Suara Rafada dari Pintu Ruang Guru

Karya: Gutamining Saida 
Kerjasama dengan orang tua siswa adalah sesuatu yang sangat dianjurkan, bahkan perlu dirawat dan dijaga. Tak hanya demi kelancaran proses belajar, tapi juga untuk kebaikan dan kemajuan siswa itu sendiri. Sebagai guru, saya bersyukur bila menemukan orang tua yang peduli dengan perkembangan anaknya bukan sekadar urusan nilai, tetapi juga semangat belajar dan kebiasaan sehari-hari di sekolah.

Saat istirahat kedua hampir berakhir, sebuah notifikasi masuk ke ponsel saya. Sebuah pesan dari salah satu orang tua wali murid yaitu ibunya Rafada. Dalam pesannya, beliau menanyakan dengan sopan, apakah ada tugas anaknya yang belum terselesaikan. Pesan itu tidak panjang, tapi cukup untuk membuat saya  merasa didukung sebagai guru.
 "Assalamu’alaikum Bu, mohon maaf mengganggu. Saya ingin menanyakan apakah tugas mata pelajaran IPS Rafada sudah lengkap semua? Atau masih ada yang harus dikerjakan lagi?"

Sejenak saya menatap layar dan terdiam. Tak langsung saya jawab. Saya ingin membaca ulang, memastikan maksud pertanyaannya agar tak salah tangkap. Setelah yakin, saya  merasa senang dan bersyukur: ada orang tua yang peduli, yang tidak menunggu anaknya bercerita, tapi aktif bertanya. Saya tahu Rafada bukan tipe anak yang akan bercerita, apalagi mengadu soal tugas-tugas sekolah.

Beberapa saat kemudian saya  balas. "Wa’alaikumsalam Bu, terima kasih sudah menghubungi. Iya Bu, ada beberapa tugas yang belum dilengkapi. Mohon maaf, saya tidak membawa daftar nilainya saat ini, jadi belum bisa menyebutkan detailnya."

Karena kesibukan dan banyaknya tugas administrasi guru, saya baru teringat kembali malam harinya bahwa saya belum memberi rincian tugas apa saja yang belum diselesaikan Rafada. Setelah mengecek buku catatan penilaian dan daftar tugas siswa, saya segera menulis pesan dan mengirimkannya. "Bu, untuk Rafada masih ada dua tugas IPS yang belum dikerjakan. Satu tentang uang dan satu tentang dampak interaksi lingkungan . Mohon bantuannya agar Rafada bisa segera menyelesaikan."

Tak lama, ibunya membalas, "Kapan harus dikumpulkan Bu?"

"Secepatnya ya Bu. Besok bisa langsung dikumpulkan lewat saya di ruang guru."

"Baik Bu. Terima kasih. Besok saya suruh Rafada kumpulkan langsung."

Saya tersenyum membaca balasan itu. Harapan saya sederhana yaitu semoga Rafada tidak hanya mengerjakan karena disuruh, tetapi pelan-pelan bisa tumbuh kesadarannya untuk bertanggung jawab terhadap tugasnya sendiri.

Pagi harinya, saya tiba di ruang guru. Obrolan ringan antar guru mengisi suasana ruangan. Beberapa menit kemudian, terdengar suara dari arah pintu:

“Bu... Bu Saida, Bu...”

Suaranya tidak keras, bahkan terdengar agak ragu. Tapi cukup membuat saya dan beberapa guru lain menoleh. Dari arah pintu masuk ruang guru, berdirilah Rafada. Anak laki-laki itu berdiri kaku, memegang map buku tulis. Matanya menatap ke arah saya, lalu sedikit tertunduk, seakan-akan menimbang keberaniannya untuk melangkah lebih dekat. “Oh, Rafada!” seru salah satu guru dengan nada terkejut sekaligus haru.

Ruangan seketika menjadi heboh. Rafada dikenal sebagai anak yang sangat pendiam. Di kelas, ia bukan tipe yang suka angkat tangan atau menjawab soal secara terbuka. Bila ada soal sulit, ia memilih diam. Tak pernah bertanya, bahkan kepada temannya sendiri. Tak jarang ia hanya menatap soal kosong, lalu diam menunduk hingga waktu habis.

Hari ini, ia berdiri sendiri di pintu ruang guru. Membawa tugasnya. Mencari saya dan saya segera berdiri dan menghampirinya. “Ya, akan mengumpulkan tugas, Fa?”

Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, ia menjawab, “Ini... tugas IPS-nya, Bu.”

Saya menerimanya, dan secara spontan menepuk bahunya pelan. “Terima kasih, Fa. Sudah mengumpulkan, ya.”

Ia hanya mengangguk, lalu tersenyum kecil. Wajahnya malu-malu, tapi matanya berbinar ada sesuatu yang baru. Sebuah keberanian kecil yang hari itu lahir dari usaha ibunya, dari percakapan malam sebelumnya, dan tentu dari tekad yang tumbuh diam-diam dalam dirinya.
Cepu, 12 Juni 2025 




Komentar