Karya: Gutamining Saida
Namanya Chrestella Giovanna Yunianto, tapi hampir semua teman dan guru memanggilnya Lala. Gadis mungil berambut hitam sebahu ini duduk di bangku kelas 7A SMP Negeri 3 Cepu, atau yang lebih akrab disebut Esmega. Sejak awal masuk sekolah, Lala dikenal sebagai anak yang ceria, ramah, dan punya satu kelebihan yang jarang dimiliki teman-temannya yaitu suara emas.
Dari SD, Lala sudah suka menyanyi. Ia sering menirukan lagu-lagu dari penyanyi idolanya dengan penuh perasaan. Saat pertama kali di Esmega, tak banyak yang tahu bakat besarnya itu. Ia termasuk anak yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri. Tapi di balik kesederhanaannya, ada getar nada yang siap menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.
Esmega sedang mengadakan acara unjuk bakat. Outdoor sekolah berubah menjadi lautan semangat. Siswa-siswa dari beberapa kelas sibuk mempersiapkan penampilan terbaik mereka ada yang menari, bermain musik, drama, dan tentu saja, bernyanyi. Guru-guru pun tampak bersemangat menyaksikan kreativitas para siswanya.
Ketika giliran Lala kelas 7A dipanggil, suasana menjadi riuh. Lala yang awalnya tampak sedikit gugup. Namun begitu musik pengiring mulai terdengar, ekspresinya berubah. Matanya memancarkan keyakinan, seolah mengatakan, “Ini waktuku untuk menunjukkan sesuatu yang kubisa.”
Lagu yang ia pilih berjudul “Rindu Aku Rindu Kamu.” Lagu itu sederhana, tapi memiliki lirik yang dalam, menggambarkan kerinduan dan kehangatan hati. Begitu Lala mulai menyanyi, aula yang semula riuh tiba-tiba hening. Semua mata tertuju padanya. Suaranya mengalun lembut, jernih, dan penuh penghayatan. Nada demi nada keluar tanpa paksaan, seolah mengalir dari hatinya yang paling dalam.
Sementara itu, para siswa sebagai penonton tampak terpaku. Bahkan yang semula sibuk merekam dengan ponsel mulai menurunkan kameranya ingin menikmati suara merdu itu secara langsung. Saat momen paling mengejutkan datang ketika lagu memasuki bagian reffrain. Suara Lala makin tinggi, namun tetap lembut dan stabil. Aura panggung benar-benar dikuasainya. Penonton bersorak, dan beberapa siswi yang duduk di barisan tengah tiba-tiba maju ke depan panggung. Mereka ikut berjoget pelan mengikuti irama lagu. Beberapa bertepuk tangan, beberapa melambai-lambaikan tangan sambil berteriak kecil penuh semangat.
Sorakan semakin ramai ketika salah satu penonton perempuan spontan mengeluarkan uang dua ribuan dan mengulurkannya ke Lala. Disusul penonton lain yang melakukan hal sama. Suasana menjadi meriah bukan karena sawerannya, tapi karena kebahagiaan yang tulus dari teman-temannya yang bangga melihat keberanian Lala tampil di panggung.
Setelah lagu usai, tepuk tangan menggema keras di seluruh aula. Lala menunduk, tersenyum malu. Pipinya tampak sedikit merah. Seorang teman dari kelasnya menghampiri dan menepuk bahunya, “Hebat banget, Lala! Suaramu kayak penyanyi beneran!”
Penampilan Lala yang memukau, keberanian dan ketulusan yang terpancar darinya. Di usia SMP, ia sudah berani menunjukkan bakatnya di depan banyak orang. Lebih dari itu, ia tampil bukan untuk mencari pujian, melainkan karena cinta pada musik dan keberanian mengekspresikan diri.
Ketika acara usai dan semua kembali ke kelas, saya melihat Lala duduk sambil memandangi dua lembar uang dua ribuan di tangan. Ia tampak memikirkan sesuatu. Mungkin tentang perjuangannya tampil, mungkin tentang kebahagiaan kecil yang baru saja ia rasakan.
Dan di situlah letak keindahan sebenarnya dari bakat bukan sekadar kemampuan bernyanyi indah, tapi bagaimana suara itu bisa menyentuh hati orang lain, menghidupkan semangat, dan menghadirkan kebahagiaan bersama.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar