Karya : Gutamining Saida
Rabu siang tanggal 2 Juli 2025 mentari bersinar hangat. Tidak terlalu terik, tapi cukup membuat keringat muncul jika duduk terlalu lama di dalam rumah tanpa kipas. Saat jam dinding menunjukkan pukul dua lewat sedikit, saya mengajak anak-anak dan cucu-cucu untuk keluar sejenak.
“Bagaimana kalau sore ini kita berburu kuliner?” tanya saya sambil tersenyum.
Anak-anak saya yang sedang berbincang di ruang tengah langsung menyambut dengan semangat. Cucu-cucu yang masih asyik bermain pun langsung berhenti dan berseru, “Mauuu! Ayo naik motor, Umi!”
Kami tak berniat pergi jauh, cukup di sekitar Cepu saja. Kota kecil ini memang menyimpan banyak lokasi kuliner yang meski sederhana, penuh cita rasa. Salah satunya adalah tempat yang berada di bawah naungan hutan jati, tepi jalan raya sekitar 15 menit dari rumah jika naik motor pelan-pelan.
Perjalanan kami mulai dengan santai. Motor melaju perlahan menyusuri jalan utama. Pemandangan di kanan kiri menyuguhkan deretan pohon, rumah-rumah penduduk, dan sesekali ladang yang menghijau. Udara terasa bersih, dan angin sore yang menyapa wajah membuat perjalanan singkat ini terasa menyenangkan.
Setibanya di tempat tujuan, suasana ramai langsung terasa. Rupanya kami tidak sendirian. Banyak keluarga lain juga datang untuk menikmati sajian yang tersedia. Aroma kuah bakso mengepul di udara, bercampur dengan wangi cuka empek-empek dan semilir aroma manis dari es buah yang dingin menyegarkan.
Yang membuat tempat ini istimewa adalah lokasinya. Deretan warung berada tepat di tepi jalan raya bawah naungan hutan jati. Pohon-pohon besar menjulang dengan batang kokoh dan daun-daun yang menaungi, membuat tempat itu terasa sejuk meski di siang hari. Sinar matahari yang menembus celah dedaunan menciptakan corak bercahaya di tanah, seolah menyapa kami dengan ramah.
Kami memilih duduk di salah satu spot lesehan yang tersedia. Tikar berwarna biru dibentangkan di atas tanah yang rata, cukup bersih, dan teduh. Duduk di atas tikar, angin hutan jati berhembus pelan, memberi kesejukan alami yang tidak bisa didapat dari pendingin ruangan manapun.
Kami memesan beberapa porsi makanan yaitu dua porsi bakso, satu porsi mie ayam, dan tentu saja es buah yang warnanya menggoda enam porsi. Dalam waktu singkat, pesanan kami datang. Mangkuk es buah diletakkan di atas baki plastik, penuh warna dari potongan nanas, semangka, melon, buah naga, mutiara, agar-agar, dan es batu dengan kuah manis susu yang sejuk.
"Alhamdulillah," saya berucap pelan sambil menyendok suapan pertama. Dingin dan manisnya menyusup ke tenggorokan, segarnya buah membuat hati terasa damai. Saya melihat anak-anak dan cucu-cucu juga tersenyum puas, menikmati setiap suapan mereka sambil duduk santai di atas tikar.
Bakso yang kami pesan juga tidak kalah nikmat. Kuahnya hangat dan gurih, berpadu dengan pentol besar isi telor ayam utuh dan kecil, serta taburan bawang goreng yang harum, terasa kenyal dan nikmat.
Sambil makan, kami berbincang ringan. Tertawa bersama. Cucu-cucu saling mencolek buah dari mangkuk satu sama lain. Ada yang ingin menukar agar-agar dengan mutiara, ada yang justru sibuk mengaduk agar semua rasa tercampur.
Di bawah rindangnya pohon jati, saya memandangi wajah mereka satu per satu. Anak-anak saya sudah tumbuh dewasa, kini punya tiga anak. Cucu-cucu saya tumbuh ceria dan penuh semangat. Dalam suasana sesederhana ini, saya merasa begitu bersyukur kepada Allah atas rezeki ini.
Duduk di tikar biru, di bawah hutan jati, menikmati kuliner pinggir jalan. Rasanya seperti duduk di istana. Bukan karena kemewahan tempat atau mahalnya makanan, tapi karena hadirnya cinta dan kebersamaan. Inilah rezeki dari Allah yang sejati.
Saya teringat betapa sering manusia mencari kebahagiaan di tempat jauh, menghabiskan biaya besar untuk sesuatu yang terasa istimewa. Padahal, sering kali kebahagiaan itu hadir begitu dekat di sela-sela momen bersama keluarga, di bawah pohon jati yang sejuk, dalam semangkuk es buah yang penuh warna.
Sebelum pulang, saya meminta satu bungkus es buah lagi. “Bungkuskanan buat dibawa pulang rumah." ucap saya pada penjualnya. Dia mengangguk sambil tersenyum dan membungkus dua porsi tambahan untuk di rumah.
Kami pulang dengan perut kenyang dan hati lapang. Motor kembali melaju pelan, angin sore membelai wajah kami dengan lembut. Sinar matahari mulai meredup, berganti jingga yang menggantung manis di cakrawala.
Nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa saya dustakan?
Cepu, 2 Juli 2025
Super ....
BalasHapuskapan-kapan kita ke sama bareng-bareng ya
BalasHapus