Karya : Gutamining Saida
Beberapa waktu terakhir, saya merasa kehilangan sesuatu. Bukan benda, bukan seseorang tapi semangat yang dulu membuat saya selalu hidup yaitu semangat menulis. Biasanya, sesibuk apa pun, saya selalu bisa menyelipkan satu waktu untuk menulis satu judul, satu paragraf, atau bahkan hanya sebaris kalimat. Tapi belakangan, layar kosong terasa begitu jauh. Kursor berkedip seperti menatap, menunggu saya kembali, sementara saya sendiri ragu harus mulai dari mana.
Awalnya saya pikir, saya hanya sibuk. Tapi lama-kelamaan saya sadar, bukan sibuk yang membuat saya berhenti. Saya berhenti karena kehilangan arah. Karena lupa alasan mengapa dulu saya begitu mencintai menulis.
Suatu hari, saat mengajar, saya melihat seorang siswa menggambar di kertas bekas. Gambarnya sederhana tapi penuh semangat. Ketika saya tanya, ia menjawab, “Saya suka menggambar, Bu. Rasanya enak, kayak ada angin di kepala.” Kalimat itu menampar saya lembut. Bukankah dulu menulis juga membuat saya merasa begitu? Lapang, bebas, seperti ada angin di kepala?
Sore itu saya membuka kembali buku catatan lama. Di sana masih ada beberapa ide yang belum sempat diselesaikan. Saya menulis satu kalimat kecil yaitu
“Kadang, semangat tidak mati. Ia hanya menunggu ditemukan kembali.”
Kalimat itu seperti kunci kecil. Dari situ saya mulai menulis lagi, pelan-pelan, tanpa beban. Tentang murid, tentang tawa di ruang guru, tentang hujan yang membawa aroma tanah, tentang hal-hal sederhana yang sering terlewat. Saya menulis tanpa memikirkan siapa yang akan membaca. Saya menulis karena ingin bicara dengan diri sendiri.
Hingga suatu malam, saya mengetik tulisan berjudul “Tentang Hal-Hal Kecil yang Membuat Hidup Tidak Biasa.” Isinya tentang rasa syukur di tengah rutinitas, tentang bahagianya menikmati momen sederhana. Saya menulis dengan hati, dan ketika menekan tombol unggah, saya merasa seperti pulang ke rumah yang lama ditinggalkan.
Beberapa hari kemudian, pesan dan komentar mulai berdatangan.
“Bu, akhirnya menulis lagi!”
“Saya kangen tulisan Ibu.”
“Terima kasih sudah kembali.”
Saya tersenyum. Bukan karena pujian, tapi karena saya tahu bahwa saya sudah menemukan diri saya kembali. Sekarang, menulis bukan lagi sekadar kegiatan. Ia sudah menjadi bagian dari hidup saya ruang untuk bernapas, tempat untuk bersyukur. Saya tidak lagi menunggu inspirasi datang, karena saya tahu, inspirasi selalu ada di sekitar yaitu di ruang kelas, di wajah murid, di secangkir kopi pagi, bahkan dalam diam yang panjang.
Malam ini, sebelum tidur, saya menatap layar laptop dengan rasa tenang. Saya berbisik dalam hati, “Saya menulis bukan karena ingin dicari pembaca, tapi karena ingin mengingat bahwa setiap hari punya cerita yang layak diceritakan. Kali ini, saya menulis lagi untuk menyalakan kembali nyala yang hampir padam.”
Cepu, 17 Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar