Minggu, 19 Oktober 2025

Bersama Risantan

Karya : Gutamining Saida 
Jam terakhir di hari Senin terasa istimewa. Matahari siang memantulkan cahaya terang di halaman sekolah, dan udara hangat masuk perlahan lewat jendela ruang kelas 8H. Beberapa siswa baru saja selesai makan siang program MBG, wajah mereka tampak segar, sebagian masih memegang botol minum. Sementara itu, saya berdiri di depan kelas dengan membawa sebuah kantong berisi sesuatu yang cukup menarik perhatian.

Hari Minggu saya sudah menyiapkan media ini dengan hati-hati. Saya tahu betul, jam terakhir seringkali menjadi waktu paling menantang bagi seorang guru. Konsentrasi siswa mulai menurun, sebagian sudah lelah, dan mata mulai mengantuk. Saya ingin membuat pembelajaran IPS kali ini berbeda bukan sekadar duduk mendengarkan, tetapi belajar dengan rasa senang dan semangat baru.

IPS adalah mata pelajaran yang luas, mencakup sosiologi, ekonomi, sejarah, dan geografi. Sering kali siswa mengeluh karena terlalu banyak konsep yang harus diingat. Maka saya berpikir, mengapa tidak dibuat lebih hidup dan praktis? Akhirnya saya membawa ide sederhana yaitu belajar dengan media dari barang bekas, yaitu bungkus santan kering merk Risantan.

Sebelum masuk kelas, saya menulis satu pertanyaan di balik setiap bungkus santan itu, sesuai dengan materi yang baru kami bahas minggu ini  tentang perdagangan antar pulau. 

Ketika bel tanda jam ke enam - - tujuh berbunyi, saya ke kelas sambil membawa kantong besar berisi bungkus Risantan. Sontak mata para siswa langsung tertuju ke arah saya.

“Bu, itu bawa apa?” tanya Jufa  dengan wajah penasaran.

Saya tersenyum sambil mengangkat kantongnya. “Siang ini kita akan belajar IPS dengan resep spesial. Kalian tahu bahan apa yang paling penting untuk membuat makanan jadi gurih?”

“Garam, Bu!” sahut Yuna cepat.
“Salah satu, tapi bukan itu,” jawab saya pura-pura serius.
“Santan, Bu?” teriak Kayla.

Saya tertawa. “Nah, benar sekali! Siang ini kita belajar dengan Risantan tapi bukan untuk masak sungguhan. Kita akan ‘mengaduk’ pengetahuan IPS dengan semangat kerja sama kalian.”

Kelas langsung ramai. Beberapa siswa menatap teman di sebelahnya sambil tertawa, sebagian mulai menebak-nebak permainan seperti apa yang akan dilakukan.

Saya menjelaskan aturan mainnya yaitu setiap bungkus Risantan berisi satu pertanyaan IPS. Tiap kelompok harus menjawabnya bersama-sama. Kelompok tercepat dan paling banyak menjawab benar akan jadi juara dan mendapat hadiah kecil.

Kali ini saya memberi kebebasan pada mereka untuk memilih anggota kelompok sendiri. Biasanya, saya yang membagi agar seimbang, tapi melihat semangat mereka, saya memutuskan untuk mengiyakan. “Silakan bentuk kelompok kalian, boleh empat, lima, atau enam orang per kelompok,” kata saya.

Begitu saya selesai berbicara, kelas langsung berubah jadi lautan suara. Mereka berpindah-pindah kursi, berseru memanggil teman, tertawa, dan sibuk menata tempat duduk. Dalam waktu singkat, terbentuklah beberapa kelompok. Di pojok kanan depan, kelompok yang terdiri dari Yuna, Olivia, Salma, Kayla, dan Aya sudah siap dengan senyum percaya diri.

Saya membagikan satu bungkus Risantan ke setiap kelompok. “Ingat,” kata saya, “bungkus ini bukan untuk diminum atau dimasak, tapi untuk dijawab dengan cepat dan tepat.”

Mereka langsung membalik bungkusnya, menemukan kertas berisi pertanyaan. Kelompok Yuna membaca dengan suara pelan namun penuh semangat:
‘Sebutkan tiga kelebihan perdagangan antar pulau !’

Mereka langsung berdiskusi. “Gotong royong, menggunaan media sama kegiatan jual beli di pasar!” kata Kayla cepat. “Setuju?” tanya Olivia. Semua mengangguk. Lalu Yuna berdiri dan mengangkat tangan. “Bu, kami sudah punya jawabannya!”

Saya tersenyum, mendekat, lalu memeriksa. “Jawaban kalian benar! Hebat, kelompok Yuna mendapat poin pertama!”

Sorak gembira pun pecah. Kelompok lain tidak mau kalah. Mereka buru-buru membuka bungkus Risantan masing-masing. Ada yang mendapat pertanyaan tentang manfaat  perdagangan antar pulau. 

Suasana kelas mendadak hidup. Tak ada lagi wajah lelah atau ngantuk. Semua tertawa, berpikir keras, saling berdiskusi. Saya berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain, membantu jika ada yang kebingungan, sambil mengamati bagaimana setiap anak terlibat aktif.

Beberapa kali terdengar seruan kecil dari sudut kelas. “Bu, kelompok kami selesai!” teriak Olivia dan teman-temannya. Tapi setelah saya cek, jawaban mereka kurang lengkap. “Masih bisa diperbaiki,” kata saya sambil tersenyum memberi semangat.

Sementara itu, kelompok Yuna terus melaju cepat. Mereka terlihat kompak, bergantian membaca pertanyaan dan menulis jawaban di kertas. Kadang mereka tertawa sendiri karena salah membaca soal. “Aduh, tadi kukira soal geografi, ternyata ekonomi!” ujar Salma sambil menepuk dahi.

Waktu terus berjalan. Keringat mulai menetes di dahi beberapa siswa, tapi semangat tak berkurang. Akhirnya, setelah semua kelompok selesai, saya mengumumkan hasilnya.

“Anak-anak, kelompok juara siang ini adalah... kelompok Yuna, Olivia, Salma, Kayla, dan Aya!”

Mereka langsung berdiri dan bersorak bahagia. “Yee… kita menang!” teriak mereka serempak. Wajah mereka merah, napas tersengal karena kelelahan, tapi senyumnya lebar penuh kepuasan.

Saya menyerahkan hadiah kecil  beberapa permen manis. “Kalian hebat. Bukan hanya karena cepat, tapi karena kompak dan berpikir bersama.”

Kelas pun dipenuhi tepuk tangan. Kelompok lain tetap tersenyum, merasa puas telah berpartisipasi. Tidak ada yang kecewa, semua tampak menikmati prosesnya.

Sebelum pelajaran berakhir, saya mengajak mereka merefleksi. “Apa yang kalian pelajari dari kegiatan ini?”

“Kerja sama itu penting, Bu!” jawab Aya.
“Ternyata IPS gak membosankan kalau dibikin begini,” tambah Yuna sambil tersenyum.

Saya menatap seluruh siswa dengan rasa bangga. Di tengah panasnya siang dan padatnya materi IPS, mereka masih bisa tertawa, berpikir, dan belajar dengan hati gembira. Siang ini saya belajar sesuatu juga: bahwa kehangatan suasana bisa lahir dari hal sederhana, bahkan dari bungkus santan bekas yang berubah menjadi alat belajar penuh makna.

Saya menutup pelajaran dengan satu kalimat yang membuat mereka tersenyum:
“Kalau belajar IPS itu ibarat masak sayur santan perlu diaduk pelan, dicampur dengan semangat, dan dihidangkan dengan tawa.”

Kelas 8H pun pecah oleh tawa riang. Siang ini, ilmu dan kebahagiaan berpadu dalam satu rasa, yaitu rasa Risantan yang gurih, hangat, dan penuh makna. 
Cepu, 20 Oktober 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar