Minggu, 26 Oktober 2025

Nasi Pecel Bungkus Daun Pisang

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu selalu punya pesona tersendiri. Bagi banyak orang, termasuk saya, hari ini adalah waktu untuk sejenak melepas penat setelah enam hari penuh rutinitas. Tak ada dering alarm yang memaksa untuk segera berangkat, tak ada suara anak-anak sekolah yang riuh di jalan depan rumah, tak ada jadwal mengajar yang menunggu di kelas. Hanya suasana pagi yang tenang, suara burung yang bersahutan di ranting pohon, dan aroma embun yang masih segar menempel di dedaunan.

Sinar matahari malu-malu dari ufuk timur. Saya menatap langit yang berwarna abu-abu sembari menarik napas panjang menikmati udara segar yang jarang bisa saya rasakan di hari-hari biasa. Di dapur, tak ada bunyi wajan ataupun aroma bawang goreng seperti biasanya. Saya sengaja tidak memasak. Hari Minggu adalah waktu memberi jeda bagi tubuh dan pikiran, termasuk dari urusan dapur. Keputusan pun bulat yaitu beli sarapan di luar rumah. 

Saya mengenakan jilbab polos, membawa tas kecil berisi dompet, lalu keluar rumah dengan langkah santai bersama sang anak. Beberapa tetangga tampak menyapu halaman, ada yang sedang menjemur pakaian, dan ada pula yang menuntun anaknya bersepeda kecil. Pagi yang hangat dan penuh keakraban.

Tak jauh dari pertigaan jalan, tercium aroma khas yang menggoda aroma sambal kacang dan daun pisang yang dipanaskan uap nasi. Ah, tentu saja itu aroma nasi pecel! Penjualnya duduk di bawah pohon, dengan meja kecil dan beberapa baskom berisi sayuran, mie, srondeng, dan lauk gorengan. Di sekelilingnya, sudah ada beberapa pembeli yang antri.

“Nasi pecel bungkus daun pisang, Bu?” tanya ibu penjual dengan senyum ramah begitu saya mendekat.
Saya tersenyum balik. “ Iya, hari ini bungkus daun pisang saja, jawab saya. Aromanya lebih sedap kalau dibuka nanti.”  Ibu penjual itu tersenyum lebar sambil mengambil selembar daun pisang hijau tua. Ia menepuk-nepuk daun itu perlahan agar lentur, lalu menaruh nasi putih di atasnya. Dengan cekatan, tangannya menambahkan sayuran rebus, kacang panjang, kecambah, daun bayam, dan kol semuanya masih hangat. Kemudian disiram dengan sambal kacang yang kental beraroma khas, sedikit pedas, sedikit manis, dan gurih yang pas di lidah.

“Tambahi mie ya, Bu. Sama srondeng dikit,” pinta saya.
“Siap,” jawabnya cepat, sambil menaburkan mie kuning lembut dan srondeng kelapa yang wangi. “Lauknya mau apa? Ada tempe goreng, tahu, sama ote-ote.”
“Tempe goreng dan ote-ote.”

Begitu selesai dibungkus, aroma daun pisang yang hangat bercampur sambal kacang membuat perut terasa makin lapar. Saya membayar dan mengucap terima kasih. Saya bersyukur tidak perlu repot memasak, tapi tetap bisa menikmati makanan yang nikmat dan penuh cita rasa tradisional.

Saya memutuskan untuk tidak langsung pulang. Di taman kecil dekat balai desa, ada beberapa bangku panjang dari kayu yang teduh di bawah pohon. Saya duduk di sana, membuka bungkus nasi pecel perlahan. Asap hangat mengepul, aroma daun pisang dan sambal kacang berpadu sempurna. Makan membeli di luar seperti ini terasa lebih istimewa. 

Satu suap pertama langsung membuat lidah menari. Pedas, gurih, manis, semua rasa berpadu harmonis. Tempe gorengnya renyah, ote-otenya empuk dengan potongan kol dan wortel di dalamnya. Mie dan sayuran memberi tekstur yang berbeda-beda. Setiap kunyahan terasa seperti persembahan kecil dari bumi yaitu hasil sawah, ladang, dan kebun yang diberkahi Allah Subhanahu Wata'alla.

Saya menikmati setiap suapan dengan perlahan, sambil memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang. Ada seorang bapak tua berjalan kaki sambil membawa koran pagi. Ada dua anak kecil yang berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu. Dari kejauhan, terdengar suara ayat suci dari masjid kecil mengingatkan untuk tidak lupa bersyukur atas nikmat sekecil apa pun.

Setelah habis, saya melipat daun pisang bekas bungkus dan membuangnya di tempat sampah. Rasanya kenyang, tetapi bukan sekadar kenyang di perut ada kenyang di hati. Kenyang karena bisa menikmati hari dengan sederhana. Kenyang karena merasa dekat dengan kehidupan sekitar. Kenyang karena sadar, bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari hal besar. Kadang, hanya dari sebungkus nasi pecel di Minggu pagi.

Sesampai di rumah saya melangkah dengan hati ringan. Udara masih segar. Burung-burung di atap genteng bersuara riang. Saya menyalakan teko untuk membuat teh hangat, lalu duduk di teras sambil menyeruput perlahan. Dalam hati saya berdoa, semoga setiap hari bisa saya jalani dengan rasa syukur seperti pagi ini syukur atas kesehatan, atas rezeki, atas waktu yang masih diberikan untuk menikmati kehidupan.

Hari Minggu memang sederhana, tapi di balik kesederhanaannya tersimpan makna besar. Bahwa hidup ini indah ketika kita belajar menikmati hal-hal kecil dengan hati penuh terima kasih. Bahwa setiap aroma, setiap rasa, setiap langkah kecil menuju warung pecel pun bisa menjadi ladang syukur yang menumbuhkan bahagia. Nasi pecel berbungkus daun pisang bukan sekadar sarapan tapi juga pengingat, bahwa nikmat Allah datang dari segala arah, dari hal-hal paling sederhana sekalipun. 
Cepu, 27 Oktober 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar