Karya : Gutamining Saida
Di sebuah sudut kota kecil
bernama Padangan, yang terletak di perbatasan antara Bojonegoro dan Cepu
kabupaten Blora, berdiri sebuah rumah tua di dusun Kalangan Desa Padangan
dengan dinding tebal dan jendela besar bergaya kolonial Belanda. Rumah itu eks
rumah Haji Ali Rasyad tampak kokoh. Setiap sore, cahaya matahari yang condong
ke barat menembus kisi-kisi jendela, lantai ubin yang dingin dan mengilap.
Rumah ini dikenal warga sebagai “Rumah
Kuno”, peninggalan masa kolonial yang sudah berumur lebih dari seratus
tahun. Konon rumah itu dulu milik seorang pengusaha tembakau yang bekerja sama
dengan Belanda. Walaupun pemiliknya sudah lama meninggal, rumah itu masih
dijaga oleh keturunannya yang menetap di Padangan.
Setiap kali ada kegiatan napak
tilas sejarah lokal, rumah tua itu menjadi salah satu tujuan utama. Para
pengunjung, baik dari sekolah maupun masyarakat umum, datang untuk melihat
langsung jejak masa lalu yang tersimpan di dalamnya.
Begitu melangkah masuk ke halaman
rumah, suasana masa lalu seakan hidup kembali. Di bagian dalam, ruangan utama
terasa sejuk Meja panjang dari jati berdiri di tengah ruangan, di atasnya
terdapat mesin ketik tua berwarna hitam. Huruf-huruf di papan ketik
sudah mulai pudar, namun masih dapat dibaca jelas Bagi generasi sekarang, benda
itu mungkin hanya barang antik, tetapi bagi mereka yang tahu sejarah, mesin
ketik itu menyimpan kisah panjang. Dulu, mesin itu digunakan untuk mengetik
surat-surat penting, laporan hasil panen tembakau, bahkan surat cinta yang
dikirim melalui kantor pos.
Tak jauh dari mesin ketik,
terdapat telepon kuno dengan gagang berwarna merah dan silver. Bentuknya
unik besar. Zaman dahulu, telepon seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang
penting atau pejabat Belanda. Telepon itu menjadi sarana komunikasi utama
antara pemilik rumah dengan kantor dan rekan bisnisnya di kota besar seperti
Surabaya dan Semarang. Sekarang, ketika kita bisa berbicara dengan siapa saja
hanya lewat sentuhan layar ponsel, telepon itu tampak seperti saksi bisu
kemajuan teknologi yang luar biasa.
Yang paling menarik perhatian
para pengunjung adalah setrika besi kuno yang disimpan di rak almari.
Bentuknya berat, terbuat dari logam hitam pekat dengan pegangan dari kayu. Sebelum
ada listrik, setrika seperti ini menjadi alat utama untuk menghaluskan pakaian.
Asap arang yang keluar dari celah kecil membuat ruangan beraroma khas, dan
panasnya bisa membuat kain benar-benar licin dan rapi. Meski penggunaannya
merepotkan, setrika itu menjadi simbol kesabaran dan ketekunan orang zaman
dulu.
Selain benda-benda itu, rumah tua
di Padangan juga menyimpan koleksi keramik asli dari Cina. Vas berlukis
biru-putih tersusun rapi di rak kayu jati. Motif batik menghiasi permukaannya.
Menurut cerita penjaga rumah, keramik-keramik itu dibawa oleh pedagang Tionghoa
yang singgah di pelabuhan Tuban dan kemudian berdagang hingga ke pedalaman
Jawa, termasuk Padangan. Barang-barang seperti itu menjadi simbol kemakmuran
sekaligus tanda hubungan dagang antara masyarakat lokal dan bangsa asing pada
masa lampau. Keramik Cina yang menjadi bukti betapa terbukanya masyarakat
Nusantara terhadap pengaruh luar sejak berabad-abad silam.
Rumah ini bukan sekadar bangunan tua, tapi juga cermin masa lalu yang membentuk siapa kita sekarang. Menjelang sore, ketika matahari mulai tenggelam, rumah tua itu kembali sunyi. Namun keheningan itu justru terasa hangat, seolah dinding-dindingnya menyimpan ribuan cerita yang menunggu untuk diceritakan kembali.
Bagi warga Padangan, rumah kuno
ini bukan sekadar bangunan peninggalan masa kolonial, tetapi warisan
berharga yang harus dijaga. Di sanalah jejak masa lalu berpadu dengan napas
kehidupan masa kini, mengingatkan bahwa kemajuan tak akan berarti tanpa
mengenal asal-usul.
Cepu, 6 Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar