Jumat, 17 Oktober 2025

Vino oh Vino



Karya: Gutamining Saida

Suasana ruang kelas 7G terasa seperti pasar kecil. Suara siswa bersahut-sahutan seperti burung-burung di pepohonan selepas hujan. Meja-meja berderit pelan saat didorong ke kanan dan kiri, dan tawa bersambut dari satu sisi ke sisi lain. Begitulah setiap kali saya memasuki kelas ini  kelas yang penuh semangat, penuh cerita, dan tentu saja… penuh tantangan.

Saya mengajar mata pelajaran IPS dengan topik “Interaksi Manusia dengan Alam”. Materi yang sebenarnya sangat menarik jika disampaikan dalam suasana tenang dan kondusif. Tapi di kelas 7G, ketenangan adalah barang langka.

Baru saja saya mengucapkan, “Anak-anak, hari ini kita akan membahas tentang interaksi manusia dengan alam…” tiba-tiba dari pojok belakang sudah terdengar sahutan,
“Bu, alam itu gunung ya?”
“Bukan, laut bu!”
“Eh, sawah juga termasuk, kan bu?”

Saya belum sempat menjawab satu pun, tapi mereka sudah seperti adu cepat bicara. Saya hanya bisa tersenyum kecut sambil menarik napas panjang. Kadang saya merasa seperti sedang menonton pertunjukan lawak dadakan.

Setelah beberapa detik, saya memutuskan untuk diam. Diam saja. Biasanya, kalau saya diam, kelas akan perlahan sadar bahwa suasananya sudah terlalu ramai. Benar saja, beberapa siswa mulai menatap saya, lalu memberi kode pada teman-temannya.
“Eh, diam! udah diam tuh,” bisik salah satu.
“Sudah… sudah… ayo dengerin,” kata yang lain sambil menepuk bahu temannya yang masih asyik bicara.

Akhirnya saya tersenyum lagi. “Nah, sekarang sudah bisa tenang, kan?” tanya saya. Mereka serentak menjawab, “Bisa, Bu!”
Saya pun melanjutkan pelajaran. Saya jelaskan bahwa manusia dan alam saling berinteraksi manusia memanfaatkan sumber daya alam untuk hidup, dan alam pun bisa memberikan peringatan ketika manusia berlebihan. Saya tekankan bahwa sebagai hamba Allah yang beriman, kita harus bersyukur atas segala nikmat alam dengan cara beribadah dan menjaga lingkungan.

Lalu saya berkata, “Sebagai rasa syukur, kita juga harus rajin beribadah. Bahkan ada yang menambah ibadah di malam hari dengan salat.”

Belum sempat saya melanjutkan penjelasan, tiba-tiba terdengar suara yang sudah sangat familiar di telinga saya.
Saya, Bu!” seru seseorang dengan penuh semangat.

Yaitu Vinonamanya. Anak laki-laki kecil dengan tubuh mungil, tapi suaranya luar biasa nyaring. Kalau dia bicara, bisa terdengar sampai luar jendela. Dia termasuk siswa yang tidak bisa diam lebih dari lima menit. Ada saja yang dia ucapkan, baik itu serius maupun asal-asalan. Tapi itulah yang membuat suasana kelas menjadi hidup.

Saya tersenyum mendengar jawabannya. “Wah, bagus sekali, Vino. Jadi kamu sering bangun malam untuk salat, ya?”

Vino mengangguk cepat. “Iya, Bu!” jawabnya dengan wajah yakin.

“Masyaallah,” kata saya memuji. “Salat apa kamu kalau malam, Vino?”

Tanpa berpikir lama, ia menjawab mantap, “Salat Maghrib, Bu!”

Hening sepersekian detik. Lalu kelas 7G meledak dalam tawa.
Seluruh siswa tertawa geli, beberapa bahkan menepuk meja sambil berkata, “Aduh, Vino! Maghrib kan bukan malam buta!”
Ada juga yang berkata, “Itu sore, Vin! Soreee!”

Saya pun tidak bisa menahan tawa. Tapi saya mencoba menjaga suasana agar tidak mempermalukan Vino.
“Tidak apa-apa, Vino,” kata saya sambil tersenyum lembut. “Yang penting kamu sudah berusaha menjawab. Mungkin maksudmu salat Tahajud, ya?”

Vino menatap saya polos, tidak menjawab. Ia tampak tidak mengerti kenapa teman-temannya tertawa begitu keras. Lima menit berlalu, suasana kelas mulai tenang lagi.
Tiba-tiba, dari bangkunya, Vino ikut tertawa sendiri sambil menepuk dahinya, “Oalah… iya Bu, Maghrib itu sore ya!”

Tawa pun kembali pecah, tapi kali ini lebih hangat. Semua siswa tertawa bersama, bukan untuk mengejek, tapi karena lucu dengan keluguan Vino. Saya ikut tertawa kecil sambil menggeleng.

Vino memang istimewa. Kadang saya harus menegur karena terlalu banyak bicara, tapi di sisi lain, kelas akan terasa sepi tanpanya. Ia seperti sumber energi bagi teman-temannya. Jika pelajaran mulai lesu, biasanya Vino yang memecah kebekuan dengan komentar lucunya.

Setelah kejadian itu, saya melanjutkan materi dengan metode tanya jawab.
“Baik, sekarang siapa yang bisa memberi contoh interaksi manusia dengan alam dalam kehidupan sehari-hari?”

Beberapa tangan terangkat. Tapi tentu saja, yang paling cepat menjawab adalah Vino.
“Kalau saya buang sampah ke sungai, itu interaksi juga, Bu?” katanya.
“Betul,” jawab saya. “Tapi itu contoh interaksi yang negatif. Harusnya sampah dibuang di tempatnya supaya tidak mencemari air.”

“Berarti kalau saya bantu ayah menanam cabai, itu interaksi positif ya, Bu?” sambungnya.
Saya tersenyum bangga. “Nah, itu baru bagus! Itu contoh interaksi manusia dengan alam yang bermanfaat.”

Beberapa teman Vino mengacungkan jempol padanya. Vino tampak senang sekali. Saya tahu di balik kelucuannya, anak ini punya rasa ingin tahu yang tinggi dan semangat belajar yang luar biasa. Hanya saja, cara menyalurkannya sering kali tidak pada waktu yang tepat.

Menjelang akhir pelajaran, saya meminta siswa menulis refleksi tentang apa yang mereka pelajari hari ini. Saya berjalan berkeliling kelas, melihat tulisan mereka satu per satu. Saat sampai di meja Vino, saya melihat ia menulis dengan huruf besar-besar:

Saya akan berinteraksi baik dengan alam dan rajin salat malam, tapi bukan Maghrib lagi, Bu! Hehehe…

Saya tertawa kecil membaca kalimatnya. Lucu, polos, tapi penuh makna. Saya tepuk bahunya pelan. “Bagus, Vino. Ibu senang kamu mau belajar dari kesalahan. Itu artinya kamu anak yang hebat.” Ketika bel tanda akhir pelajaran berbunyi, anak-anak langsung berhamburan keluar kelas sambil bercanda. Namun sebelum pergi, Vino menoleh ke saya dan berkata,

“Bu, nanti kalau saya sudah bisa salat Tahajud sungguhan, saya cerita ya!”

Saya tersenyum hangat. “Iya, Vino. Ibu tunggu ceritanya.”

Di balik semua kerepotan menghadapi kelas 7G, saya sadar satu hal bahwa mereka memang ramai, tapi dari keriuhan itulah lahir tawa, kejujuran, dan pelajaran berharga bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk saya sendiri.

Cepu, 17 Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar