Kamis, 04 September 2025

Di Balik Kamera Ada Kebahagian

Karya : Gutamining Saida 
Menjadi wali kelas 7G adalah sebuah pengalaman yang penuh warna. Setiap bersama mereka selalu ada saja kisah yang membuat saya tersenyum, bahkan terkadang terharu. Kelas ini ibarat sebuah taman dengan beragam bunga yang berbeda warna, masing-masing punya karakter, keunikan, serta tingkah laku yang khas. Dari yang pendiam, cerewet, sampai yang suka bercanda berlebihan, semuanya ada di sini.

Di Esmega, ada aturan yang cukup tegas yaitu siswa tidak diperbolehkan membawa handphone. Aturan ini dibuat tentu dengan tujuan baik, agar anak-anak bisa lebih fokus belajar dan tidak terjebak pada penggunaan gadget yang berlebihan. Aturan ini rupanya membuat mereka punya satu "kerinduan kecil" yang sering mereka bisikkan kepada saya kerinduan untuk mengabadikan sebuah momen.

“Bu, fotokan sama teman-teman ya,” begitu sering terdengar permintaan dari mereka.

Bagi anak-anak, memakai seragam sekolah adalah sesuatu yang istimewa. Mereka ingin kenangan ini tersimpan, tidak hanya di hati, tetapi juga di foto yang bisa mereka lihat kembali suatu saat nanti. Sayangnya, kamera tak di tangan mereka, keinginan itu sering terhenti begitu saja. Maka, saya pun sering menjadi “penolong” kecil bagi mereka. Dengan kamera handphone, saya mencoba membantu mereka mengabadikan momen-momen sederhana di sekolah.

Awalnya, saya hanya berniat mendokumentasikan hasil pekerjaan siswa saat pembelajaran IPS. Saya berpikir, akan lebih baik jika setiap karya mereka tidak hanya berhenti di meja kelas, tetapi juga bisa diabadikan menjadi dokumentasi. Saat anak-anak melihat hasil pekerjaannya difoto, mata mereka berbinar, seakan merasa hasil karyanya dihargai dan diakui.

Cewek-cewek 7G punya ide lebih jauh. “Bu, jangan cuma hasil pekerjaan kami yang difoto, tapi kami juga ikut, biar ada kenangan,” pinta mereka sambil tersenyum manis. Saya pun mengiyakan. Sejak itu, setiap kali ada momen, mereka akan spontan bergaya di depan kamera, seakan haus dengan sorotan lensa.

Mereka bergaya dengan berbagai ekspresi ada yang mengangkat tangan seperti sedang menyapa, ada yang membuat bentuk hati dengan jari, ada pula yang sengaja merangkul sahabatnya sambil tertawa. Kadang gaya mereka begitu lucu dan menggemaskan, sampai saya pun ikut tertawa di belakang kamera. Sesekali ada yang malu-malu, tapi akhirnya terbawa arus kegembiraan teman-temannya.

“Bu, jangan lupa kirim fotonya nanti ya, japri ke saya, ” ucap salah satu dari mereka dengan wajah penuh harap.

Permintaan itu hampir selalu datang setiap kali saya selesai memotret. Di rumah, mereka akan mengirim pesan pribadi, menanyakan apakah foto mereka sudah dikirim atau belum. Saya bisa merasakan betapa pentingnya foto itu bagi mereka, seakan menjadi pengganti kamera pribadi yang tidak mereka miliki di sekolah.

Ada rasa bahagia tersendiri di hati saya saat melihat antusiasme mereka. Anak-anak ini, meskipun terlihat sederhana, ternyata punya keinginan yang begitu dalam untuk menyimpan kenangan. Mereka sadar, masa SMP adalah masa yang cepat berlalu, masa yang penuh cerita indah, masa di mana persahabatan tumbuh begitu hangat.

Saya jadi teringat masa sekolah saya dulu. Saat itu kamera masih jarang, bahkan untuk foto bersama teman pun harus menunggu ada acara khusus. Berbeda dengan anak-anak zaman sekarang yang sudah terbiasa dengan foto digital. Dengan aturan tanpa handphone ini, justru mereka kembali merasakan arti penting sebuah foto. Setiap jepretan kamera menjadi lebih berarti, lebih berharga, karena tidak bisa dilakukan setiap saat.

Ada satu momen yang tak pernah saya lupakan. Suatu hari setelah pembelajaran selesai, sekelompok siswi mendekati saya. Mereka sudah menyiapkan pose kompak yaitu ada yang duduk di kursi, ada yang berdiri di samping, dan ada yang sengaja memeluk bahu temannya. Wajah mereka ceria sekali. Setelah saya mengambil foto, mereka langsung berteriak kecil kegirangan.

“Bu, keren banget! Nanti kirim ya, Bu. Ini buat kenangan, kalau kita udah naik kelas atau lulus nanti, bisa lihat lagi.”

Kalimat itu menyentuh hati saya. Anak-anak ini ternyata sudah memikirkan masa depan, saat mereka tak lagi duduk di kelas yang sama. Mereka sadar, kebersamaan itu tidak selamanya, tapi bisa diikat dengan foto yang sederhana.

Sejak saat itu, saya mulai memahami bahwa tugas seorang wali kelas tidak hanya sebatas mengajar atau mendisiplinkan. Ada peran lain yang lebih halus namun penting yaitu membahagiakan mereka dengan cara sederhana.  Salah satunya adalah melalui kamera.

Saya belajar, kebahagiaan tidak selalu harus besar. Bagi anak-anak 7G, kebahagiaan itu bisa berupa sebuah foto bersama teman, dengan seragam sekolah, di kelas sederhana, dan dengan gaya yang mereka sukai. Tugas saya hanya menjadi perantara, menekan tombol kamera, dan mengirimkan hasilnya. Tapi bagi mereka, itu adalah harta kecil yang akan disimpan lama.

Setiap kali saya membuka galeri handphone, saya sering tersenyum melihat kumpulan foto anak-anak 7G. Ada foto mereka yang sedang serius mengerjakan tugas, ada yang tertawa lepas bersama sahabat, ada juga yang bergaya seolah-olah sedang jadi model. Semua foto itu bercerita. Bercerita tentang semangat, persahabatan, keceriaan, bahkan kerinduan mereka akan sebuah kamera.

Suatu saat nanti mereka akan tumbuh dewasa, mungkin lupa dengan masa-masa ini.  Foto-foto itu akan menjadi pengingat. Pengingat bahwa pernah ada masa di mana mereka duduk di kelas 7G, bergaya ceria di depan kamera wali kelasnya, dan merasa bahagia dengan cara yang sederhana.

Kelas 7G bukan hanya sekadar tanggung jawab, tetapi juga sumber kebahagiaan. Mereka mengajarkan saya bahwa membuat orang lain bahagia tidak harus dengan sesuatu yang mewah. Cukup dengan sebuah foto, seutas senyum, dan keikhlasan untuk berbagi kenangan.
Cepu, 4 September 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar