Sabtu, 25 Oktober 2025

Bermain Peran Norma Kesopanan


Karya : Gutamining Saida 
Sabtu siang, jam terakhir waktu yang biasanya menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Udara panas, semangat siswa mulai turun, dan pikiran mereka sudah setengah melayang menunggu waktu pulang. Jam terakhir justru waktu yang paling menantang dan menarik. Saya sudah menyiapkan ide berbeda untuk pelajaran Pendidikan Pancasila kali ini bermain peran tentang penerapan norma kesopanan.

Begitu bel masuk berbunyi, saya melangkah ke kelas 7A dengan senyum lebar. Saya berdiri sambil tersenyum dan berkata,
“Anak-anak, hari ini kita akan main peran. Siap?”

Serentak terdengar sorak, “Siaaap, Bu!” disertai tepuk tangan dan teriakan kecil penuh semangat.
Saya sudah menyiapkan tema dan menuliskan di bungkus bekas snak. “Tantangan Bermain Peran Penerapan Norma Kesopanan.”

Mereka langsung tertarik. Saya jelaskan bahwa tiap kelompok akan mendapat satu tema sederhana, seperti meminta izin kepada orang tua saat akan berangkat ke sekolah, tidak membantu orang tua, tidak meminta izin kepada guru saat mau masuk ke kelas, membantu teman yang jatuh saat naik sepeda dan sebagainya.
Saya membagi kelas menjadi delapan kelompok, masing-masing kelompok empat siswa. Setelah semua duduk rapi sesuai kelompok, saya mulai meminta pemimpin kelompok mengambil satu tema peran.

"Siapa yang sudah siap?" tanya saya. "Saya bu," jawab kelompok Gibran kompak
“Kelompok Gibran dengan temanya meminta izin kepada orang tua saat mau berangkat sekolah,” kata saya sambil tersenyum.
Mereka langsung bersorak, “Wah, gampang Bu, tapi lucu nih kayaknya!”

Kelompok ini diisi oleh Gibran, Kevin, Fabiel dan Indra. Empat siswa yang punya karakter kuat dan sering mencuri perhatian di kelas. Saya tahu, kelompok ini pasti akan membuat suasana kelas hidup.

Saya memberikan waktu sepuluh menit untuk setiap kelompok memahami tema dan menyiapkan dialog sederhana. Tak perlu properti rumit, cukup improvisasi. Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah mereka bisa menjiwai peran dengan waktu sesingkat itu?

Dugaan saya meleset. Setelah waktu persiapan habis, mereka tampil dengan luar biasa.

🎬 Adegan Dimulai
Gibran maju ke depan sebagai anak laki-laki yang hendak berangkat sekolah.
Indra juga berperan sebagai anak, adik laki-laki yang manja.
Fabiel berperan sebagai bapak, lengkap dengan peci coklat di kepalanya.
Kevin, dengan ekspresi lembutnya, menjadi ibu yang penuh perhatian.

Begitu mereka mulai, kelas langsung hening, menunggu kejutan dari keempat pemeran itu.
Gibran melangkah ke depan dengan tas punggungnya, lalu menatap bapaknya  sambil berkata sopan,
“Pak...., Gibran berangkat sekolah dulu, ya.”

Fabiel menjawab dengan suara lembut namun agak berlebihan seperti sinetron. Sambil memakaikan hasduk yang dipegang oleh Gibran. 
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan, jangan lupa belajar dengan baik.”

Indra si adik yang dari tadi berada di belakang Gibran langsung menyahut, saya juga mau berangkat bersama kak Gibran. 
“Pak, aku belum dikasih uang jajan!” lanjut Gibran 

Kelas mulai tergelak, tapi puncaknya adalah ketika Fabiel sang bapak, tiba-tiba menepuk-nepuk kepalanya dan berkata,
“Lho, uang sakumu tadi Bapak simpan di sini.”

Ia membuka pecinya, lalu mengeluarkan uang dua ribuan  yang sudah diremas-remas, seolah-olah benar-benar tabungan darurat.
Seluruh kelas langsung pecah dengan tawa.

Bahkan saya pun tidak bisa menahan senyum lebar.
“Wah, kreatif sekali! Dari mana idenya uang disimpan di peci?” tanya saya sambil tertawa.
“Bapak saya kadang nyimpen uang di situ, Bu,” jawab Fabiel polos.
Sontak semua penonton kembali tertawa keras.

Adegan berlanjut.
Gibran menerima uang itu dengan sopan sambil menunduk, “Terima kasih, Pak.”
Lalu ia menyalami tangan kedua “orang tuanya” sambil berkata, “Mohon doa restunya, biar nilainya bagus.”

Kevin menepuk bahu Gibran lembut,
“Iya, Nak. Jangan lupa belajar yang rajin. Kalau nilai bagus, Ibu belikan cilok sepuluh tusuk!”

Suasana kelas kembali riuh. Indra yang sedari tadi jadi adik pun menimpali dengan ekspresi manja,
“Lho, aku juga mau cilok, Bu!”

Fabiel langsung menatap tajam sambil berkata dengan gaya bapak-bapak,
“Kamu belajar dulu, baru cilok!”

Tawa kembali meledak.
Di balik kelucuan itu, terlihat jelas pesan moral yang mereka sampaikan bahwa 
bagaimana anak harus sopan kepada orang tua, meminta izin dengan santun, dan menghormati nasihat orang tua.

Setelah semua kelompok tampil, saya menutup kegiatan dengan refleksi sederhana.
“Saya bangga sekali,” kata saya. “Kalian tidak hanya bisa bermain peran, tapi juga menunjukkan bahwa norma kesopanan itu bisa diterapkan dengan cara yang menyenangkan.”

Saya menatap satu per satu wajah ceria mereka.
Mereka tidak tampak lelah meskipun jam pelajaran sudah berakhir. Justru suasana terasa hidup, penuh tawa, dan sarat makna.

Beberapa siswa bahkan masih membahas adegan “uang dari peci” sambil menirukan gaya Fabiel. 
Saya tersenyum dalam hati. Pelajaran hari itu benar-benar berhasil.

Momen seperti ini lebih dari sekadar pembelajaran.
Itu adalah cara sederhana menanamkan nilai-nilai Pancasila, khususnya norma kesopanan, dengan pendekatan yang menyenangkan dan mengesankan.

Ketika siswa bisa tertawa, memahami, dan menjiwai pesan moral dalam waktu singkat, berarti mereka tidak hanya belajar dengan kepala, tetapi juga dengan hati.

Jam pelajaran pun berakhir. Bel tanda pulang berbunyi, namun siswa masih tertawa kecil sambil membereskan kursi.
Sebelum mereka keluar kelas, saya berkata pelan,
“Terima kasih sudah belajar dengan semangat hari ini. Kalian hebat!”
Cepu, 25 Oktober 2025 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar