Karya : Gutamining Saida
Suasana rumah mulai hening. Anak saya sudah di kamarnya. Sekolah untuk esok hari libur karena hari raya Idul Qurban. Saat ini tinggal tersisa waktu untuk diri sendiri. Seperti biasa, saya membuka media sosial, sekadar menelusuri kabar teman dan melepas lelah. Di antara sekian banyak story WhatsApp, pandangan saya tertumbuk pada satu unggahan yang tak biasa. Bukan dari siapa-siapa, tapi dari sahabat saya sendiri yaitu Bu Puruhita, yang biasa saya sapa Bu Hita.
Foto itu sederhana. Hanya foto Bu Hita berdiri berdua dengan seorang siswi saat acara pelepasan kelas IX. Di tangannya tergenggam sebuah buket frescare, wajahnya tampak tersenyum, namun ada kesan dalam yang sulit dijelaskan. Mungkin hanya saya yang bisa menangkapnya. Karena selama saya mengenal beliau, tampil di depan kamera dan membagikannya ke media sosial adalah hal yang jarang ia lakukan. Beliau lebih sering bekerja diam-diam, di balik layar, memastikan segala sesuatu berjalan lancar tanpa banyak sorotan.
Saya pun tergelitik memberi komentar. Sekadar spontan, namun dari situlah tantangan itu bermula. Tak lama setelah komentar saya terkirim, beliau membalas dengan santai tapi bermakna. “Coba buat tulisan tentang kisah saya saat ini, bu Saida."
Tantangan itu awalnya terasa ringan. Tapi begitu saya mulai memikirkannya, ada sesuatu yang berat. Mungkin karena saya tahu, tantangan ini datang dari seseorang yang tak pernah sembarangan bicara. Bu Hita bukan tipe yang asal memberi saran. Jika beliau meminta saya menulis, pasti ada maksud baik di dalamnya. Mungkin agar saya belajar dan belajar atau sekadar berlatih mencurahkan isi hati lewat kata-kata.
Ingatan saya pun melayang ke beberapa tahun lalu, saat pertama kali kami bertemu di ruang guru SMPN 3 Jiken. Kami sama-sama guru baru, masih canggung, masih belajar menyesuaikan diri dengan ritme sekolah. Namun entah kenapa, saya merasa nyaman berada di dekatnya. Beliau tidak banyak bicara, tetapi setiap ucapannya selalu terasa pas, seperti tahu kapan harus mendengar dan kapan harus menuntun.
Sejak saat itu, kami bersahabat. Bukan sahabat yang setiap hari saling bertukar kabar, tapi sahabat yang tahu kapan harus hadir. Dalam diamnya, Bu Hita adalah penggerak. Ia bekerja dengan sepenuh hati, dan meskipun tidak selalu terlihat, hasil kerjanya selalu terasa. Dari urusan administrasi, kegiatan siswa, sampai hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian, semuanya ia tangani dengan ketelitian luar biasa.
Itulah mengapa story malam itu terasa begitu berarti bagi saya. Foto yang sejenak menangkap momen langka dari sosok yang selama ini lebih banyak berada di balik layar. Di situ saya melihat sosok sahabat saya berdiri dengan anggun, memegang buket frescare sebagai simbol perpisahan, namun sekaligus sebagai pengingat akan perjalanan panjang yang telah ia lewati bersama para siswa.
Saya merasa terpanggil untuk menjawab tantangan itu, bukan untuk membuktikan kehebatan tulisan saya, melainkan sebagai bentuk penghargaan. Bukan hanya kepada Bu Hita, tetapi kepada proses yang telah membentuk saya hingga hari ini. Saya tidak peduli apakah hasil tulisan ini akan dianggap bagus atau tidak. Karena bagi saya, yang terpenting adalah keberanian untuk memulai dan kejujuran dalam setiap kalimat yang saya tuangkan.
Menulis cerita ini membuat saya semakin sadar bahwa dalam hidup ini, sering kali yang paling menggerakkan bukanlah kata-kata besar, melainkan teladan diam-diam dari orang-orang sederhana. Bu Hita adalah contohnya. Sosok yang tidak haus sorotan, namun selalu menjadi cahaya bagi sekelilingnya.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan sesuai harapannya. Mungkin terlalu pribadi, atau malah terlalu sederhana. Tapi saya yakin, setiap huruf yang saya tulis adalah bentuk cinta dan rasa hormat saya pada perjalanan yang pernah kami bagi. Dan semoga, jika suatu hari tulisan ini dibaca orang lain, mereka bisa menangkap sepotong kecil pesan bahwa setiap orang punya caranya sendiri dalam memberi makna, dan sahabat sejati adalah mereka yang mendorong kita untuk menjadi lebih baik tanpa mengubah siapa diri kita sebenarnya.
Kepada Bu Hita, terima kasih telah menjadi cermin dan cahaya. Terima kasih telah memberi tantangan yang membuat saya menengok kembali perjalanan ini. Dan terima kasih telah menunjukkan bahwa kadang, satu foto dan satu buket frescare bisa membawa seribu makna termasuk keberanian untuk menulis dari hati.
Cepu, 6 Juni 2025
2 kata untuk umi Saida, “jenengan keren”
BalasHapus