Selasa, 01 Juli 2025

Kuasa Tuhan


Karya :Gutamining Saida 

Udara terasa lebih segar dari biasanya. Cahaya matahari menembus celah-celah ventilasi dapur, menyinari rak piring yang basah karena cipratan air cucian. Anak perempuan saya, seperti biasa, membantu mencuci peralatan dapur bekas sarapan. Faiz biasa saya sapa anak yang telaten. Tangannya cekatan menggosok piring dan sendok satu per satu, lalu meletakkannya di rak.

Tiba-tiba ia berseru pelan, “Umi… ini apa?” sambil memperlihatkan sesuatu yang dipegangnya. Matanya memandang heran, alisnya sedikit terangkat, dan keningnya berkerut. Saya mendekat. Tangannya menggenggam sesuatu yang tampak aneh tumbuh di bawah rak piring. Sejenis tunas kecil dengan akar yang sudah menyebar ke segala arah. Saya menatapnya sejenak, lalu memegangnya dengan hati-hati. Kulitnya gelap kecoklatan, bentuknya tak asing.

“Ohhh… ini kentang hitam,” jawab saya pelan, “Salah satu jenis krowotan.”

“Kenapa bisa tumbuh di sini, Umi?” tanyanya polos.

Saya tersenyum. Sambil berdiri dekat meja di dapur, saya mulai menjelaskan kepadanya, dan juga pada diri saya sendiri. 

Krowotan adalah istilah dalam budaya Jawa yang merujuk pada jenis-jenis umbi-umbian seperti gembili, gadung, suweg, ketela dan tentu saja kentang hitam. Bagi orang Jawa, krowotan bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kesederhanaan, simbol kebersahajaan yang sangat dihargai, terutama oleh generasi dahulu.

Zaman dulu, saat masa sulit, sebelum beras menjadi makanan utama yang mudah didapat, masyarakat menggantungkan hidup pada krowotan. Mereka menanam dan menyimpan umbi-umbian itu sebagai cadangan makanan. Bahkan sampai sekarang, masih banyak yang sengaja menanamnya di pekarangan sebagai sumber pangan alternatif. Selain bergizi, krowotan memberi rasa kenyang yang menenangkan.

Saya memandang anak saya dan berkata, “Mungkin ini kentang tercecer, yang dulu ikut dibawa dari pasar bersama teman-temannya. Waktu itu kita masak kentang rebus tiga minggu lalu, ingat?”

Dia mengangguk, mencoba mengingat.

“Sepertinya kentang ini lolos dari takdir untuk ikut direbus dan dimakan. Ia jatuh, tersembunyi, dan diam-diam tumbuh di tempat yang tak terduga, di bawah rak piring yang gelap dan lembap.”

Saya terdiam sejenak. Dalam hati, saya tersentuh. Sebuah kentang kecil yang terlupakan, yang mestinya ikut berakhir di dalam perut kami, justru tumbuh dengan kehidupan baru. Betapa luar biasanya kuasa Tuhan. Di tempat yang tidak kita sangka, di ruang yang nyaris tak layak, Ia memberi kehidupan.

Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ia yang meniupkan nyawa, Ia pula yang menumbuhkan dan mengatur rezeki tiap makhluk-Nya. Sebiji kentang yang tercecer pun bisa tumbuh dengan izin-Nya. Apalagi manusia, yang lebih sempurna dari kentang, yang punya akal dan hati, tentu punya jalannya masing-masing yang telah ditentukan.

Saya menatap anak saya. “Dik Faiz, kadang manusia juga seperti kentang ini. Kita punya jalan hidup yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh di tempat yang terang dan baik, ada yang tumbuh dalam kesempitan. Tapi semua bisa tumbuh jika Tuhan menghendaki.”

Anak saya mendengarkan dengan saksama. Saya melanjutkan. “Kalau kentang itu tidak tercecer, mungkin nasibnya akan habis direbus dan dimakan bersama yang lain. Tapi karena ia tersembunyi, ia justru tumbuh. Begitu pula kita. Kadang hidup memberi jalan yang tidak kita duga. Kita tertinggal, tercecer, merasa tidak berarti. Tapi bisa jadi, di situlah takdir terbaik sedang menanti.”

Saya menghela napas dalam. Kentang hitam kecil itu membuat saya merenung lebih dalam dari biasanya. Hidup memang tidak selalu lurus dan terang. Ada gelap, ada sempit, ada masa tercecer dan tak terlihat. Tapi jika kita bersyukur dan tetap percaya pada kehendak-Nya, kita tetap bisa tumbuh, bahkan di tempat yang paling tidak memungkinkan.

Anak saya masih menggenggam kentang itu. “Umi, kita tanam aja ya?” katanya dengan semangat. “Siapa tahu nanti jadi banyak kentangnya.” Saya mengangguk dan tersenyum. “Ya, kita tanam. Kita rawat. Siapa tahu nanti kita bisa panen sendiri.”

Kami pun mengambil pot bekas cat yang sudah lama kosong, mengisinya dengan tanah dari belakang rumah, dan menanam kentang hitam itu dengan hati yang penuh harapan. Sambil menanam, saya membisikkan doa, agar anak saya pun tumbuh seperti kentang itu kuat, tabah, dan tidak mudah menyerah walau keadaan tak selalu sempurna.

Tuhan tak pernah sia-sia dalam menciptakan. Bahkan yang tercecer sekalipun, ada maksud dan rencana-Nya. Begitulah kuasa Tuhan, selalu bekerja dalam diam dan kejutan yang tak terduga.
Cepu, 2 Juli 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar