Senin, 04 Agustus 2025

Melawan Rasa Kantuk di Jam Ips

Karya :Gutamining Saida 
Matahari bersinar terik di atas langit Cepu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.35 WIB. Di SMPN 3 Cepu, jam keenam dan ketujuh waktu paling rawan kantuk bagi siswa-siswi. Hari sudah siang, angin dari kipas  yang berputar malas-malasan menyapu wajah para siswa, membuat suasana kelas 8F terasa tenang... bahkan terlalu tenang.

Saya masuk ke kelas dengan materi pembelajaran Keragaman Budaya di Indonesia. Seperti biasa, saya menyapa para siswa yang tampak lesu. Sebagian duduk diam, memegang bolpoin namun matanya tampak sayu. Sebagian lain malah bersandar di meja, mungkin mencoba mencuri waktu untuk memejamkan mata barang sebentar.
Saya sudah bersiap dengan tantangan mengajar di jam siang bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga mempertahankan energi kelas agar tetap hidup.

Saya mulai pembelajaran dengan memantik rasa ingin tahu mereka. “Anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan salah satu tarian daerah yang berasal dari Pulau Sumatera?”

Tanpa perlu waktu lama, Rifki langsung mengangkat tangan. Wajahnya cerah, penuh semangat.

“Tari Piring dari Sumatera Barat, Bu!” katanya lantang.

“Bagus sekali, Rifki!” jawab saya. “Ada yang tahu rumah adat dari daerah?”

Rifki lagi-lagi angkat tangan, tapi saya memberi kesempatan kepada yang lain.

Laras pun ikut bersuara, “rumah panggung, joglo, gadang, Bu.”

“Hebat! Nah, sekarang kita pindah ke makanan khas. Siapa yang tahu makanan khas dari Jawa Tengah?”

Laras masih semangat menjawab, “Gudeg, soto, sate Bu!”

Saya tersenyum. “Wah, kamu pasti lapar ya, sebentar lagi MBG”

Kelas pun tertawa kecil. Lalu Azka menyusul, menjawab dengan menyebutkan beberapa bahasa daerah yang ada di Indonesia. "Saya tulis di papan ya bu!" ujar Azka. Dia menulis dari bahasa Sunda, Batak, hingga Bugis. Ia juga menambahkan contoh upacara adat seperti Ngaben dari Bali dan Sekaten dari Yogyakarta dan sedekah bumi.

Tidak ingin tertinggal, Galuh ikut angkat tangan. Namun kali ini jawabannya agak menyimpang. “Bu, jenis agama yang diciptakan manusia itu seperti Konghucu atau Budha ya?”

Saya langsung meluruskan, “Nah, Galuh, kita perlu hati-hati ya dalam menyebutkan agama. Semua agama besar di Indonesia diakui oleh negara dan memiliki sejarahnya masing-masing. Tidak diciptakan manusia, tapi dibawa oleh para tokoh dan pemuka agama untuk disebarkan. Yang penting, kita saling menghormati.”

Galuh mengangguk, dan saya senang dia berani bertanya. Ini adalah bentuk keaktifan yang perlu diapresiasi. Saya sadar, di antara anak-anak yang aktif menjawab, banyak bangku kosong. Rupanya beberapa siswa sedang latihan karnaval, sehingga ruang kelas tampak agak sepi dan suasananya semakin merayap sepi. Beberapa siswa mulai kembali bersandar. Satu-dua terlihat hampir tertidur.

Saat itulah saya mengambil langkah taktis. Saya menepuk tangan dan berkata, “Baik, sepertinya Ibu harus undang kalian untuk bangun dan bersenang-senang sebentar.”

Mereka menoleh dengan mata agak mengantuk.

“Kita lakukan tepuk anti ngantuk! Siap?”

“Siap, Buuu...” jawab mereka, meski belum seratus persen semangat.

“Aturannya yaitu kalau Ibu bilang satu, kalian bilang wuuuus sambil tangan ditiupkan dekat mulut. Kalau dua, tangan mengepal dan bilang yes. Kalau tiga, tangan disendekapkan di dada sambil bilang coool. Yang salah, maju ke depan dan menyanyi atau menghapal ayat pendek. Siap?”

Tiba-tiba suasana kelas berubah. Wajah mereka mulai ceria. Saya mulai memimpin,

“Satu!”

“Wuuuuss...” terdengar serempak.

“Dua!”

“Yes!”

“Tiga!”

“Cooool...” sambil tangan disendekapkan di dada.

Saya putar lagi perintahnya dengan cepat. Kali ini saya sengaja mempercepat ritmenya. Beberapa siswa mulai bingung, ada yang bilang “yes” padahal perintahnya “tiga”, ada yang bingung antara tangan di mulut atau mengepal. Suasana kelas meledak tawa.

“Monika salah!” teriak teman-temannya.
Saya tunjuk Monika, “Ayo ke depan!”
Monika tersenyum malu. “Nyanyi atau hapalan?”
“Nyanyi aja deh, Bu,” katanya, lalu menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dengan suara lirih tapi jelas. Teman-temannya memberi tepuk tangan meriah.

Kami lanjut lagi. Kali ini perintah saya campur aduk: “Dua! Tiga! Satu! Dua! Tiga!”

Kelas penuh tawa, dan yang salah makin banyak. Ada yang dengan senang hati maju dan menyanyikan lagu daerah, ada pula yang menghapal ayat pendek dengan percaya diri. Saya melihat mata-mata yang tadi sayu kini berbinar. Setelah lima menit ice breaking, saya kembali ke materi. “Nah, setelah segar, sekarang kita lanjutkan diskusi. Kalian sudah paham tentang budaya apa saja yang ada di Indonesia. Sekarang, coba sebutkan manfaat dari keragaman budaya di Indonesia!”

Beberapa tangan langsung terangkat. Rifki menjawab bahwa keragaman membuat Indonesia kaya akan seni dan tradisi. Azka menambahkan bahwa kita bisa belajar saling toleransi dan menghargai. Laras menyebut bahwa budaya juga bisa menjadi daya tarik wisata. Saya tersenyum puas. Meski awalnya lesu, kini mereka penuh energi dan antusias belajar.

Jam ke-7 pun berakhir. Saya tutup pelajaran dengan satu pertanyaan reflektif, “Apa pelajaran yang kalian dapat hari ini?” Satriya menjawab sambil tersenyum, “Kalau ngantuk, lebih baik tepuk anti ngantuk daripada tidur, Bu!” Semua tertawa.        
Cepu, 4 Agustus 2025 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar