebagai seorang umi (ibu) , saya bangga memiliki putri sepertinya.
Cepu, 5 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar