Karya: Gutamining Saida
Beberapa hari terakhir, suasana rumah di kota Tegal terasa sedikit berbeda. Biasanya tawa riang Zaskia selalu terdengar di antara suara adiknya, Hamzah dan Elmira, yang saling berebut mainan atau bercerita tentang hal-hal kecil yang mereka alami di sekolah dan rumah. Tapi kali ini, suasana menjadi lebih sunyi. Zaskia, cucu pertama yang biasanya paling cerewet dan ceria, tampak lemas. Nafsu makannya menurun. Katanya semua makanan terasa pahit di lidah.
Uminya, yang khawatir melihat putrinya begitu, mencoba berbagai cara. Kadang dibujuk dengan makanan kesukaan, kadang disuapi dengan lelucon, bahkan sempat dijanjikan hadiah jika mau makan dengan lahap. Tapi hasilnya tetap sama. Zaskia hanya menggeleng pelan, menolak setiap suapan, dan berbisik, “Pahit, Mi…”
Umi segera menoleh. Ia tersenyum, merasa sedikit lega mendengar permintaan itu. “Alhamdulillah, Zaskia mau makan juga akhirnya,” gumamnya. Dengan cepat ia menyiapkan bahan-bahan: nasi semalam, bawang putih, bawang merah, telur, kecap manis, dan sedikit potongan ayam. Ia menumis dengan semangat penuh harapan. Aroma harum nasi goreng segera memenuhi dapur, membuat Hamzah dan Elmira ikut berlarian menghampiri.
Umi terdiam. Ada rasa hangat menyelinap di hatinya antara haru dan sedih. Rupanya Zaskia merindukan neneknya, yang biasa ia panggil Timi. Timi tinggal di Cepu, sekitar lima jam perjalanan dengan kereta api dari Cepu - Tegal. Biasanya, setiap beberapa bulan sekali, Timi datang berkunjung. Saat itu, rumah selalu terasa lebih hidup. Zaskia selalu menyambut dengan pelukan hangat, Hamzah sibuk memamerkan mainan barunya, sementara Elmira menempel terus di pangkuan Timi. Salah satu momen paling ditunggu adalah saat Timi memasak di dapur.
Nasi goreng Timi memang punya cita rasa khas. Entah karena bumbunya, entah karena tangannya yang lembut, atau mungkin karena dibuat dengan penuh kasih sayang. Setiap kali nasi goreng itu dihidangkan, Zaskia pasti makan dengan lahap. Ia bahkan pernah berkata sambil tersenyum lebar, “Kalau Timi yang masak, rasanya kayak pelukan.”
Jawaban itu membuat Umi terdiam lama. Ia sadar, bukan soal rasa nasi gorengnya yang berbeda, tapi rasa rindu yang mengendap di hati anak kecil itu. Rindu pada tangan hangat Timi yang selalu mengelus rambutnya, rindu pada suara lembut yang memanggil namanya dengan penuh kasih, dan rindu pada suasana dapur yang harum dengan tumisan bumbu sederhana namun penuh cinta.
Percakapan itu berakhir dengan janji kecil. Timi berusaha menenangkan cucunya, lalu menatap Umi di layar sambil berbisik, “Insyaallah besok bila ada waktu ya.”
Tanpa menunggu lama, Timi langsung menuju dapur. Ia menyiapkan bahan-bahan sederhana: nasi, telur, bawang merah, bawang putih, kecap manis, sedikit garam dan cinta yang melimpah. Sementara bumbu ditumis, aroma harum menyebar ke seluruh rumah. Hamzah dan Elmira ikut mengintip dari balik pintu dapur, sementara Zaskia duduk menunggu dengan sabar.
Semua orang tertawa lega. Umi ikut tersenyum haru, melihat putrinya makan dengan lahap untuk pertama kalinya setelah beberapa hari. Di antara sendok dan tawa kecil itu, Timi tahu—rasa yang paling penting dalam masakan bukanlah bumbu atau teknik, melainkan cinta dan kenangan yang melekat di setiap suapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar