Karya :Gutamining Saida
Senin siang itu udara cukup panas. Matahari bersinar terang. Angin hanya sesekali berhembus lewat jendela, membuat suasana dalam rumah terasa gerah. Kakak Zaskia, yang biasanya ceria, terlihat agak lesu. Ia duduk di lantai dekat rak buku sambil memeluk lututnya.
"Kenapa, Kak?" tanya saya sambil menghampiri.
"Aku rindu permainan, Timmi. Sudah beberapa hari ini nggak main yang seru," jawabnya pelan.
Saya tersenyum. Memang beberapa hari belakangan Zaskia dan adiknya, Hamzah, lebih banyak menonton televisi atau bermain dengan mainan masing-masing. Interaksi bersama mulai berkurang. Saya merasa inilah saat yang tepat untuk menghadirkan kembali suasana bermain dan belajar yang menyenangkan.
"Yuk, Timmi siapkan permainan seru untukmu," kata saya sambil berjalan ke laci lemari.
Dari dalam laci, saya mengeluarkan beberapa puluh stik es krim yang sudah saya siapkan sebelumnya. Ada juga tanda tambah (+) dan sama dengan (=). Tujuan saya sederhana yaitu membuat latihan penjumlahan menjadi menyenangkan, seperti bermain puzzle.
Saya menata stik-stik di lantai beberapa stik tanda tambah (+) stik tanda (=) dalam barisan. Ada beberapa barisan. Mereka tinggal mengisi jumlah dengan stik yang tersedia.
"Ayo, Kak Zaskia. Kita main hitung-hitungan pakai stik es krim!" panggil saya penuh semangat.
Zaskia yang awalnya murung, perlahan mendekat. Matanya mulai memancarkan rasa penasaran.
"Mainnya gimana, Timmi?"
"Gampang! Kamu hitung stik sebelum dan sesudah tanda tambah (+) terus jumlahkan, setelah tanda sama dengan berilah stik sesuai jumlah."
Zaskia mengangguk. Ia mulai menghitung stik. Satu demi satu ia letakkan di sebelah tanda sama dengan.
"Empat tambah dua... enam!" serunya senang saat berhasil menjumlahkan stik. Dan mengisinya.
"Bagus! Coba lagi ya," saya menyemangatinya.
Setelah satu kali menjumlahkan, semangat Zaskia mendadak menurun. Ia melihat ke arah televisi yang menyala di ruang tengah. Film kartun kesukaannya sedang tayang.
"Aku nonton TV dulu ya, Timmi..." katanya lalu beranjak meninggalkan permainan.
Saya menghela napas pelan. Tapi saya tidak ingin memaksanya. Bermain harus datang dari keinginan, bukan paksaan.
Sementara itu, adiknya, Hamzah, sedang duduk anteng di depan TV. Matanya tidak lepas dari layar. Film yang sedang tayang rupanya sangat menarik baginya. Saya pun tidak mengganggunya.
Beberapa menit kemudian, Zaskia sudah asyik menonton. Saya masih duduk di dekat permainan stik es krim, membereskan susunan stik yang tadi digunakan. Tiba-tiba Hamzah menoleh ke arah saya dan permainan di lantai.
"Timmi, itu apa? Aku di sekolah belum diajarin..." katanya sambil mendekat penasaran.
"Boleh dicoba, Hamzah. Ini permainan hitung-hitungan. Coba deh kamu ambil stik kanan kiri tanda tambah (+)
lalu cari hasilnya," kata saya sambil menunjuk stik-stik yang tersedia.
Hamzah yang masih duduk TK A itu belum lancar berhitung. Tapi dia berani mencoba. Ia menghitung dengan jari kecilnya, sambil menirukan jari saya.
"Tiga... tambah... dua... satu, dua... lima!"
Saya terkejut, tapi senang. Jawabannya benar!
"Bagus! Kamu hebat, Hamzah!" saya berseru sambil memberi tepuk tangan kecil.
Wajah Hamzah langsung berseri-seri. Ia pun jadi semangat mencoba yang lain.
"Ini! Empat tambah satu... lima!"
"Lima tambah dua... tujuh!"
Semakin lama, Hamzah semakin lincah menghitung. Kadang ia keliru, tapi saya tidak pernah langsung menyalahkan. Saya bantu menunjukkan dengan jari atau memberi contoh lain yang lebih mudah.
Hamzah berpikir sejenak. "Delapan tambah dua!" serunya yakin.
"Hamzah, coba stik itu dijumlahkan!"
Hamzah menghitung perlahan dengan jari. "Lima tambah dua!" katanya pelan, tapi pasti.
Permainan sederhana itu ternyata mampu membuat siang yang panas menjadi penuh makna. Tidak hanya belajar berhitung, tapi juga belajar bersabar, bekerja sama, dan merasa bangga atas pencapaian masing-masing. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari proses tumbuh dan berkembangnya dua anak hebat yaitu Zaskia dan Hamzah.
Cepu, 7 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar