Jumat, 31 Oktober 2025

Nongkrong

Karya : Gutamining Saida 
Rabu pagi anak perempuan saya  sambil tersenyum dan berkata,
“Umi, nanti kita mampir nongkrong, ya?”
Saya menatapnya sebentar, lalu mengerutkan dahi. “Nongkrong? Maksudmu bagaimana? Apa sudah buka? Umi belum paham benar itu nongkrong yang seperti apa.”
Ia tertawa kecil, lalu menjawab ringan, “Ya duduk santai aja, Mi. Ngobrol, makan, minum di tempat yang asik.”

Saya hanya mengangguk pelan, tapi di dalam hati masih ada tanda tanya besar. Apa sebenarnya makna nongkrong itu? Dalam benak saya, nongkrong terdengar seperti kegiatan yang tidak penting, hanya duduk-duduk tanpa tujuan. Tapi mungkin saya keliru, pikir saya. Mungkin bagi generasi muda, nongkrong punya arti lain  yaitu tempat bertukar cerita, melepas penat, atau sekadar menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Saya jadi teringat masa kecil  dulu, sekitar tahun 1980-an, saat saya masih remaja. Tidak ada istilah “nongkrong” seperti sekarang. Kalau kami ingin bertemu teman lama, caranya sederhana yaitu langsung saja berkunjung ke rumahnya. Kami menyebutnya silaturahmi. Tidak perlu janjian di kafe atau rumah makan. Cukup datang dengan senyum dan salam.

Biasanya, begitu sampai di rumah teman, ibu mereka akan keluar menyambut.
“Monggo, nduk, masuk… duduk di kursi. Nanti saya bikinkan teh hangat.”
Lalu kami pun duduk di ruang tamu yang sederhana, diiringi aroma teh tubruk dan suara ayam berkokok di halaman. Obrolan pun mengalir, dari cerita sekolah, kabar keluarga, hingga rencana kecil untuk ke sungai, sawah. Kami berbicara tanpa tergesa, tanpa gangguan suara musik keras atau notifikasi ponsel.

Beda sekali dengan sekarang. Generasi muda lebih suka bertemu di tempat yang mereka sebut tempat nongkrong.  Tempat seperti itu menjamur di setiap sudut ada kafe kecil dengan lampu temaram, kursi kayu panjang, aroma kopi, dan suara musik lembut. Di sana mereka duduk berjam-jam sambil memegang ponsel, sesekali tertawa, lalu memotret makanan untuk diunggah ke media sosial.

Pagi itu akhirnya saya menerima ajakan anak saya untuk “nongkrong.” Kami menuju sebuah kafe kecil di pinggir jalan raya. Tempatnya tampak modern tapi juga hangat, dengan lampu gantung dari bambu dan hiasan dinding berupa cendela kayu bekas rumah kuno  mirip seperti yang dulu ada di rumah orang tua saya.

Kami duduk di pojok ruangan. Anak perempuan saya memesan minuman berwarna oren dingin, mie, kentang goreng, sementara saya memilih nasi. Di kursi samping  saya, ada dua cewek. Saya memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu. Rupanya nongkrong itu bukan sekadar duduk tanpa arti. Mereka menikmati kebersamaan dengan caranya sendiri  sederhana, tapi penuh tawa dan cerita .

Anak saya mulai bercerita tentang temannya.  Di sela percakapan, ia sesekali mengambil foto minuman, makanannya, lalu berkata, “Buat story, Mi.” Saya tersenyum. Zaman sekarang memang penuh cerita yang dibagikan lewat layar, bukan hanya lewat kata.

Semakin lama duduk di sana, saya mulai memahami sesuatu. Nongkrong ternyata punya nilai yang mirip dengan silaturahmi zaman dulu hanya bungkusnya berbeda. Dulu, kami bertemu di rumah, sekarang mereka bertemu di kafe. Dulu minum teh tubruk dan makan singkong goreng, sekarang minum kopi susu dan kentang goreng. Tapi tujuan utamanya sama: menyambung kebersamaan, menguatkan hubungan, dan saling berbagi cerita.

Saya jadi teringat masa ketika saya muda dan sering berkunjung ke rumah sahabat saya. Kami duduk berdua di beranda rumahnya, memandangi sawah dan membicarakan cita-cita. Tidak ada musik, tidak ada kamera, hanya suara jangkrik dan angin malam. Mungkin jika sekarang saya hidup di usia mereka, saya pun akan duduk di kafe seperti ini karena zaman memang berubah, dan manusia harus belajar memahami perubahannya.

Setelah hampir setengah jam, anak saya berkata, “Mi, ternyata asik juga ya nongkrong bareng.”
Saya tersenyum, “Iya. Umi baru tahu ternyata nongkrong itu tidak sekadar duduk-duduk. Ada kehangatan juga di dalamnya.”

Saatnya kami pulang, sinar matahari mulai panas. Saya duduk di boncengan motor sambil memandangi jalanan. Hati terasa ringan. Ternyata, meskipun istilah dan caranya berubah, makna kebersamaan tetap sama dari dulu sampai sekarang. Hanya saja, kalau dulu kami menyebutnya silaturahmi, kini mereka menyebutnya nongkrong.

Saya menatap wajah anak saya yang tersenyum lewat kaca spion.
Mungkin, beginilah cara generasi sekarang mencintai waktu  bukan dengan kunjungan ke rumah, tapi dengan duduk di meja kecil sambil berbagi cerita dan tawa. Saya belajar satu hal penting hari ini yaitu selama niatnya baik dan hatinya hangat, setiap zaman punya caranya sendiri untuk menjaga tali persaudaraan.
Cepu, 31 Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar