Minggu, 12 Oktober 2025

Nasgor Timi

 

Karya: Gutamining Saida

Beberapa hari terakhir, suasana rumah di kota Tegal terasa sedikit berbeda. Biasanya tawa riang Zaskia selalu terdengar di antara suara adiknya, Hamzah dan Elmira, yang saling berebut mainan atau bercerita tentang hal-hal kecil yang mereka alami di sekolah dan rumah. Tapi kali ini, suasana menjadi lebih sunyi. Zaskia, cucu pertama yang biasanya paling cerewet dan ceria, tampak lemas. Nafsu makannya menurun. Katanya semua makanan terasa pahit di lidah.

Uminya, yang khawatir melihat putrinya begitu, mencoba berbagai cara. Kadang dibujuk dengan makanan kesukaan, kadang disuapi dengan lelucon, bahkan sempat dijanjikan hadiah jika mau makan dengan lahap. Tapi hasilnya tetap sama. Zaskia hanya menggeleng pelan, menolak setiap suapan, dan berbisik, “Pahit, Mi…”

Pagi itu, udara Tegal terasa agak hangat. Matahari sudah tinggi, tapi angin berembus lembut dari arah utara. Umi Zaskia sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Hamzah dan Elmira sedang bermain mobil-mobilan di ruang tengah. Tiba-tiba terdengar suara pelan dari kamar:
“Mi… aku mau nasi goreng…”

Umi segera menoleh. Ia tersenyum, merasa sedikit lega mendengar permintaan itu. “Alhamdulillah, Zaskia mau makan juga akhirnya,” gumamnya. Dengan cepat ia menyiapkan bahan-bahan: nasi semalam, bawang putih, bawang merah, telur, kecap manis, dan sedikit potongan ayam. Ia menumis dengan semangat penuh harapan. Aroma harum nasi goreng segera memenuhi dapur, membuat Hamzah dan Elmira ikut berlarian menghampiri.

Namun begitu nasi goreng disajikan di depan Zaskia, anak itu malah menatapnya lama. Ia hanya memegang sendok sebentar, mencicip sedikit, lalu mengerutkan dahi.
“Mi… rasanya beda,” katanya lirih.
“Lho, kenapa? Kan umi masaknya pakai resep Timi juga.”
“Enggak… ini bukan nasi goreng Timi…” jawabnya sambil menatap nasi goreng yang masih mengepulkan asap.

Umi terdiam. Ada rasa hangat menyelinap di hatinya antara haru dan sedih. Rupanya Zaskia merindukan neneknya, yang biasa ia panggil Timi. Timi tinggal di Cepu, sekitar lima jam perjalanan dengan kereta api dari Cepu - Tegal. Biasanya, setiap beberapa bulan sekali, Timi datang berkunjung. Saat itu, rumah selalu terasa lebih hidup. Zaskia selalu menyambut dengan pelukan hangat, Hamzah sibuk memamerkan mainan barunya, sementara Elmira menempel terus di pangkuan Timi. Salah satu momen paling ditunggu adalah saat Timi memasak di dapur.

Nasi goreng Timi memang punya cita rasa khas. Entah karena bumbunya, entah karena tangannya yang lembut, atau mungkin karena dibuat dengan penuh kasih sayang. Setiap kali nasi goreng itu dihidangkan, Zaskia pasti makan dengan lahap. Ia bahkan pernah berkata sambil tersenyum lebar, “Kalau Timi yang masak, rasanya kayak pelukan.”

Sore harinya, Umi mencoba membujuk lagi.
“Zaskia, kalau nasi goreng buatan umi nggak mau, gimana kalau beli di warung aja? Nasi goreng warung Pak Darto enak, lho. Ada telur ceploknya juga.”
Tapi Zaskia menggeleng pelan.
“Enggak, Mi. Besok aja… kalau Timi ke sini, baru aku mau makan nasi goreng.”

Jawaban itu membuat Umi terdiam lama. Ia sadar, bukan soal rasa nasi gorengnya yang berbeda, tapi rasa rindu yang mengendap di hati anak kecil itu. Rindu pada tangan hangat Timi yang selalu mengelus rambutnya, rindu pada suara lembut yang memanggil namanya dengan penuh kasih, dan rindu pada suasana dapur yang harum dengan tumisan bumbu sederhana namun penuh cinta.

Malam itu, Umi menghubungi Timi lewat video call. Wajah Timi muncul di layar ponsel, senyum lembutnya langsung membuat Zaskia menatap dengan mata berbinar.
“Timi…” panggilnya pelan.
“Ya, Kakak… kenapa wajahnya lesu gitu? Belum makan ya?” tanya Timi dengan suara lembut.
Zaskia mengangguk kecil. “Semua makanan pahit, Tim. Tapi aku pingin nasi goreng Timi.”
Timi tertawa kecil, menahan haru. “Wah, berarti Timi harus ke Tegal nih, ya?”
Zaskia tersenyum lemah tapi matanya berbinar, “Iya, besok ya, Tim? Aku mau makan nasi goreng bareng Timi.”

Percakapan itu berakhir dengan janji kecil. Timi berusaha menenangkan cucunya, lalu menatap Umi di layar sambil berbisik, “Insyaallah besok bila ada waktu ya.”



Tanpa menunggu lama, Timi langsung menuju dapur. Ia menyiapkan bahan-bahan sederhana: nasi, telur, bawang merah, bawang putih, kecap manis, sedikit garam dan cinta yang melimpah. Sementara bumbu ditumis, aroma harum menyebar ke seluruh rumah. Hamzah dan Elmira ikut mengintip dari balik pintu dapur, sementara Zaskia duduk menunggu dengan sabar.

Ketika nasi goreng itu akhirnya disajikan, Zaskia menatapnya dengan mata berbinar. Ia mencicip satu suapan, lalu tersenyum lebar.
“Nah, ini baru nasi goreng Timi!” katanya senang.

Semua orang tertawa lega. Umi ikut tersenyum haru, melihat putrinya makan dengan lahap untuk pertama kalinya setelah beberapa hari. Di antara sendok dan tawa kecil itu, Timi tahu—rasa yang paling penting dalam masakan bukanlah bumbu atau teknik, melainkan cinta dan kenangan yang melekat di setiap suapan.

Sejak hari itu, Zaskia mulai sehat kembali. Ia sering berkata, “Kalau nanti Timi pulang ke Tegal , aku mau belajar masak nasi goreng Timi, biar rasanya selalu ada di rumah ini.”
Dan Timi, dengan senyum lembutnya, menjawab,
“Boleh, sayang. Karena nasi goreng paling enak adalah yang dimasak dengan hati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar