Selasa, 02 September 2025

Pembelajaran IPS di kelas 8H

 


Karya: Gutaminining Saida

Hari Selasa saya mendapat jadwal mengajar IPS di kelas 8H pada jam 5-6 . Waktu itu sudah memasuki siang hari, saat di mana biasanya konsentrasi siswa mulai menurun. Udara terasa agak panas, ditambah aktivitas belajar sejak pagi membuat sebagian siswa mulai tampak lelah. Saya tetap bersemangat karena materi yang akan saya bahas cukup menarik, yaitu tentang lembaga sosial.

Saya membuka pelajaran dengan menyapa seluruh siswa. “Assalamualaikum, anak-anak. Bagaimana kabarnya hari ini?” Mereka menjawab dengan serentak meski dengan suara yang beragam, ada yang penuh semangat, ada pula yang terdengar setengah mengantuk. Saya tersenyum, lalu mulai mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Saya bertanya, “Siapa di antara kalian yang tahu apa itu lembaga sosial?”

Beberapa siswa langsung mengangkat tangan. Salah satu menjawab, “Lembaga sosial itu aturan yang ada di masyarakat, Bu.” Saya mengangguk dan menambahkan penjelasan, bahwa lembaga sosial adalah seperangkat aturan atau norma yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sehingga tercipta keteraturan hidup bersama. Saya kemudian memberi contoh: lembaga keluarga, lembaga agama, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan, hingga lembaga politik.

Awalnya siswa masih menyimak dengan cukup tenang, tetapi setelah 20 menit, saya mulai melihat tanda-tanda kebosanan. Ada yang menopang dagu, ada yang bersandar di meja, bahkan ada yang terlihat melamun. Saya paham betul, belajar pada jam ke-5 dan ke-6 memang bukan hal yang mudah.  Saya memutuskan untuk melakukan ice breaking agar suasana lebih segar.

Saya berkata, “Baik anak-anak, sebelum kita lanjutkan, mari kita mainkan sebuah permainan sebentar. Namanya permainan panjang–pendek.” Seketika mereka terlihat penasaran. Ada yang langsung tegak duduk, ada pula yang spontan berseru, “Asyik, permainan lagi, Bu!”

Saya lalu menjelaskan aturannya. “Kalau saya bilang panjang, kalian harus membuat gerakan tangan pendek, misalnya tangan direntangkan atau dirapatkan. Tapi kalau saya bilang pendek, kalian harus membuat gerakan tangan panjang, seperti merentangkan tangan. Jadi, kebalikannya ya. Siapa yang salah, siap-siap maju ke depan untuk menyanyi atau melafalkan hafalan surat pendek.”

Begitu saya memberi aba-aba pertama, “Panjang!” hampir separuh kelas langsung salah gerakan. Mereka malah merentangkan tangan panjang, padahal harusnya membuat gerakan pendek. Seluruh kelas pecah dengan tawa. Saya pun tersenyum sambil menunjuk beberapa siswa yang keliru. “Nah, kalian kena hukuman ya,” kata saya bercanda.

Permainan berlanjut. Saya menyebut kata “pendek!” dengan cepat, lalu “panjang!” dengan intonasi mengecoh. Suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak berusaha fokus, tapi tetap saja ada yang terjebak. Yang keliru maju ke depan, sebagian menyanyi lagu populer, sementara yang lain memilih membaca surat pendek. Saat seorang siswa melantunkan surat Al-Ikhlas dengan suara merdu, seluruh kelas hening mendengarkan, lalu memberi tepuk tangan.

Keceriaan semakin terasa. Bahkan siswa yang awalnya terlihat lelah, kini kembali bersemangat. Permainan itu saya ulang hingga dua putaran. Setelah cukup, saya berkata, “Oke, permainan selesai. Energi kalian sudah kembali, kan? Sekarang mari kita lanjut materi.” Mereka menjawab serempak, “Iya, Bu!” dengan wajah cerah dan penuh tawa.

Saya kembali menjelaskan fungsi lembaga sosial. Misalnya, lembaga keluarga berfungsi untuk mendidik, mengasuh, dan memberikan kasih sayang. Lembaga agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lembaga pendidikan memberikan ilmu pengetahuan, sedangkan lembaga ekonomi mengatur kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Saya juga menambahkan lembaga politik yang berfungsi mengatur pemerintahan dan kekuasaan di masyarakat.

Agar lebih mudah dipahami, saya mengaitkan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Saya bertanya, “Kalau kalian berangkat sekolah setiap pagi, itu contoh lembaga apa?” Mereka menjawab, “Lembaga pendidikan, Bu!” Saya tersenyum dan melanjutkan, “Kalau kalian sholat di masjid?” Serentak mereka menjawab, “Lembaga agama!”

Diskusi berlangsung hidup. Banyak siswa yang ingin memberi contoh lain. Ada yang menyebut kantin sekolah sebagai bagian dari lembaga ekonomi, ada juga yang menyebut pemilihan ketua OSIS sebagai contoh lembaga politik. Saya merasa bangga karena mereka bisa menghubungkan teori dengan pengalaman nyata.

Menjelang akhir pelajaran, saya meminta mereka menuliskan di buku catatan yaitu pengertian lembaga sosial, fungsi, dan contohnya. Beberapa siswa masih sempat bercanda, menirukan gaya salah gerakan saat permainan panjang–pendek tadi. Mereka tetap menyelesaikan catatannya dengan baik.

Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, beberapa siswa menghampiri saya. “Bu, besok main panjang–pendek lagi ya, seru banget!” kata mereka sambil tertawa. Ada juga yang bercanda kepada temannya, “Kamu tadi salah mulu, jadi penyanyi dadakan di depan kelas.”

Saya pun tersenyum lega. Saya merasa pembelajaran berjalan menyenangkan. Materi tersampaikan dengan baik, siswa tidak jenuh, dan suasana kelas hidup penuh tawa. Saya belajar bahwa pembelajaran tidak hanya soal menyampaikan materi, tapi juga bagaimana membuat siswa merasa senang, dihargai, dan terlibat aktif. Ice breaking sederhana ternyata mampu memberi energi baru bagi mereka, sekaligus menguatkan saya bahwa menjadi guru adalah profesi yang penuh kreativitas dan makna.

Cepu, 3 September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar