Senin, 06 Oktober 2025

Kisah dari Rumah Tua di Padangan

 



Karya : Gutamining Saida

Di sebuah sudut kota kecil bernama Padangan, yang terletak di perbatasan antara Bojonegoro dan Cepu kabupaten Blora, berdiri sebuah rumah tua di dusun Kalangan Desa Padangan dengan dinding tebal dan jendela besar bergaya kolonial Belanda. Rumah itu eks rumah Haji Ali Rasyad tampak kokoh. Setiap sore, cahaya matahari yang condong ke barat menembus kisi-kisi jendela, lantai ubin yang dingin dan mengilap.

Rumah ini dikenal warga sebagai “Rumah Kuno”, peninggalan masa kolonial yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. Konon rumah itu dulu milik seorang pengusaha tembakau yang bekerja sama dengan Belanda. Walaupun pemiliknya sudah lama meninggal, rumah itu masih dijaga oleh keturunannya yang menetap di Padangan.

Setiap kali ada kegiatan napak tilas sejarah lokal, rumah tua itu menjadi salah satu tujuan utama. Para pengunjung, baik dari sekolah maupun masyarakat umum, datang untuk melihat langsung jejak masa lalu yang tersimpan di dalamnya.

Begitu melangkah masuk ke halaman rumah, suasana masa lalu seakan hidup kembali. Di bagian dalam, ruangan utama terasa sejuk Meja panjang dari jati berdiri di tengah ruangan, di atasnya terdapat mesin ketik tua berwarna hitam. Huruf-huruf di papan ketik sudah mulai pudar, namun masih dapat dibaca jelas Bagi generasi sekarang, benda itu mungkin hanya barang antik, tetapi bagi mereka yang tahu sejarah, mesin ketik itu menyimpan kisah panjang. Dulu, mesin itu digunakan untuk mengetik surat-surat penting, laporan hasil panen tembakau, bahkan surat cinta yang dikirim melalui kantor pos.

Tak jauh dari mesin ketik, terdapat telepon kuno dengan gagang berwarna merah dan silver. Bentuknya unik besar. Zaman dahulu, telepon seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang penting atau pejabat Belanda. Telepon itu menjadi sarana komunikasi utama antara pemilik rumah dengan kantor dan rekan bisnisnya di kota besar seperti Surabaya dan Semarang. Sekarang, ketika kita bisa berbicara dengan siapa saja hanya lewat sentuhan layar ponsel, telepon itu tampak seperti saksi bisu kemajuan teknologi yang luar biasa.

Yang paling menarik perhatian para pengunjung adalah setrika besi kuno yang disimpan di rak almari. Bentuknya berat, terbuat dari logam hitam pekat dengan pegangan dari kayu. Sebelum ada listrik, setrika seperti ini menjadi alat utama untuk menghaluskan pakaian. Asap arang yang keluar dari celah kecil membuat ruangan beraroma khas, dan panasnya bisa membuat kain benar-benar licin dan rapi. Meski penggunaannya merepotkan, setrika itu menjadi simbol kesabaran dan ketekunan orang zaman dulu.

Selain benda-benda itu, rumah tua di Padangan juga menyimpan koleksi keramik asli dari Cina. Vas berlukis biru-putih tersusun rapi di rak kayu jati. Motif batik menghiasi permukaannya. Menurut cerita penjaga rumah, keramik-keramik itu dibawa oleh pedagang Tionghoa yang singgah di pelabuhan Tuban dan kemudian berdagang hingga ke pedalaman Jawa, termasuk Padangan. Barang-barang seperti itu menjadi simbol kemakmuran sekaligus tanda hubungan dagang antara masyarakat lokal dan bangsa asing pada masa lampau. Keramik Cina yang menjadi bukti betapa terbukanya masyarakat Nusantara terhadap pengaruh luar sejak berabad-abad silam.

Rumah ini bukan sekadar bangunan tua, tapi juga cermin masa lalu yang membentuk siapa kita sekarang. Menjelang sore, ketika matahari mulai tenggelam, rumah tua itu kembali sunyi. Namun keheningan itu justru terasa hangat, seolah dinding-dindingnya menyimpan ribuan cerita yang menunggu untuk diceritakan kembali.

Bagi warga Padangan, rumah kuno ini bukan sekadar bangunan peninggalan masa kolonial, tetapi warisan berharga yang harus dijaga. Di sanalah jejak masa lalu berpadu dengan napas kehidupan masa kini, mengingatkan bahwa kemajuan tak akan berarti tanpa mengenal asal-usul.

Cepu, 6 Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar