Rabu, 16 Juli 2025

Jaya

Karya : Gutamining Saida 
Hari keempat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMA Esmega selalu dinantikan. Bukan hanya oleh siswa baru, tetapi juga oleh para guru dan panitia yang terlibat. Acara yang paling ditunggu adalah Talenta Show, sebuah ajang yang menjadi wadah untuk menampilkan kemampuan dan bakat siswa dari berbagai angkatan. Selain menjadi panggung apresiasi, acara ini  menjadi sarana untuk mengenalkan ekstrakurikuler yang ada di sekolah.

Di luar dugaan, antusiasme peserta melampaui ekspektasi panitia. Menurut pembawa acara, ada dua puluh dua  penampilan yang akan tampil, terdiri dari siswa baru, kelas 8 dan kelas 9. Semua diberi ruang, semua diberi kesempatan. Tak ada yang ditolak. Mereka tampil dengan penuh semangat ada yang menari, menyanyi, membaca puisi, bermain alat musik, bahkan pantomim pun ada. Suasana lapangan riuh, dipenuhi sorak sorai dan tepuk tangan.

Sebagaimana biasanya, saya mengabadikan momen kegiatan sekolah, sibuk mengambil foto. Saya mengunggah beberapa gambar ke status WhatsApp sebuah cara sederhana untuk mendokumentasikan sekaligus membagikan semangat anak-anak Esmega.

Tak lama setelah status saya tayang, sebuah pesan masuk. Dari seseorang alumni siswa saya yang sudah menjadi seorang guru di SD. 
"Itu yang pakai baju hitam, teman saya, Bu?"
Saya menjawab, "Siapa?"
"Jaya, Bu!"

Oh. Nama itu membuat saya menarik napas sejenak. Perlahan-lahan kenangan masa lalu menyeruak.

Saya mencoba mengingat tentang sosok Jaya salah satu siswa saya dulu, saat saya masih mengajar lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Saya belum yakin seratus persen, rasa penasaran membuat saya memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh.

Setelah sesi pertama talenta show usai dan waktu istirahat tiba, saya menyusuri kerumunan dengan mata mencari sosok yang disebut-sebut bernama Jaya. Akhirnya saya temukan, berdiri di pojok lapangan dengan baju hitam dan celana jeans. Wajahnya masih tidak asing, sorot matanya… ya, ada yang tak berubah.

Saya memberanikan diri mendekat. “Hai, kamu Jaya?”
Ia menoleh, lalu memandangi saya dari atas sampai bawah. Wajahnya mencoba menebak-nebak.
“Maaf, Bu... saya tidak ingat.”

Saya tersenyum. “Coba lihat ini,” kata saya sambil menunjuk papan nama di dada saya. 
Matanya mengeja pelan.
“…Saida… Ooooh! Bu Saida! Inget, Bu! Ya Allah, ibu berubah sih!”
Saya terkekeh. “Jelas doong… Semakin tua, ya?” jawab saya ringan.
Tapi dia menggeleng cepat. “Bukan itu, Bu. Ibu sekarang kurusan. Dulu ibu… gendut!”

Saya tertawa. Sebuah kejujuran polos dari mantan murid yang baru saja membuka kembali kotak kenangan saya.
“Hmm. Iya,” jawab saya singkat, kali ini dengan senyum penuh rasa syukur.

Percakapan singkat,  sangat terkesan. Ada rasa hangat yang mengalir diam-diam di hati saya. Betapa tidak, setelah lebih dari dua dekade, masih ada siswa yang bisa mengenali dan menyapa gurunya. Walau awalnya ia lupa, namun kenangan masa lalu tetap berhasil menembus kabut waktu dan mengantar ingatan kembali ke tempat asalnya.

Usai berbincang sebentar, saya kembali ke tempat untuk menyaksikan penampilan siswa yang lain. Pikiran saya belum sepenuhnya kembali. Pertemuan dengan Jaya menggugah sisi emosional saya sebagai guru. Seringkali kita mengajar, mendidik, dan membina anak-anak tanpa tahu siapa yang akan mengingat kita nanti.  Ketika satu saja dari mereka masih mengenal dan menyapa, rasanya seluruh jerih payah itu terbayar lunas.

Ada rasa syukur tak terkira.
Saat kita diingat dengan senyum, dikenang dengan tulus, maka itulah hadiah terindah. Karena sejatinya, guru tak pernah berharap balas jasa cukup dikenang, cukup didoakan, itu sudah lebih dari cukup.
Cepu, 16 Juli 2025 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar