Karya : Gutamining Saida
Sabtu 18 Oktober 2025 saya mendapat jadwal mengajar Pendidikan Pancasila. Hanya satu jam pelajaran, tetapi saya ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Satu jam terasa singkat, namun bisa menjadi momen berharga bila diisi dengan cara yang menyenangkan. Saya percaya bahwa pelajaran akan mudah diingat bukan karena materinya sulit, melainkan karena caranya menarik dan meninggalkan kesan.
Sebelum berangkat ke sekolah, saya sudah menyiapkan beberapa perlengkapan yang tidak biasa yaitu sepuluh bungkus bumbu racik dari dua varian. Ada bumbu racik tahu tempe, bumbu racik ikan goreng. Semua saya siapkan bukan untuk dimasak, tetapi untuk dijadikan media belajar. Saya tersenyum sendiri membayangkan wajah heran para siswa nanti.
Begitu bel masuk berbunyi, saya melangkah ke kelas dengan semangat penuh. Suasana kelas Sabtu memang berbeda sedikit santai, tapi tetap fokus. Saya memulai pelajaran dengan pertanyaan ringan, “Siapa di rumahnya pernah membantu ibu memasak?” Beberapa siswa langsung mengangkat tangan sambil tertawa.
“Aku, Bu! Tapi cuma motong bawang!”
“Aku cuma goreng telur!”
Tawa pun pecah. Suasana hangat dan akrab mengalir begitu saja.
Saya lalu mengeluarkan sepuluh bungkus bumbu racik dari tas. Seketika kelas riuh. “Wah, Bu, mau masak di kelas ya?” seru seorang siswa dari bangku belakang. Saya tertawa kecil, “Bukan, hari ini kita tidak masak. Tapi kita akan belajar dari bumbu racik ini.”
Semua siswa terdiam penasaran. Saya menempelkan sepuluh bungkus itu di papan tulis, masing-masing bertuliskan nomor satu sampai sepuluh . Di balik setiap bungkus, saya sudah menyiapkan satu lembar pertanyaan tentang norma, macam - macam norma, fungsi norma, sumber norma, makhluk individu, makhluk sosial, yang sudah mereka pelajari minggu lalu. Pertanyaan-pertanyaan itu saya susun dengan beragam bentuk isian singkat, ada yang uraian pendek, dan ada juga yang memerlukan diskusi.
Kemudian saya membagi kelas menjadi delapan kelompok, masing-masing terdiri dari empat hingga lima anak. Mereka saya beri waktu untuk menentukan nama kelompok, dan hasilnya sangat kreatif: ada kelompok “Garuda Muda”, “Pahlawan Pancasila”, “Racikan Hebat”, “Bumbu Nasional”, hingga “Ikan Goreng Berpancasila”.
Setelah semua siap, saya menjelaskan aturan mainnya yaitu
- Tiap kelompok harus mengambil satu bungkus bumbu racik di papan.
- Mereka harus membuka dan menemukan pertanyaan di baliknya.
- Waktu menjawab hanya tujuh menit.
- Jawaban ditulis di kertas dan dikumpulkan ke depan sebelum waktu habis.
Begitu saya memberi aba-aba, semua kelompok langsung bergerak cepat. Kelas berubah menjadi arena belajar yang hidup dan penuh semangat. Beberapa siswa tampak sibuk berdiskusi serius, ada yang mencatat dengan cepat, ada pula yang berdebat seru tapi sambil tertawa. Saya berjalan berkeliling, memperhatikan interaksi mereka satu per satu.
“Bu, boleh mencium bungkus bumbu racik? Soalnya baunya mengoda pertanyaannya,” celetuk seorang siswa sambil hati-hati memegang plastik bungkus bumbu racik.
“Boleh, yang penting jangan sampai ada yang jatuh,” jawab saya sambil tersenyum.
Waktu terus berjalan, dan suasana semakin seru. Saya melihat beberapa kelompok mulai menyelesaikan jawaban mereka. Ada yang tampak yakin, ada juga yang masih berpikir keras. Saya pun memberi semangat,
“Yang penting kerja sama! Jangan lupa norma itu bukan cuma dihafalkan, tapi dipraktikkan termasuk dalam kebersamaan kalian saat berdiskusi!”
Akhirnya, bel tanda waktu hampir habis berbunyi. Semua kelompok mengumpulkan hasil jawabannya. Saya pun mulai memeriksa bersama mereka. Satu per satu saya bacakan jawaban dari tiap kelompok. Setiap kali ada jawaban benar, mereka bersorak bangga. Ketika ada yang kurang tepat, saya tidak menegur, tapi memberi kesempatan mereka menebak ulang sambil memberikan penjelasan.
Setelah semua kelompok selesai, hasil akhirnya pun diumumkan. Kelompok lima, yang menamakan diri mereka “Garuda Muda”, berhasil menjawab seluruh sepuluh pertanyaan dengan benar. Mereka bersorak gembira dan bertepuk tangan. Teman-teman lain ikut memberi selamat dengan sportif.
Saya menatap mereka dengan bangga. “Anak-anak, pelajaran hari ini bukan hanya tentang menjawab soal. Tapi tentang bagaimana kalian bekerja sama, menghargai pendapat, dan berpikir cepat. Itulah wujud nilai Pancasila yang sebenarnya. Gotong royong, musyawarah, dan saling menghargai.”
Kelas pun hening sesaat, lalu terdengar tepuk tangan dari para siswa. Mereka tampak puas dan bahagia. Saya menutup pelajaran dengan kalimat singkat namun bermakna, “Bumbu racik bisa membuat masakan jadi enak. Tapi norma agama, hukum, kesopanan, kesusilaan, kalau kalian terapkan dalam kehidupan, akan membuat hidup kalian lebih bermakna, damai dan bahagia, aman sentosa.”
Sebelum saya meninggalkan kelas, beberapa siswa mendekat. “Bu, minggu depan kita pakai media unik lagi ya!” Saya tertawa kecil, “Kita lihat nanti, siapa tahu bumbunya ganti jadi sambal goreng semangat belajar!” Mereka tertawa lepas. Saya pun merasa bahagia. Ternyata, satu jam pelajaran bisa menjadi pengalaman luar biasa bila dilakukan dengan hati, kreativitas, dan semangat kebersamaan.
Hari itu saya pulang dengan perasaan penuh syukur. Di balik sepuluh bungkus bumbu racik, saya menemukan makna mendalam yaitu bahwa belajar Pancasila tidak harus kaku, cukup dengan cara sederhana yang membuat siswa merasa dihargai, terlibat, dan berbahagia. Hari itu bukan hanya mereka yang belajar. Saya pun belajar bahwa setiap momen mengajar adalah kesempatan untuk menanamkan nilai kehidupan, dengan cara yang sederhana namun bermakna.
Cepu, 18 Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar