Karya : Gutamining Saida
Kamis pagi tanggal 30 Oktober 2025, udara terasa sejuk ketika saya bersiap mengikuti kegiatan SOL (Study Obyek Lapangan) bersama guru-guru IPS se-Kabupaten Blora. Rencana perjalanan sudah disusun dengan rapi. Kami akan belajar bareng sambil rekreasi ke kota Ngawi, mengunjungi Benteng Pendem dan Trinil, dua tempat bersejarah yang menyimpan jejak masa lalu. Dalam hati merasa senang inilah saat yang tepat untuk menambah wawasan, menyegarkan pikiran, sekaligus bersilaturahmi dengan rekan sejawat dari berbagai sekolah.
Sesuai pembagian denah tempat duduk yang sudah diatur, saya seharusnya duduk di bangku belakang. Namun ketika tiba disaat masuk kendaraan ternyata saya peserta SOL masuk bus yang terakhir. Tanpa disangka, tempat duduk saya berubah. Ada satu kursi kosong di baris ketiga dari depan. Saya berpikir, “Ah, mungkin ini kebetulan saja.” Tapi dalam hati kecil saya terlintas firman Allah bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya.
Saya duduk di kursi itu dan mendapati seorang teman yang belum begitu saya akrap duduk di sebelah saya. Wajahnya lembut, matanya teduh, dan senyumannya tenang. Kami saling menyapa, lalu perlahan mulai berbincang. Awalnya kami berbicara ringan tentang kegiatan sekolah, tentang siswa, tentang semangat belajar. Tapi lambat laun arah pembicaraan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam.
Teman di sebelah saya mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya tentang ujian-ujian besar yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan. Tentang ujian kesabaran, dan keteguhan hatinya dalam menghadapi takdir yang kadang di luar dugaan. Ia bercerita tanpa keluh, justru dengan nada penuh ketenangan. Setiap kalimatnya mengandung hikmah.
Saya mendengarkan dengan saksama, tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipi. Tidak bisa dicegah. Hati saya seperti disentuh lembut. Kata-katanya menembus dinding hati terdalam. Saya merasa kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata'alla merasa belum sekuat itu menghadapi cobaan.
Perjalanan menuju Ngawi, suasana di luar bus tampak cerah. Jalanan panjang, sawah hijau, pepohonan rindang, dan sesekali hembusan angin dari jendela membuat perjalanan terasa nyaman. Dalam hati saya sedang terjadi perjalanan lain perjalanan batin yang jauh lebih bermakna daripada wisata apa pun. Pagi ini tanpa saya rencanakan, saya sedang menjalani wisata rohani.
Saya teringat sabda Rasulullah Shalalahu Alaiwasallam bahwa setiap ujian yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan bukan untuk melemahkan, melainkan untuk meningkatkan derajat keimanan hamba-Nya. Teman di sebelah saya menjadi cermin nyata dari hal itu. Ia tidak menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan takdir, tetapi justru bersyukur bisa melalui ujian dengan sabar. Saya kagum, sekaligus malu pada diri sendiri yang kadang masih mudah mengeluh untuk hal-hal kecil.
Ketika bus berhenti di Benteng Pendem, sebagian peserta turun dengan semangat memotret, berdiskusi tentang sejarah kolonial, dan mengagumi arsitektur peninggalan Belanda. Saya ikut berjalan, tapi di hati masih terngiang cerita yang baru saja saya dengar. Benteng yang dulu menjadi tempat pertahanan itu seolah melambangkan kekuatan batin seseorang kokoh di luar, tapi memiliki ruang-ruang sunyi di dalam. Seperti halnya manusia, yang terlihat tegar di permukaan, tapi menyimpan pergulatan batin di dalam dirinya.
Kami melanjutkan perjalanan ke Trinil, tempat ditemukannya fosil manusia purba oleh Eugene Dubois. Di sana kami belajar tentang sejarah manusia dan kehidupan ribuan tahun silam. Guru-guru berfoto bersama, tertawa, dan menikmati suasana belajar di alam terbuka. Tapi bagi saya, pelajaran hari itu bukan hanya tentang masa lalu manusia purba, melainkan tentang hakikat kehidupan manusia masa kini bahwa setiap perjalanan bukan sekadar tentang tempat yang dituju, melainkan tentang hati yang dibawa.
Saya hanya menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai menguning. Dalam hati saya berbisik pelan, “Ya Allah, terima kasih telah menuntunku duduk di tempat ini. Mungkin kalau saya duduk di bangku belakang sesuai rencana awal, saya tidak akan mendapatkan pelajaran seindah ini.”
Saya menyadari bahwa Allah Subhanahu Wata'alla selalu punya cara halus untuk menuntun hamba-Nya. Kadang lewat peristiwa kecil yang tampak biasa seperti perubahan tempat duduk tapi di balik itu tersimpan maksud besar yang membawa kita pada perenungan dan kesadaran baru.
Saya pulang bukan hanya dengan kenangan tentang benteng tua dan situs purbakala, tapi juga dengan hati yang lebih lembut. Saya merasa disadarkan kembali bahwa setiap manusia memiliki ujian masing-masing. Tidak ada yang mudah, tetapi di balik setiap kesulitan, selalu ada kasih sayang Allah yang tersembunyi.
Saya bersyukur karena Allah Subhanahu Wata'alla masih memberi saya hati yang mudah tersentuh, hati yang masih bisa menangis karena kisah perjuangan sesama. Air mata itu bukan tanda lemah, tetapi tanda hidupnya rasa, rasa iman, empati, dan kasih yang Allah tanamkan di dada manusia.
Saya tidak hanya melakukan study obyek lapangan, tapi juga study kehidupan. Hikmah terbesar saya temukan bukan di tempat wisata, melainkan di ujung perjalanan, di kursi bus yang Allah Subhanahu Wata'alla pilihkan untuk saya. Itulah wisata rohani saya perjalanan kecil yang menuntun hati untuk semakin mengenal kebesaran-Nya.
Cepu, 30 Oktober 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar