Karya: Gutamining Saida
Jam terakhir di hari Sabtu biasanya menjadi waktu paling rawan bagi para siswa. Rasa kantuk mulai datang, tenaga menurun, dan pikiran pun sudah melayang membayangkan waktu libur. Namun tidak untuk kelas 7A. Suasana belajar Pendidikan Pancasila berubah menjadi momen paling heboh dan penuh tawa. Tidak ada yang lesu, tidak ada yang menunduk diam menunggu bel pulang. Justru seluruh siswa tampak hidup, bergerak, dan saling menyemangati.
Saya sengaja menyiapkan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Tujuannya sederhana membuat mereka tetap semangat meski sudah jam terakhir. Saya menempelkan beberapa bungkus bumbu racik di papan tulis yaitu ada bumbu tahu tempe dan bumbu ikan goreng. Dari luar memang tampak seperti bungkus bumbu dapur biasa, tapi di baliknya saya sembunyikan sepuluh soal Pendidikan Pancasila yang harus diselesaikan secara berkelompok.
Begitu masuk kelas, saya tersenyum melihat wajah-wajah lelah itu. “Hari ini kita tidak hanya belajar, tapi juga bermain,” kata saya sambil mengangkat beberapa bungkus bumbu racik itu. Seketika pandangan mereka berubah. Ada yang tertawa, ada yang berbisik penasaran, bahkan beberapa siswa langsung bersorak.
“Bu, kita masak-masakan ya?” celetuk Demos dengan nada menggoda. Saya tertawa. “Bukan, tapi kalau kalian bisa menjawab semua pertanyaan di balik bumbu ini, artinya kalian sudah ‘meracik’ semangat belajar dengan sempurna.”
Kelas pun langsung terbagi menjadi tujuh kelompok. Tiap kelompok beranggotakan empat sampai lima siswa. Saya membacakan aturan secara lisan. Setiap kelompok bergantian mengambil satu bungkus bumbu, membuka pertanyaan di baliknya, lalu menuliskan jawabannya di kertas atau buku kelompok. Setiap jawaban benar akan diberi poin
Demos, yang memang dikenal sebagai anak paling aktif dan penuh energi, langsung menjadi sorotan. Ia menjadi perwakilan kelompoknya untuk mengambil soal pertama. Begitu saya memberi aba-aba, ia langsung berlari ke depan dengan semangat luar biasa. Tangannya cepat mengambil bungkus bumbu tahu tempe, lalu ia berlari kembali ke kelompoknya sambil tertawa lebar. Nafasnya sedikit terengah, tapi matanya berbinar.
“Cepat, cepat! Bacanya bareng-bareng!” teriaknya pada teman-temannya.
Pertanyaan pertama berbunyi, “Apa fungsi norma dalam kehidupan sehari-hari?” Mereka langsung berdiskusi serius. Ada yang menulis, ada yang membaca buku catatan, ada juga yang saling memberi pendapat. Dalam waktu singkat, jawaban mereka terkumpul. Demos kembali berlari ke depan untuk mengambil bungkus bumbu racik.
Sementara itu, kelompok lain tak mau kalah. Salsabila, yang biasanya pendiam, hari itu terlihat lebih aktif. Ia menjadi pembaca soal bagi kelompoknya. Wajahnya serius tapi cerah, tangannya bergerak lincah menulis jawaban. Sesekali ia tertawa kecil ketika teman-temannya memberi jawaban lucu atau tak terduga.
“Bu, ini seru banget! Kayak lomba!” seru Kiky dari kursi tengah.
Kelas 7A hari Sabtu benar-benar hidup. Suara diskusi, tawa, dan langkah kaki bersahutan. Saya hanya berdiri sambil tersenyum, mengamati bagaimana semangat belajar mereka tumbuh tanpa disuruh. Tidak ada yang duduk diam, tidak ada yang sibuk dengan hal lain. Semua larut dalam kompetisi yang menyenangkan.
Demos sampai beberapa kali berlari bolak-balik ke depan untuk mengambil soal berikutnya. Keringat mulai membasahi dahinya, tapi semangatnya tak surut sedikit pun. Setiap kali kembali ke bangku, ia disambut dengan tepukan tangan teman-temannya.
“Gas terus, Demos! Kita harus menang!” teriak Miky dan Najwa kompak.
Soal demi soal mereka tuntaskan dengan cepat. Ada yang tentang norma kesusilaan, ada juga yang membahas peran norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta contoh norma hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Waktu terasa berjalan cepat. Tak terasa, semua kelompok sudah menyelesaikan sepuluh soal. Saya pun mulai mengoreksi hasil kerja mereka. Siswa-siswa menunggu dengan penuh antusias, beberapa bahkan masih saling berdebat kecil tentang jawaban yang mereka tulis.
Setelah semua lembar saya periksa, saya tersenyum dan berkata, “Baik, saatnya kita umumkan pemenangnya.” Kelas mendadak hening, hanya terdengar bunyi kipas angin yang berputar di kanan kiri dinding. Semua mata menatap saya penuh harap.
“Juara pertama, dengan skor tertinggi, adalah… kelompok Demos!” seru saya.
Seketika kelas meledak dengan tepuk tangan dan sorak gembira. Demos berdiri sambil mengangkat tangan ke atas, ekspresinya penuh kemenangan. “Hidup kelompokku!” teriaknya bangga.
“Dan juara kedua… kelompok Salsabila!” lanjut saya.
Kelompok Salsabila juga tersenyum bahagia. Mereka saling memberi selamat, meskipun tidak menjadi juara pertama. Saya bisa melihat rasa puas di wajah mereka puas karena sudah berusaha maksimal, bukan semata karena menang atau kalah.
Saya menutup pelajaran dengan refleksi kecil. Saya berkata, “Lihat, belajar itu bisa menyenangkan kalau kita punya semangat dan kerja sama. Pancasila bukan hanya teori, tapi sikap hidup yang bisa kalian tunjukkan hari ini jujur, tangguh, dan saling menghargai.”
Beberapa siswa mengangguk. Demos yang masih sedikit ngos-ngosan berkata, “Bu, besok main kayak gini lagi, ya! Biar nggak ngantuk!”
Saya tertawa. “Boleh, asal kalian tetap semangat seperti hari ini.” Bel tanda pulang pun berbunyi. Tapi tak ada yang langsung bergegas keluar. Mereka masih membicarakan jalannya permainan, tertawa mengingat jawaban-jawaban lucu, dan memuji kerja sama timnya masing-masing.
Saat saya membereskan alat peraga di depan kelas, saya menatap ke arah mereka dengan perasaan bangga. Di jam terakhir yang biasanya lesu, hari ini mereka justru menunjukkan wajah-wajah penuh semangat dan kebersamaan. Demos dan kawan-kawannya berhasil membuktikan bahwa belajar Pancasila tidak harus serius dan membosankan. Saya pulang dengan hati hangat. Kelas yang hidup, siswa yang antusias, dan tawa yang memenuhi ruangan semuanya menjadi racikan sempurna untuk menutup akhir pekan dengan penuh makna.
Cepu, 19 Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar