Minggu, 03 Agustus 2025

Wingko Legendaris



Karya :Gutamining Saida 
Setelah menyusuri jejak-jejak sejarah di Komplek Spoorweg Tjepoe 1902, melihat rumah-rumah tua peninggalan PJKA, dan menapaki lorong waktu melalui cerita-cerita masa lalu, rombongan kami dari kegiatan Cepu Walking Tour akhirnya sampai pada destinasi terakhir siang ini yaitu pusat oleh-oleh wingko khas Cepu, produksi legendaris, Wingko Cap Spoor Lokomotif.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Kami berjalan menyusuri Jalan Depo sebuah kawasan yang ternyata punya ciri khas tersendiri. Hampir di sepanjang jalan ini, rumah-rumah tampak sederhana dari luar, namun jika diperhatikan lebih saksama, sebagian besar adalah dapur-dapur penghasil wingko. Wingko menjadi oleh-oleh khas yang tak bisa dipisahkan dari identitas Cepu. Meski bentuk dan cita rasanya mirip dengan wingko dari daerah lain seperti Babat, Semarang, wingko Cepu punya kekhasannya sendiri. Salah satunya, yang kami kunjungi hari ini, adalah Wingko Cap Spoor Lokomotif, sebuah nama yang erat dengan sejarah perkeretaapian kota ini.

Begitu tiba di depan tempat produksi wingko tersebut, saya langsung menangkap kesan tradisional. Plang dengan tulisan "Wingko Spoor Lokomotif" menyambut kami dengan nuansa jadul yang khas. Meski tak sedang berproduksi hari itu, pemilik rumah tetap menyambut kami dengan ramah. Kami dipersilakan masuk untuk melihat dapur tempat wingko diproduksi setiap harinya.

Kami melewati ruang depan yang sudah disulap menjadi etalase produk. Di meja, tertata rapi tumpukan wingko yang siap dibeli dan dibawa pulang. Aroma legit khas kelapa dan ketan menyambut kami meski dapurnya tak sedang beroperasi. Saya bisa membayangkan betapa semerbaknya ruangan ini saat produksi sedang berlangsung.

Menurut sang pemilik usaha, yang dengan hangat menyapa dan berbagi cerita, wingko Cap Spoor Lokomotif ini sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan diwariskan secara turun-temurun. Keistimewaan wingko mereka terletak pada pemilihan bahan baku utama, yaitu tepung ketan, yang tidak sembarangan. Tidak seperti produsen wingko lain yang umumnya membeli tepung ketan jadi, wingko Spoor Lokomotif justru menggunakan ketan baru yang digiling sendiri. Proses selep dilakukan secara mandiri agar kualitasnya tetap terjaga. Hal inilah yang membuat tekstur wingko mereka terasa lebih lembut, padat, namun tetap kenyal ketika dimakan. Ditambah lagi penggunaan kelapa segar parutan sendiri yang dipilih dengan cermat.

“Kalau ketan sudah jadi, kadang kita tidak tahu kualitasnya. Bisa sudah lama, bisa sudah kena air. Tapi kalau selep sendiri, kita tahu dari awal ketan itu seperti apa,” ujar si pemilik sambil menunjukkan tempat penyimpanan bahan baku di sisi dapur.

Kami diajak masuk ke ruang produksi dan penuh peralatan khas rumahan. Ada tungku satu dan tungku dua istilah mereka untuk dua titik pemanggangan wingko yang berbeda. Tungku-tungku tersebut masih berbahan bakar kayu bakar, menjaga rasa otentik wingko agar tidak terkontaminasi bau gas. Selain itu, kami juga melihat oven besar (open) yang digunakan untuk memanggang secara bersamaan dalam jumlah lebih banyak.

Sayangnya, hari itu tidak ada aktivitas pembuatan wingko. “Biasanya produksi pagi hari. Kalau sudah siang, ya tinggal bungkus-bungkus dan sortir,” jelas sang pemilik. Meski tidak melihat langsung proses mencetak adonan dan memanggang, kami tetap merasa antusias. Melihat alat-alat tradisional dan mendengar penjelasan langsung tentang proses pembuatannya membuat kami lebih menghargai setiap gigitan wingko yang manis dan lembut itu.

Kami sempat duduk di ruang tengah dan dipersilakan mencicipi wingko yang sudah matang. Saya mengambil sepotong wingko hangat yang masih tersisa dari produksi pagi. Ketika menggigitnya, terasa sekali perbedaan dari wingko-wingko yang biasa saya temui di toko oleh-oleh. Rasanya gurih, tidak terlalu manis, dan yang paling menonjol adalah tekstur padat yang lembut di lidah. Bukan wingko yang rapuh atau terlalu keras, tapi pas. Wajar saja banyak orang yang memilih wingko Cap Spoor Lokomotif sebagai oleh-oleh andalan dari Cepu.

Sambil menikmati wingko, saya berbincang dengan beberapa peserta tour lain. Mereka mengakui pengalaman ini sungguh istimewa. Dari sejarah, arsitektur, sampai makanan tradisional semuanya menjadi satu paket yang memperkaya wawasan dan cinta terhadap kota sendiri.
Saya tahu cerita di balik makanan ini. Bukan sekadar jajanan pasar, tapi simbol kerja keras, warisan turun-temurun, dan komitmen menjaga kualitas dalam kesederhanaan.

Tour hari itu ditutup dengan foto bersama di depan rumah produksi. Di balik kehangatan wingko yang kami nikmati, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan dan kesetiaan pada tradisi. Saya pulang dengan hati penuh rasa bangga. Cepu bukan hanya punya sejarah besar di masa lalu, tapi juga punya warisan kuliner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar