Sabtu, 11 Oktober 2025

Sarapan Dengan Menu Urap

Karya : Gutamining Saida 
Sekitar pukul 08.30 WIB, dering notifikasi WhatsApp terdengar dari meja kerja. Saat itu suasana pagi masih terasa segar, meskipun udara Cepu mulai beranjak hangat. Di sela-sela menunaikan tugas mencerdaskan anak bsngsa, ponsel saya bergetar beberapa kali menandakan ada pesan masuk. Saya belum sempat melihatnya, sebab pelajaran baru saja selesai dan beberapa siswa masih berada di kelas, membereskan alat tulis dan berpamitan menuju ruang guru. Seperti biasa, saya tersenyum melihat semangat mereka yang tak pernah hilang meski jam pelajaran IPS kadang membuat kepala mereka berkerut.

Beberapa saat kemudian, ketika suasana mulai tenang dan ruang guru tak seramai tadi, saya membuka ponsel. Ternyata di antara beberapa pesan yang masuk, satu nama menarik perhatian saya yaitu Bu Endang. Ah, nama itu langsung mengalirkan kenangan indah. Beliau adalah teman mengajar saya sewaktu masih bertugas di SMPN 1 Kedungtuban, guru Bahasa Inggris yang selalu ramah, penuh canda, dan tak pernah lupa menyapa dengan senyum hangat setiap pagi.

Saya membuka chat itu dengan hati berdebar kecil, semacam rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak. Di layar tampak sebuah fotoyaiti sebungkus  urap lengkap dengan taburan kelapa parut berwarna putih kekuningan, berpadu dengan sayur kangkung, kecambah, dan potongan kacang panjang. Di dekatnya ada bungkusan nasi jagung.

Di bawah foto itu, Bu Endang menulis:
“Assalamualaikum, ini urap, katanya. Ingat saat kita makan pagi bersama dengan menu urap. ”

Saya tak bisa menahan senyum. Rasa rindu seketika menelusup di dada. Pagi-pagi di Kedungtuban dulu memang penuh kenangan, terutama saat kami para guru berkumpul di ruang guru menikmati sarapan sederhana tapi hangat suasananya. Penjualnya seorang ibu paruh baya yang biasa datang ke sekolah setiap pagi dengan membawa tas besar di atas sepeda onthel. Dia membawa aneka makanan tradisional diantaranya urap, nasi jagung, ketela rebus, gethuk, dan kadang juga kacang godok. 

Kami para guru sering bergantian membeli, lalu duduk melingkar sambil berbagi cerita ringan tentang siswa, kelas, dan hal-hal lucu yang terjadi di sekolah. Bu Endang dan saya paling sering memilih urap. Katanya, “Urap itu makanan yang menyehatkan dan membangkitkan semangat. Ada sayur, ada sambal, dan ada kebersamaan di setiap suapnya.” Kami pun selalu tertawa mendengar gaya bicaranya yang khas dan penuh semangat.

Namun, waktu berjalan begitu cepat. Tugas membawa saya berpindah ke Cepu. Hari-hari sarapan bersama itu tinggal kenangan. Kadang saya masih teringat aroma daun pisang yang membungkus nasi jagung, atau rasa pedas gurih urap yang membuat kami sering berebut sambal tambahan. Semua terasa sederhana, tapi justru di situlah kebahagiaannya.

Setelah jam istirahat pertama, saya sempatkan membuka kembali pesan dari Bu Endang. Saya membaca lagi kalimatnya perlahan, seolah sedang mengulang memori lama. Lalu saya pun mengetik balasan dengan hati hangat:

“Waalaikumsalam, Bu Endang. Terima kasih, ya. Semoga lain kesempatan kita bisa sarapan bersama lagi dengan menu urap. Jangan kuatir, hari ini pun kita tetap sarapan bareng  dengan menu yang sama, hanya saja tempatnya berbeda. Bu Endang di Kedungtuban, saya di Cepu.”

Saya menambahkan sebuah foto sebagai balasan. Foto bekal sarapan saya pagi ini, yang kebetulan juga urap. Di dalam kotak makan berwarna putih, tersaji urap sederhana buatan rumah yaitu kacang panjang, taoge, wortel rebus, dan parutan kelapa berbumbu kencur. Ada juga telur rebus yang masih hangat. Saya menatap foto itu sejenak sebelum mengirimnya, sambil bergumam pelan, “Memang kita sehati.”

Tak lama kemudian, Bu Endang membalas dengan emoji senyum dan tulisan, “Masya Allah, kok bisa sama ya? Rezeki memang punya caranya sendiri mempertemukan rasa.” Kami pun berbagi tawa kecil lewat pesan singkat itu, meski jarak memisahkan.

Siang hari, ketika saya duduk di ruang guru sambil menikmati istirahat, pikiran saya melayang lagi ke masa-masa itu. Saya teringat betapa setiap pagi di Kedungtuban selalu diawali dengan sapaan, aroma kopi, dan canda antar guru. Tak ada yang terburu-buru meskipun pekerjaan banyak. Kami percaya bahwa kebersamaan sederhana bisa jadi energi besar untuk mengajar dengan hati.

Kini, meski sudah berbeda sekolah, saya belajar satu hal dari percakapan pagi ini bahwa kenangan baik tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah tempat, dari sebuah ruang kecil di sekolah menjadi ruang hangat di hati. Sama seperti urap yang tidak hanya sekadar makanan, melainkan simbol persahabatan, kerendahan hati, dan cinta terhadap kesederhanaan.

Urap itu mengingatkan saya bahwa kebersamaan tak harus duduk berdampingan. Cukup dengan saling mengingat, berbagi foto, dan sedikit kata hangat, rasa kedekatan itu tetap hidup. Kami tetap sehati bukan karena sering bertemu, tapi karena masih menaruh makna yang sama dalam setiap hal kecil yang dulu kami lakukan bersama.

Menjelang sore, langit Cepu mulai redup. Saya membuka pesan dari Bu Endang. Foto urap itu masih terpampang di layar. Saya menatapnya lama-lama, lalu tersenyum dalam diam. Dalam hati saya berdoa, semoga suatu hari nanti, entah di acara reuni atau sekadar mampir di Kedungtuban, kami bisa duduk lagi di ruang yang sama. Menikmati sebungkus  urap, sambil tertawa ringan seperti dulu karena rasa rindu kadang memang bisa disembuhkan hanya dengan suapan pertama dari makanan yang pernah kita bagi bersama. Saya benar-benar merasa bahagia. Bukan karena urapnya, tapi karena rasa yang sama masih hidup, meski jarak sudah jauh.
Cepu, 11 Oktober 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar