Rabu, 29 Oktober 2025

Kenangan di Balik Cendela Kayu

Karya : Gutamining Saida 
Mata saya menatap beberapa cendela tua yang kini tersusun rapi di sudut sebuah rumah makan bergaya klasik di pinggir kota. Cendela-cendela itu tampak gagah meski usianya sudah puluhan tahun. Catnya telah pudar, beberapa bagian kayunya mulai menghitam dimakan waktu, namun bentuknya masih tampak indah. Ada rasa hangat dan rindu yang tiba-tiba muncul seperti membuka kembali lembaran masa kecil yang tersimpan lama di sudut ingatan.

Saya teringat rumah masa kecil di kampung. Rumah orang tua  terbuat dari kayu jati campur nangka, berdiri kokoh di tengah halaman yang dikelilingi pohon mangga, jambu air, dan kelapa. Dindingnya papan, lantainya tanah kasar, dan di bagian depan terdapat deretan cendela kayu dengan bentuk khas di bagian atasnya ada angin-angin, yaitu lubang kecil miring yang berfungsi untuk tempat keluar-masuk udara. Dalam bahasa Jawa, orang menyebutnya angin-angin karena memang di situlah angin bertukar napas.

Cendela kayu itu tidak sekadar hiasan rumah. Ia seperti penjaga suasana. Pagi-pagi buta, ibu akan membuka satu per satu daun cendela, agar udara segar masuk membawa aroma embun dan suara ayam berkokok. Angin dari luar masuk pelan, menyapu tirai tipis, dan menebarkan kesejukan ke seluruh ruang tamu. Kadang saya suka berdiri di dekatnya sambil melihat sinar matahari menyelinap lewat celah angin-angin dan jatuh di lantai, membentuk garis cahaya yang indah.

Fungsi angin-angin sebenarnya sederhana yaitu untuk pergantian udara. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, keberadaannya terasa penting. Rumah-rumah kayu di desa tidak memiliki pendingin ruangan. Sirkulasi udara alami dari angin-angin membuat rumah terasa adem, tidak pengap, dan sehat. Ketika siang terik, angin masuk membawa kesejukan, dan ketika malam, udara lembut mengalir dari celah miring itu, menenangkan tidur kami yang sederhana.

Namun waktu berjalan. Era berganti. Satu per satu rumah kayu di kampung mulai dirubuhkan. Orang-orang membangun rumah baru dengan tembok bata dan atap genteng modern. Cendela kayu yang dulu menjadi kebanggaan mulai ditinggalkan. Mereka menggantinya dengan jendela aluminium atau kaca yang katanya lebih tahan lama dan praktis. Rumah-rumah pun tampak lebih modern, tapi bagi saya terasa kehilangan sesuatu. Tidak ada lagi suara derit kayu saat cendela dibuka, tidak ada aroma khas kayu tua yang lembap, dan tentu saja tidak ada angin-angin yang membuat udara bergerak bebas.

Saya masih ingat ketika rumah orang tua direnovasi. Bapak  dengan berat hati melepas cendela-cendela kayu yang sudah menemani kami puluhan tahun. “Sayang kalau dibuang,” katanya, “ini kayu jati lama, seratnya bagus.” Tapi karena dinding baru dari bata dan desainnya berbeda, cendela itu tak lagi bisa dipasang. Akhirnya bapak menyimpannya di gudang, menumpuk bersama pintu-pintu tua dan balok kayu bekas tiang rumah. Saya sempat memegangnya satu per satu. Ada bekas tangan ibu di sana  bekas cat hijau muda yang dulu ia oles sendiri di hari libur.

Waktu pun membawa perubahan besar. Banyak orang di kampung menjual rumah kayunya ke para kolektor barang antik. Potongan cendela, daun pintu, bahkan angin-angin kecil yang dulu dianggap sepele kini menjadi barang bernilai tinggi. Orang kota memburunya untuk dijadikan dekorasi rumah makan, kafe, atau tempat nongkrong bergaya vintage. Mereka menganggap barang-barang itu unik dan artistik. Padahal bagi kami, itu bukan sekadar kayu itu bagian dari kenangan hidup.

Saya singgah di Blora, melihat sebuah kafe yang menempelkan deretan cendela kayu di dindingnya. Bentuknya persis seperti yang dulu ada di rumah orang tua. Ada yang masih lengkap dengan angin-angin, ada pula yang hanya tersisa kusen dan engsel berkarat.  Di kepala terbayang kembali masa kecil yaitu suara ibu memanggil dari dapur, aroma sayur lodeh dari tungku. 

Kini, cendela-cendela itu menjadi saksi perubahan zaman. Dari fungsinya yang dulu sebagai ventilasi dan penerang rumah, kini berubah menjadi simbol nostalgia dan seni dekoratif. Orang-orang generasi muda datang ke tempat seperti itu, berfoto di depannya, lalu mengunggahnya di media sosial dengan caption, “vintage vibes.” Mungkin mereka tidak tahu, di balik setiap ukiran kayu dan derit engselnya, ada cerita kehidupan orang-orang masa lalu. Ada doa ibu, kerja keras ayah, tawa anak-anak, dan kenangan sederhana yang begitu hangat.

Melihat itu, saya tersenyum kecil. Mungkin inilah cara sejarah bekerja. Benda-benda lama tidak benar-benar hilang, hanya berganti peran. Dari saksi kehidupan menjadi pengingat, dari fungsi praktis menjadi nilai seni. Angin-angin yang dulu sekadar lubang kecil di atas jendela, kini menjadi simbol kebijaksanaan orang zaman dulu bahwa rumah bukan hanya tempat berteduh, tapi juga tempat bernapas bersama alam.

Saya melangkah keluar dari rumah makan itu. Angin siang  bertiup pelan, menembus sela dinding, seolah membisikkan pesan dari masa lalu:
“Jagalah kenanganmu, karena di sanalah akar kehidupanmu tertanam.”

Saya abadikan dengan foto di depan deretan cendela kayu itu, lalu berjalan pulang dengan hati hangat. Dalam benak, terbayang lagi rumah tua di kampung dengan angin-angin yang berdesir pelan, menebarkan kesejukan dan kenangan yang tak akan lekang oleh waktu.
Cepu, 30 Oktober 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar