Minggu, 06 Juli 2025

Kajian Minggu Wage

Hari Minggu Wage, hari yang sudah dinanti-nanti oleh sebagian jamaah Masjid Al Mujahidin, karena pagi itu ada kajian istimewa yang bertepatan dengan tanggal 10 Muharom. Hari yang dikenal sebagai Hari Asyura, penuh nilai dan makna dalam sejarah Islam.

Selepas subuh, suara merdu hadroh terdengar menggema dari arah masjid. Suaranya berbeda dari biasanya kali ini lebih lembut, lebih harmonis, dan dominan terdengar suara perempuan. Saya pun bergegas menuju masjid, penasaran dengan nuansa baru yang tercipta.

Dari kejauhan tampak deretan grup hadroh yang mengenakan segaram warna pink. Duduk rapi, perempuan di barisan depan, sementara barisan belakang diisi oleh para lelaki. Warna pink yang lembut justru memperindah suasana pagi, memancarkan keteduhan dan kelembutan yang menyentuh hati.

Yang lebih menarik perhatian adalah seorang penari sufi yang berdiri di sisi kiri mimbar. Ia mengenakan pakaian putih bersih dan topi merah khas darwis. Gerakannya perlahan, berputar penuh khidmat, seolah sedang menyampaikan doa dalam gerakan. Setiap putaran membawa ketenangan tersendiri bagi para penonton yang larut dalam dzikir dan irama hadroh.

Tepat pukul enam pagi, acara kajian dimulai. Pembawa acara, Bapak Bedjo, membuka dengan salam penuh semangat dan wajah ceria. Suaranya mantap, membangkitkan semangat para jamaah yang datang dari berbagai penjuru. Tidak hanya warga sekitar masjid tapi juga beberapa ibu-ibu dari desa tetangga yang sengaja datang lebih pagi demi menyerap ilmu dari sang ustadz tamu.

Ustadz K. H Saerozi yang mengisi kajian berasal dari Bojonegoro. Beliau tampil sederhana namun kharismatik. Sorot matanya tenang, senyumnya tulus, dan tutur katanya lembut tapi menggugah. Di awal tausiyahnya, beliau mengingatkan bahwa hari ini adalah hari yang sangat istimewa dalam kalender hijriah10 Muharom. Hari di mana banyak peristiwa penting dalam sejarah para nabi terjadi, mulai dari selamatnya Nabi Nuh dari banjir besar hingga selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.

Ustadz tidak hanya berhenti pada sejarah. Ia kemudian mengajak seluruh jamaah untuk merenungi nikmat Allah yang sering kali luput dari perhatian kita. Nikmat yang pertama, kata beliau, adalah nikmat wujud, yaitu nikmat menjadi “ada”. Bahwa keberadaan kita di dunia ini bukanlah suatu kebetulan. Ada Sang Pencipta yang Maha Mengatur, yang memberi kita bentuk dan menghidupkan.

“Nikmat kedua,” lanjut beliau, “adalah nikmat hidup. Hidup itu bukan sekadar bernapas. Hidup adalah tentang bagaimana kita menggunakan waktu yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan, untuk menjadi insan yang bersyukur.”

Kemudian ustadz menyoroti tentang segumpal darah dalam tubuh manusia itulah hati. Jika hati itu baik, maka seluruh amal dan perilaku manusia akan ikut baik. Namun jika hati rusak, maka rusak pula keseluruhannya.

“Jagalah hati mulai bulan Muharom ini,” pesan beliau. “Mulailah dengan niat baru, semangat baru, dan pemikiran baru. Bukan hanya memperbaiki amal lahiriah, tapi juga amal batiniah.”

Bagian yang paling menyentuh bagi para jamaah perempuan adalah saat ustadz berbicara tentang peran wanita.

“Jangan remehkan tugas seorang wanita,” katanya, “karena ia bekerja dari terbit matahari hingga terbenamnya mata suami.” Kalimat ini membuat beberapa ibu menundukkan kepala, merenungi betapa beratnya peran yang selama ini dijalani dengan penuh keikhlasan, sering tanpa keluhan.

Ia juga menambahkan, “Doa seorang ibu terhadap anaknya, seperti doa seorang nabi kepada umatnya. Jangan sepelekan doa. Ibu adalah penjaga rumah, pendidik pertama, dan tiang kehidupan keluarga.”

Pesan terakhir beliau mengajak para jamaah untuk lebih banyak bersyukur dan bersabar di bulan Muharom ini. Banyak bersyukur atas apa yang sudah diberikan Allah Subhanahu Wata'alla dan banyak bersabar atas apa yang belum kita capai. Hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan, tapi hati yang tenang dan sabar akan memudahkan langkah.

Ketika kajian selesai, hadroh kembali dilantunkan. Penari sufi kembali berputar dengan gerakan tenang, menutup acara dengan indah. Jamaah pun perlahan membubarkan diri, namun aura ketenangan dan semangat baru masih terasa kuat di hati masing-masing.

Saya berjalan pulang dengan hati yang penuh syukur. Pagi itu bukan sekadar mengikuti kajian rutin, tapi juga mendapat pencerahan jiwa. Hari Minggu Wage ini menjadi pengingat bahwa hidup adalah tentang mensyukuri nikmat dan menjaga hati. Sebuah pelajaran penting yang akan saya kenang setiap datangnya bulan Muharom.
Cepu, 7 Juli 2025 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar