Karya :Gutamining Saida
Suasana pagi di Cepu cerah. Saya dan peserta lainnya sudah berkumpul di titik awal Walking Tour yang kali ini mengangkat tema sejarah perkeretaapian, dengan lokasi utama di Komplek Spoorweg Tjepoe 1902. Dari awal saya sudah merasa antusias, namun ternyata pengalaman ini jauh lebih memukau dari yang saya bayangkan. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Loji 10, sebuah komplek perumahan kuno peninggalan PJKA kini dikenal sebagai PT KAI.
Mengapa disebut Loji 10? Menurut penjelasan dari narasumber lokal yang sudah lama mengamati sejarah kawasan ini, penamaan “Loji” diambil dari bahasa Belanda logie yang berarti rumah penginapan atau asrama, dan angka 10 mengacu pada nomor urut rumah dalam deretan komplek yang luas itu. Loji 10 dulunya digunakan sebagai tempat tinggal para pegawai PJKA, termasuk masinis, petugas sinyal, dan staf lainnya yang bekerja di sekitar rel kereta api. Kawasan ini merupakan bagian penting dari sistem perumahan dinas pada zaman kolonial, yang dibangun untuk mendukung operasional kereta api di wilayah Cepu.
Begitu sampai di depan Loji 10, saya langsung terpukau. Meski telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, rumah ini masih tampak kokoh dan terawat. Temboknya tebal, catnya memang sudah mulai memudar di beberapa bagian, tapi tak sedikit pun terlihat retak. Gentengnya masih asli, berwarna merah tua, khas genteng buatan zaman dulu yang tidak mudah lapuk. Bangunannya tampak sederhana dari luar, namun menyimpan banyak cerita dan nilai arsitektur yang tinggi.
Narasumber kami menjelaskan bahwa di komplek ini, secara umum ada tiga tipe rumah. Masing-masing tipe memiliki model dan ukuran berbeda, menyesuaikan dengan jabatan atau fungsi pegawai yang menempatinya. Loji 10 sendiri tergolong tipe menengah cukup luas, namun bukan yang paling besar. Yang khas dari semua tipe rumah ini adalah adanya lorong penghubung antara rumah utama dengan bangunan belakang.
Lorong ini bukan sekadar koridor biasa. Di masa lalu, lorong ini digunakan untuk menghubungkan ruang utama tempat para pegawai dan keluarganya tinggal dengan bagian belakang yang difungsikan sebagai gudang dan dapur. Dalam beberapa rumah, lorong ini juga menjadi jalur aktivitas pelayan atau pembantu rumah tangga agar tidak mengganggu tamu atau penghuni rumah yang sedang berada di ruang depan. Saat saya melewati lorong itu, suasananya sunyi, dingin, dan memancarkan aura sejarah yang begitu kuat.
Memasuki ruang utama Loji 10, saya semakin kagum. Ruang tamunya luas dengan ventilasi yang baik. Yang menarik perhatian saya adalah dua kamar utama yang terletak di sisi kanan dan kiri ruang utama. Letaknya simetris dan menunjukkan perencanaan yang cermat dari para arsitek zaman kolonial. Kamar-kamar ini memiliki jendela yang besar dan tinggi, memungkinkan cahaya alami masuk dengan maksimal. Ventilasinya luar biasa.
Jendelanya istimewa. Terdiri dari dua lapis, bagian dalam menggunakan kaca bening, sementara bagian luar menggunakan semacam kisi-kisi yang biasa disebut angin-angin sebuah elemen bangunan tradisional yang fungsional sekaligus estetis. Ketika saya berdiri di dekat jendela, saya bisa merasakan betapa cermatnya orang zaman dulu membangun rumah memperhatikan arah angin, sinar matahari, serta menjaga sirkulasi udara tetap baik agar penghuni tetap nyaman meski tanpa pendingin udara.
Loji 10 tidak hanya bicara soal fisik bangunan. Ia juga menyimpan kisah manusia. Bayangkan saja, di tahun 1902 saat rumah ini pertama kali dibangun, para pekerja kereta api dari berbagai daerah datang dan menetap di sini. Mereka hidup berdampingan, bekerja keras menjaga ketepatan jadwal kereta, memastikan jalur tetap aman, dan menjalankan roda transportasi di masa penjajahan. Rumah ini menjadi saksi bisu segala tawa, tangis, perpisahan, dan perjuangan mereka.
Di sela-sela penjelasan, beberapa warga sekitar ikut bercerita. Salah satu ibu bercerita bahwa dulu ayahnya adalah masinis dan tinggal di Loji yang tak jauh dari Loji 10. Ia masih ingat bagaimana suara peluit kereta menjadi musik pagi hari, dan bagaimana para anak-anak kecil bermain di pekarangan sambil melihat lokomotif tua lewat dengan gagahnya.
Kini, meski fungsinya telah berubah, keberadaan Loji 10 tetap menjadi magnet bagi mereka yang ingin belajar sejarah. Rumah ini menjadi simbol ketahanan, bukti bahwa bangunan yang dibuat dengan perhitungan matang akan terus berdiri melawan waktu. Beberapa bagian rumah memang telah diperbaiki, namun keaslian struktur utama tetap dipertahankan. Bahkan gentengnya masih sama seperti saat pertama kali dipasang lebih dari satu abad lalu.
Walking tour ini benar-benar membuka mata saya. Sebagai warga Cepu, saya merasa terharu sekaligus bangga. Ternyata kota kecil ini menyimpan sejarah besar, dan salah satunya hidup dalam sunyi di balik tembok tua seperti Loji 10. Saya berharap, rumah-rumah bersejarah seperti ini akan terus dirawat dan dijaga, bukan hanya sebagai bangunan fisik, tapi sebagai warisan pengetahuan dan budaya yang tak ternilai.
Cepu, 3 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar